oleh Sudikno Mertokusumo.
Dalam Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS) yang diselenggarakan pada tanggal 23 Oktober 1996 di Ujung Pandang, IKAHI telah mengeluarkan Memorandum yang akhir-akhir ini banyak menjadi pembicaraan. Apakah isi Memorandum IKAHI tahun 1996 itu? Isi Memorandum lKAHI tersebut bukanlah merupakan hal yang baru. Di dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh IKAHI dan PERSAHI pada tahun 1992 telah pernah dibicarakan substansi Memorandum IKAHI tahun 1996 itu. Sesudah tahun 1992 itu telah berulang kali materi pokok Memorandum IKAHI itu dibicarakan dalam pelbagai pertemuanpertemuan ilmiah baik yang dise!enggarakan oleh mahasiswa maupun oleh para pakar. Sesungguhnya jauh sebelum tahun 1992 IKAHI telah memperjoangkan apa yang tercantum dalam Memorandum IKAHI 1996 tersebut, namun sampai sekarang belum berhasil.
Pada dasarnya isi pokok Memorandum IKAHI tersebut yaitu ketidakpuasan terhadap pengaturan dan pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman. Semula ketidakpuasan itu disebabkan karena kurangnya keserasian hubungan antara Mahkamah Agung dengan Departemen Kehakiman. Hubungan yang tidak serasi disebabkan karena kebijaksanaan antara Mahkamah Agung dengan Departemen Kehakiman sering berbeda bahkan bertentangan, seperti misalnya tentang pengangkatan, penempatan, mutasi dan kenaikan pangkat seorang hakim. Ketidak puasan atau ketidak serasian itu dicoba pada waktu itu diatasi dengan menempatkan seorang hakim di Departemen Kehakiman sebagai Direktur Jenderal Peradilan dengan harapan kepentingan para hakim lebih diperhatikan dan hubungan antara Mahkamah Agung dengan Departeman Kehakiman menjadi lebih serasi. Akan tetapi hubungan yang tidak serasi itu tetap berlangsung.
Kemudian alasan ketidakpuasan itu meluas, tidak hanya karena hubungan Mahkamah Agung dengan Departemen Kehakiman itu tidak serasi, tetapi berkaitan dengan recruitment hakim. Belum lama ini recruitment Hakim Agung menjadi perbincangan hangat di dalam mass media. Selanjutnya dirasakan tidak adanya kebebasan hakim, yang sebabnya dicari pada kenyataan bahwa hakim mempunyal dua atasan, jadi menyangkut pengaturan dan pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman juga. Jadi hakim sekarang ini tidak hebas, karena berlindung di bawah dua atap. Kemudian sorotan dan kritik terhadap Mahkamah Agung sebagai kekuasaan Negara yang melakukan Kekuasaan Kehakiman akhir-akhir ini menimbulkan kritik pula terhadap Kekuasaan Kehakiman dewasa ini, sehingga menyebabkan sementara orang menginginkan agar Mahkamah Agung dalam tugasnya diawasi dan bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Jadi permasalahan pokoknya ialah bahwa IKAHI dengan memorandumnya menghendaki bahwa hakim itu ada di bawah satu atap dan tidak seperti sekarang ada di bawah dua atap, yaitu Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman. Pada umumnya tidak sedikit yang setuju bahwa hakim harus ada di bawah satu atap dengan alasan antara lain untuk lebih menjamin kebebasan hakim.
Pada dasarnya dengan Memorandumnya, IKAHI menghendaki mengubah sistem Kekuasaan Kehakiman yang ada. Dapat disimpulkan bahwa IKAHI, dengan Memorandumnya, dengan mengubah sistem Kekuasaan Kehakiman yang sekarang, dengan meletakkan hakim di bawah satu atap, memastikan akan terpecahkan masalahnya: tidak akan ada tumpang tindih wewenang karena hanya ada satu atasan, pengangkatan, mutasi, kenaikan pangkat akan lebih lancar, hakim akan lebih terjamin kebebasannya, tidak akan ada penyimpangan prosedur, kolusi atau surat sakti dan sebagainya. Itu baru merupakan harapan. Apa benar demikian karena hal itu masih merupakan rencana. Apakah benar masalah-masalah tersebut di atas disebabkan karena sistem Kekuasaan Kehakiman dewasa ini? Apakah ada jaminan bahwa perubahan sistem
Kekuasaan Kehakiman itu nanti akan menghilangkan kendala-kendala yang kita hadapi sekarang ini seperti yang tersebut di atas?
Menempatkan hakim di bawah satu atap berarti mengubah sistem yang sudah berjalan lama. Perlu dipertanyakan apakah selama ini, sejak Proklamasi (atau sebelumnya) dengan sistem yang sekarang berlaku selalu te~adi tumpang tindih wewenang dan tidak ada kebebasan hakim atau ada keluhan mengenai peradilan kita? Keadaan peradilan kita dewasa ini memang sangat memprihatinkan. Akan tetapi tidak selamanya demikian. Sebelum tahun 70an (yang sistem perdilan atau Kekuasaan Kehakimannya sama dengan sekarang) sepanjang pengetahuan saya tidak ada keluhan mengenai peradilan atau Kekuasaan Kehakiman seperti sekarang ini, kalau adapun hanyalah satu dua. Jadi apakah keadaan peradilan kita yang sangat memprihatinkan sekarang ini disebabkan oleh sistem Kekuasaan Kehakimannya?
Kalaupun kita ingin mengubah sistemnya, janganlah sekedar ingin mengubah, karena ingin sesuatu yang baru, tetapi harus terlebih dahulu diteliti secara mendalam mengapa peradilan kita ini menjadi seperti sekarang, apakah disebabkan oleh sistemnya, sehingga sistemnya perlu diganti ataukah ada sebab lain. Apakah hal ini pernah dilakukan? Kita tidak boleh tergesa-gesa "mentargetkan" undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman baru nanti harus selesai dalam waktu tertentu. Sebelum kita berfikir akan mengubah sistem, maka haruslah dievaluasi terlebih dahulu sistem yang sekarang sedang berlaku.
Kalau memang sistem yang ada salah yang menyebabkan peradilan menjadi seperti sekarang ini, maka sistem baru yang akan diterapkan itu harus dipersiapkan dengan matang dengan penelitian (kepustakaan dan lapangan), studi banding peraturan positif pelbagai negara serta persiapan peraturan perundang-undangannya yang matang pula. Selanjutnya perlu dipertanyakan apakah ada jam in an bahwa sistem baru itu akan lebih baik dari pada sistem yang lama
Mengubah sistem lama dengan yang baru banyak konsekuensinya, lebihlebih karena ini menyangkut Kekuasaan Kehakiman, menyangkut tempat pelarian terakhir (/aatste toevlucht) bagi masyarakat pencari keadilan. Pertama,
mengubah sistem memerlukan waktu yang lama untuk penelitian maupun penyusunan peraturan perundang-undangannya dan biaya yang tidak sedikit pula. Sebelum mengubah sistem yang lama harus terlebih dahulu dievaluasi sistem yang lama dan diinventarisasi untung ruginya. Kedua, pembentukan undang-undangnya yang harus didahului dengan studi banding, penyusunan academic draft dan kemudian penyusunan rancangannya harus mendapat perhatian penuh, sebab sudah menjadi kebiasaan yang kurang baik selama ini bahwa dalam pembentukan undang-undang seringkali, kalau tidak boleh dikatakan selalu, disertai dengan peraturan organik yang masih harus disusun dan diundangkan kemudian, yang sering membutuhkan waktu yang lama (seperti misalnya Undang-undang tentang Hak Tanggungan, yang baru lahir 36 tahun sesudah undang-undang pokoknya, yaitu Undang Pokok Agraria, diundangkan), sehingga undang-undang pokoknya tidak dapat berlaku secara operasional penuh. Belum lagi mensosialisasikan undang-undang baru itu kepada masyarakat membutuhkan waktu juga. Yang tidak kurang pentingnya untuk diperhatikan ialah bahwa peradilan itu merupakan satu sistem, yang tidak hanya melibatkan hakim saja, tetapi juga kepolisian dan kejaksaan, sehingga dalam membentuk undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman nanti harus sungguh-sungguh diperhatikan adanya koordinasi itu, tidak berdiri lepas satu sama lain, tetapi tetap dalam satu sistem.
Dari apa yang diuraikan di atas maka untuk mengubah sistem diperlukan waktu, biaya dan energi yang tidak sedikit. Lagi pula sudah bukan merupakan rahasia lagi bahwa Pemerintah tidak menghendaki perubhan sistem Kekuasaan Kehakiman yang sekarang ini (pernyataan Menteri Kehakiman dalam pelbagai mass media). Kalaupun Pemerintah mengizinkan perubahan sistem Kekuasaan Kehakiman yang sekarang ini dan kebijaksanaan politik masih seperti sekarang ini, apakah perubahan itu akan ada manfaatnya?
Yang lebih mendesak menurut hemat saya ialah mengembalikan citra peradilan lebih dahulu yang sudah sangat memprihatinkan dari pada mengubah sistemnya, karena sebelum tahun lOan seperti yang telah dikemukakan di atas
keadaan peradilan tidak seperti sekarang ini, sehingga hal itu bukan disebabkan oleh sistemnya, melainkan oleh sumber daya manusianya. Maka oleh karena itu yang sekarang ini mendesak ialah meningkatkan integritas, disiplin kerja dan pengetahuan sumber daya manusianya, dalam hal ini terutama adalah hakimnya.
Sebagai kesimpulan kiranya dapat dikemukakan hal-hal seperti berikut. IKAHI dalam Memorandumnya menyatakan ketidak puasannya mengenai pengaturan dan pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman.
Sebelum berfikir mengubah sistem perlu dievaluasi keadaan sekarang ini.
Apakah keadaan peradilan seperti sekarang ini disebabkan oleh sistemnya atau oleh sumber daya manusianya. Sepanjang pengetahuan saya belum ada evaluasi atau penelitian mengenai hal ini. Yang ada sikap a priori bahwa kesalahan terletak pada sistemnya.
Yang jelas keadaan peradilan kita dewasa ini sangat memprihatinkan, sehingga saya lebih condong untuk memprioritaskan memulihkan citra peradilan. Untuk memulihkan citra peradilan sebaiknya ditingkatkan lebih dulu integritas, disiplin kerja dan pengetahuan sumber daya manusianya, terutama hakimnya. denganA meningkatkan intensitas pengawasan oleh Hawas, menghidupkan kembali eksaminasi, meningkatkan frekuensi penataran, memberi tugas belajar ke strata 2 (S2), lebih selektif dalam recruitment hakim dan menjatuhkan sanksi yang berat bagi hakim yang melanggar. Larangan campur tangan pihak ekstra yudisiil sebaiknya ada sanksinya.
Yogyakarta, 9 April 1996
Dalam Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS) yang diselenggarakan pada tanggal 23 Oktober 1996 di Ujung Pandang, IKAHI telah mengeluarkan Memorandum yang akhir-akhir ini banyak menjadi pembicaraan. Apakah isi Memorandum IKAHI tahun 1996 itu? Isi Memorandum lKAHI tersebut bukanlah merupakan hal yang baru. Di dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh IKAHI dan PERSAHI pada tahun 1992 telah pernah dibicarakan substansi Memorandum IKAHI tahun 1996 itu. Sesudah tahun 1992 itu telah berulang kali materi pokok Memorandum IKAHI itu dibicarakan dalam pelbagai pertemuanpertemuan ilmiah baik yang dise!enggarakan oleh mahasiswa maupun oleh para pakar. Sesungguhnya jauh sebelum tahun 1992 IKAHI telah memperjoangkan apa yang tercantum dalam Memorandum IKAHI 1996 tersebut, namun sampai sekarang belum berhasil.
Pada dasarnya isi pokok Memorandum IKAHI tersebut yaitu ketidakpuasan terhadap pengaturan dan pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman. Semula ketidakpuasan itu disebabkan karena kurangnya keserasian hubungan antara Mahkamah Agung dengan Departemen Kehakiman. Hubungan yang tidak serasi disebabkan karena kebijaksanaan antara Mahkamah Agung dengan Departemen Kehakiman sering berbeda bahkan bertentangan, seperti misalnya tentang pengangkatan, penempatan, mutasi dan kenaikan pangkat seorang hakim. Ketidak puasan atau ketidak serasian itu dicoba pada waktu itu diatasi dengan menempatkan seorang hakim di Departemen Kehakiman sebagai Direktur Jenderal Peradilan dengan harapan kepentingan para hakim lebih diperhatikan dan hubungan antara Mahkamah Agung dengan Departeman Kehakiman menjadi lebih serasi. Akan tetapi hubungan yang tidak serasi itu tetap berlangsung.
Kemudian alasan ketidakpuasan itu meluas, tidak hanya karena hubungan Mahkamah Agung dengan Departemen Kehakiman itu tidak serasi, tetapi berkaitan dengan recruitment hakim. Belum lama ini recruitment Hakim Agung menjadi perbincangan hangat di dalam mass media. Selanjutnya dirasakan tidak adanya kebebasan hakim, yang sebabnya dicari pada kenyataan bahwa hakim mempunyal dua atasan, jadi menyangkut pengaturan dan pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman juga. Jadi hakim sekarang ini tidak hebas, karena berlindung di bawah dua atap. Kemudian sorotan dan kritik terhadap Mahkamah Agung sebagai kekuasaan Negara yang melakukan Kekuasaan Kehakiman akhir-akhir ini menimbulkan kritik pula terhadap Kekuasaan Kehakiman dewasa ini, sehingga menyebabkan sementara orang menginginkan agar Mahkamah Agung dalam tugasnya diawasi dan bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Jadi permasalahan pokoknya ialah bahwa IKAHI dengan memorandumnya menghendaki bahwa hakim itu ada di bawah satu atap dan tidak seperti sekarang ada di bawah dua atap, yaitu Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman. Pada umumnya tidak sedikit yang setuju bahwa hakim harus ada di bawah satu atap dengan alasan antara lain untuk lebih menjamin kebebasan hakim.
Pada dasarnya dengan Memorandumnya, IKAHI menghendaki mengubah sistem Kekuasaan Kehakiman yang ada. Dapat disimpulkan bahwa IKAHI, dengan Memorandumnya, dengan mengubah sistem Kekuasaan Kehakiman yang sekarang, dengan meletakkan hakim di bawah satu atap, memastikan akan terpecahkan masalahnya: tidak akan ada tumpang tindih wewenang karena hanya ada satu atasan, pengangkatan, mutasi, kenaikan pangkat akan lebih lancar, hakim akan lebih terjamin kebebasannya, tidak akan ada penyimpangan prosedur, kolusi atau surat sakti dan sebagainya. Itu baru merupakan harapan. Apa benar demikian karena hal itu masih merupakan rencana. Apakah benar masalah-masalah tersebut di atas disebabkan karena sistem Kekuasaan Kehakiman dewasa ini? Apakah ada jaminan bahwa perubahan sistem
Kekuasaan Kehakiman itu nanti akan menghilangkan kendala-kendala yang kita hadapi sekarang ini seperti yang tersebut di atas?
Menempatkan hakim di bawah satu atap berarti mengubah sistem yang sudah berjalan lama. Perlu dipertanyakan apakah selama ini, sejak Proklamasi (atau sebelumnya) dengan sistem yang sekarang berlaku selalu te~adi tumpang tindih wewenang dan tidak ada kebebasan hakim atau ada keluhan mengenai peradilan kita? Keadaan peradilan kita dewasa ini memang sangat memprihatinkan. Akan tetapi tidak selamanya demikian. Sebelum tahun 70an (yang sistem perdilan atau Kekuasaan Kehakimannya sama dengan sekarang) sepanjang pengetahuan saya tidak ada keluhan mengenai peradilan atau Kekuasaan Kehakiman seperti sekarang ini, kalau adapun hanyalah satu dua. Jadi apakah keadaan peradilan kita yang sangat memprihatinkan sekarang ini disebabkan oleh sistem Kekuasaan Kehakimannya?
Kalaupun kita ingin mengubah sistemnya, janganlah sekedar ingin mengubah, karena ingin sesuatu yang baru, tetapi harus terlebih dahulu diteliti secara mendalam mengapa peradilan kita ini menjadi seperti sekarang, apakah disebabkan oleh sistemnya, sehingga sistemnya perlu diganti ataukah ada sebab lain. Apakah hal ini pernah dilakukan? Kita tidak boleh tergesa-gesa "mentargetkan" undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman baru nanti harus selesai dalam waktu tertentu. Sebelum kita berfikir akan mengubah sistem, maka haruslah dievaluasi terlebih dahulu sistem yang sekarang sedang berlaku.
Kalau memang sistem yang ada salah yang menyebabkan peradilan menjadi seperti sekarang ini, maka sistem baru yang akan diterapkan itu harus dipersiapkan dengan matang dengan penelitian (kepustakaan dan lapangan), studi banding peraturan positif pelbagai negara serta persiapan peraturan perundang-undangannya yang matang pula. Selanjutnya perlu dipertanyakan apakah ada jam in an bahwa sistem baru itu akan lebih baik dari pada sistem yang lama
Mengubah sistem lama dengan yang baru banyak konsekuensinya, lebihlebih karena ini menyangkut Kekuasaan Kehakiman, menyangkut tempat pelarian terakhir (/aatste toevlucht) bagi masyarakat pencari keadilan. Pertama,
mengubah sistem memerlukan waktu yang lama untuk penelitian maupun penyusunan peraturan perundang-undangannya dan biaya yang tidak sedikit pula. Sebelum mengubah sistem yang lama harus terlebih dahulu dievaluasi sistem yang lama dan diinventarisasi untung ruginya. Kedua, pembentukan undang-undangnya yang harus didahului dengan studi banding, penyusunan academic draft dan kemudian penyusunan rancangannya harus mendapat perhatian penuh, sebab sudah menjadi kebiasaan yang kurang baik selama ini bahwa dalam pembentukan undang-undang seringkali, kalau tidak boleh dikatakan selalu, disertai dengan peraturan organik yang masih harus disusun dan diundangkan kemudian, yang sering membutuhkan waktu yang lama (seperti misalnya Undang-undang tentang Hak Tanggungan, yang baru lahir 36 tahun sesudah undang-undang pokoknya, yaitu Undang Pokok Agraria, diundangkan), sehingga undang-undang pokoknya tidak dapat berlaku secara operasional penuh. Belum lagi mensosialisasikan undang-undang baru itu kepada masyarakat membutuhkan waktu juga. Yang tidak kurang pentingnya untuk diperhatikan ialah bahwa peradilan itu merupakan satu sistem, yang tidak hanya melibatkan hakim saja, tetapi juga kepolisian dan kejaksaan, sehingga dalam membentuk undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman nanti harus sungguh-sungguh diperhatikan adanya koordinasi itu, tidak berdiri lepas satu sama lain, tetapi tetap dalam satu sistem.
Dari apa yang diuraikan di atas maka untuk mengubah sistem diperlukan waktu, biaya dan energi yang tidak sedikit. Lagi pula sudah bukan merupakan rahasia lagi bahwa Pemerintah tidak menghendaki perubhan sistem Kekuasaan Kehakiman yang sekarang ini (pernyataan Menteri Kehakiman dalam pelbagai mass media). Kalaupun Pemerintah mengizinkan perubahan sistem Kekuasaan Kehakiman yang sekarang ini dan kebijaksanaan politik masih seperti sekarang ini, apakah perubahan itu akan ada manfaatnya?
Yang lebih mendesak menurut hemat saya ialah mengembalikan citra peradilan lebih dahulu yang sudah sangat memprihatinkan dari pada mengubah sistemnya, karena sebelum tahun lOan seperti yang telah dikemukakan di atas
keadaan peradilan tidak seperti sekarang ini, sehingga hal itu bukan disebabkan oleh sistemnya, melainkan oleh sumber daya manusianya. Maka oleh karena itu yang sekarang ini mendesak ialah meningkatkan integritas, disiplin kerja dan pengetahuan sumber daya manusianya, dalam hal ini terutama adalah hakimnya.
Sebagai kesimpulan kiranya dapat dikemukakan hal-hal seperti berikut. IKAHI dalam Memorandumnya menyatakan ketidak puasannya mengenai pengaturan dan pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman.
Sebelum berfikir mengubah sistem perlu dievaluasi keadaan sekarang ini.
Apakah keadaan peradilan seperti sekarang ini disebabkan oleh sistemnya atau oleh sumber daya manusianya. Sepanjang pengetahuan saya belum ada evaluasi atau penelitian mengenai hal ini. Yang ada sikap a priori bahwa kesalahan terletak pada sistemnya.
Yang jelas keadaan peradilan kita dewasa ini sangat memprihatinkan, sehingga saya lebih condong untuk memprioritaskan memulihkan citra peradilan. Untuk memulihkan citra peradilan sebaiknya ditingkatkan lebih dulu integritas, disiplin kerja dan pengetahuan sumber daya manusianya, terutama hakimnya. denganA meningkatkan intensitas pengawasan oleh Hawas, menghidupkan kembali eksaminasi, meningkatkan frekuensi penataran, memberi tugas belajar ke strata 2 (S2), lebih selektif dalam recruitment hakim dan menjatuhkan sanksi yang berat bagi hakim yang melanggar. Larangan campur tangan pihak ekstra yudisiil sebaiknya ada sanksinya.
Yogyakarta, 9 April 1996
1 komentar:
PERADILAN INDONESIA: PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT
Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap Rp.5,4 jt. (menggunakan uang klaim asuransi milik konsumen) di Polda Jateng
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat,sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Maka benarlah statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK). Ini adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan saja. Masyarakat konsumen Indonesia yang sangat dirugikan mestinya mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" untuk menelanjangi kebusukan peradilan ini .
Masalahnya, masyarakat Indonesia lebih memilih "nrimo" menghadapi kenyataan peradilan seperti ini. Sikap inilah yang membuat para oknum 'hakim bejat' Indonesia memanfaatkan kesempatan memperkosa hukum negara ini.
Sampai kapan kondisi seperti ini akan berlangsung??
David Pangemanan
HP. (0274)9345675o
Posting Komentar