Jumat, 24 Oktober 2008

SEKITAR HAKIM AGUNG MAHKAMAH AGUNG RI







oleh
Sudikno Mertokusumo

Dalam RUU MA, yang kabarnya merupakan suatu insiatif dari Mahkamah Agung, ada rencana untuk
memperpanjang batas usia pensiun bagi hakim agung pada Mahkamah Agung dari 67 menjadi 70 tahun. Meskipun "hanya" diperpanjang 3 kali 365 hari, namun sempat menimbulkan pro dan kontra.



Untuk menanggapi hal tersebut perlu kiranya diketahui bahwa tugas atau pekerjaan hakim pada umumnya tidaklah ringan. Di samping itu telah dikenal luas bahwa hakim yang tugasnya memeriksa dan memutus perkara pada umumnya harus arif dan bijaksana. Dengan demikian maka tanggung jawab hakim adalah berat dan besar, baik kepada pihak-pihak yang bersangkutan (para justiciabele atau pencari keadilan), masyarakat, pemerintah maupun negara.
Sejak dari mempelajari peristiwa (konflik) konkretnya, tanya jawab di persidangan untuk memperoleh gambaran tentang peristiwa konkretnya, kemudian mencari kebenaran dengan pembuktian dan menyimpulkan kebenaran peristiwa konkretnya dan menemukan hukumnya serta akhirnya menjatuhkan putusan, merupakan rentetan kegiatan yang menguras otak dan hati nuraninya.
Dalam mencari kebenaran peristiwa konkretnya dengan pembuktian, karena para pihak (dalam perkara perdata) pada umumnya masing-masing mencari benarnya sendiri-sendiri (maklum manusia pada umumnya tidak mau disalahkan), sedangkan kedua belah pihak harus diperlakukan sama (audie et alteram partem) dan hakim tidak boleh memihak, hal ini bukanlah suatu pekerjaan yang mudah.
Dalam mengartikan atau menafsirkan peraturan-peraturan hukum atau undang-undang tidak ada pedoman atau acuan, baik dalam undang-undang maupun dalam bentuk PerMa dalam menggunakan metode-metode penemuan hukum, sehingga penafsiran undang-undang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim. Oleh karena itu penafsiran dikatakan sebagai “seni” oleh von Savigny.
Suatu putusan harus sesuai dengan hukum, karena hakim harus mengadili menurut hukum (pas.5 UU no.4 th 2004). Kecuali itu hukum fungsinya adalah untuk melindungi kepentingan manusia. Di samping harus mengandung kepastian hukum suatu putusan harus pula mengandung keadilan, putusan harus objektif dan tidak memihak. Unsur ketiga yang harus ada dalam suatu putusan ialah kemanfaatan. Suatu putusan harus bermanfaat baik bagi pihak-pihak yang bersangkutan maupun bagi masyarakat (Gustav Radbruch). Suatu putusan yang ideal ialah apabila putusan itu mengandung ketiga unsur tadi yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum secara proporsional. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak mungkin dicapai hadirnya ketiga unsur itu secara proporsional. Paling tidak ketiga unsur harus ada dalam suatu putusan dan hakim harus menciptakan keseimbangan antara ketiga unsur-unsur itu. Ini bukan merupakan kegiatan kecerdasan intelektual, rasional atau logika, akan tetapi merupakan kegiatan kecerdasan emosional atau kegiatan hati nurani. Kalau terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum, maka keadilannya yang harus didahulukan. Hal ini tampak pula pada titel eksekutorial yang berbunyi “Demi Keadilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa”.
Jadi hakim termasuk hakim agung dalam menjalankan tugasnya, memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan didorong oleh kecerdasan intelektual maupun kecerdaan emosionalnya (hati nurani), suatu pekerjaan yang tidak ringan dan menuntut tanggung jawab yang besar dan berat. Betapa tidak hakim itu menentukan nasib banyak orang.



Mengapa batas usia pensiun hakim agung harus diperpanjang? Apa rasio atau alasannya? Apa yang sesungguhnya hendak dicari?
Setiap usaha, dalam hal ini memperpanjang batas usia pensiun bagi hakim agung, pada dasarnya harus bertujuannya untuk memperoleh hasil yang lebih baik dan lebih menguntungkan.dari yang ada sekarang (sebelum perpanjangan batas usia pensiun), terutama dalam hal ini dilihat dari sudut justiciabele (pencari keadlian) atau masyarakat dan baru kemudian dari sudut hakim agung itu sendiri.
Mari kita lihat apakah perpanjangan batas usia pensiun bagi hakim agung itu memang menguntungkan terutama bagi para justiciabele dan masyarakat dengan kaca mata yang jernih.
Menurut CIA The World Factbook 2008 (
http://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/print/id.html) harapan hidup orang Indonesia adalah 67 tahun. Yang berarti bahwa batas usia orang Indonesia itu rata-rata 67 tahun. Akan tetapi perlu disadari bahwa hidup manusia itu mengenal masa puncak atau produktif dan masa surut. Pada umumnya beberapa tahun sebelum meninggal manusia mengalami penurunan atau kemunduran kesehatan, baik secara phisik maupun secara psikhis: penglihatan berkurang, pendengaran berkurang, ingatan berkurang (pikun), seniel (jompo), bahkan sering didahului dengan sakit-sakitan.
Kalau sudah mencapai usia 67 tahun (batas harapan hidup) dimana pada umumnya/rata-rata kesehatan atau kemampuan manusia sudah mulai menurun (decadentie), kemudian batas usia masih pensiun diperpanjang sampai 70, apakah ada jaminan bahwa kinerja dan kesehatan hakim agung, yang tanggung jawabnya berat dan besar, masih cukup baik dan mampu bekerja lebih baik dan tidak berkurang, seperti yang diharapkan dengan perpanjangan batas usia pensiun tersebut? Bukan hanya orang tua saja yang dapat jatuh, orang mudapun dapat jatuh. Setiap orang dapat jatuh karena kram, baik muda maupun tua. Tetapi orang tua yang usianya sudah lanjut akan lebih mudah jatuh karena kram dari pada yang muda. Pengecualian satu dua, selalu ada, Tuhan Maha Kuasa. Apakah kepentingan para justicabele akan terlindungi? Apakah tunggakan perkara akan dapat diatasi? Life is fading fast away.... Janganlah hidup hakim agung ini pada akhir hayatnya masih dibebani tugas yang tidak ringan dengan diperpanjangnya batas usia untuk pensiun. Biarkanlah ia dalam usia senjanya menikmati sisa-sisa hidupnya dengan merenungkan hasil karyanya selama ini dengan tenang.




Manusia pada umumnya ingin berkuasa. Kalau sudah berkuasa ingin tetap berkuasa. Kalau perlu seluruh anggota keluarganya dilibatkan. Betapa tidak, ada seorang presiden yang sudah 30 tahun berkuasa dan kalau tidak didemonstrasi tidak akan menyerahkan kekuasaannya kepada penggantinya. Bahkan kalau mungkin kekuasaan itu diwariskan kepada ahli warisnya. Mengapa ada mantan presiden yang mencalonkan lagi untuk jadi presiden? Untuk memperbaiki kesalahan diwaktu yang lampau?
Apakah perpanjangan batas waktu pensiun bagi hakim agung (kalau itu inisiatif dari MA) bukan berarti ingin berkuasa lebih lama lagi, ataukah karena dibayang-bayangi oleh post power syndrome atau gerontophobi?



Hakim agung adalah hakim. Hakim merupakan suatu profesi, sedangkan profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi oleh pendidikan keahlian, ketrampilan dan kejuruan tertentu serta pengalaman. Oleh karena itu hakim agung harus sarjana hukum dan pernah mengikuti pelatihan sebagai hakim dan mempnyai pengalaman sebagai hakim pengadilan negeri dan hakim pengadilan tinggi. Hakim agung harus mempunyai pengalaman memeriksa dan memutus perkara ditingkat pengadilan negeri maupun di tingkat pengadilan tinggi. Dengan demikian mempunyai pengalaman dikabulkan atau ditolaknya putusan-putusannya ditingkat pertama, banding maupun di tingkat kasasi atau ditingkat peninjauan kembali dan berpengalaman juga di-eksaminasinya putusan-putusannya. Pengalaman-pengalaman itu dibutuhkan sebagai suatu profesi.
Hakim agung boleh mumpuni dalam hal ilmu, ia boleh berpengalaman sebagai dosen dan bergelar guru besar dengan sederetan gelar di belakang namanya, akan tetapi kalau tidak mempunyai pengalaman baik intelektual maupun emosional (kegiatan hati nurani) dalam memeriksa dan memutus perkara, kiranya putusannya belum cukup dewasa, arif dan bijaksana. Pengalaman membuat orang lebih arif dan bijaksana. Oleh karena itu hakim agung harus diangkat atau dipilih dari hakim karier.


Barangkali pendapat di atas hanya merupakan "annoyance" saja dan tidaklah menarik atau populer serta "nyleneh", terutama dengan adanya Undang-undang tentang Komisi Yudisial (UU no.22 th 2004). Akan tetapi setidak-tidaknya dapat dijadikan bahan renungan atau sumbangan pemikiran.

Yogyakarta 24 Oktober 2008

--oooOooo---

Minggu, 31 Agustus 2008

PENGANTAR ILMU HUKUM UNTUK AWAM





oleh
Sudikno Mertokusumo

Tulisan ini ditujukan kepada mereka yang bukan ahli hukum, yang awam hukum, untuk mengenal (ilmu) hukum lebih dekat secara sederhana. Hukum bagi awam pada umumnya, karena ketidak-tahuan atau kurang pengetahuan mereka dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan.
Di dalam Negara berkembang seperti Negara Republik Indonesia ini, diharapkan warga negaranya tahu hukum dan hak kewajibannya secara sederhana. Oleh karena itu dengan tulisan ini dicoba untuk menguraikan secara mudah dan ringkas tentang hukum.
Hukum itu berhubungan dengan manusia. Kalau tidak ada manusia, maka tidak akan ada hukum. Karena adanya manusialah maka ada hukum. Rasio adanya hukum adalah Conflict of human interest. Hukum itu ada karena ada konflik kepentingan,
Manusia itu mempunyai ego, mempunyai aku, mempunyai kepribadian atau rasa harga diri. Di dunia ini manusia berkuasa dan ingin menguasai lebih jauh dunia ini, baik dalam skala besar mapun kecil. Ia adalah pusat dari segala kegiatan kehidupan. Ia adalah subjek, bukan objek. Ia adalah penentu bukan alat. Oleh karena itu ia mempunyai kepentingan, yaitu tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi, ia mempunyai kebutuhan. Sejak dulu sampai sekarang bahkan untuk waktu yang akan datang dan dimana-mana manusia mempunyai kepentingan yang diharapkan untuk dipenuhi. Sejak kecil sampai dewasa manusia membutuhkan kasih sayang ibu, membutuhkan minum, makan dan pakaian, membutuhkan sesuatu untuk dimiliki, membutuhkan sekolah, bekerja dan berkeluarga, bahkan pada waktu meninggalpun ia butuh untuk dimakamkan.
Akan tetapi sayangnya, kepentingan-kepentingannya itu sepanjang masa dimana mana selalu diganggu atau diancam oleh sesamanya, binatang buas atau alam disekelilingnya: kepentingan manusia diancam dan diganggu oleh pencurian, pembunuhan, perslingkuhan, serangan sekelompok kera liar dipemukiman, tsunami, banjir, gempa bumi dan sebagainya. Itu semuanya selalu mengganggu dan mengancam kepentingan manusia. Oleh karena itu manusia membutuhkan perlindungan kepentingan terhadap kepentingan-kepentingannya yang selalu terganggu itu. Manusia ingin hidup tenteram dan damai. Itu merupakan kepentingan atau kebutuannya.
Maka terciptalah kaedah sosial atau peraturan hidup yang melindungi kepentingan manusia dari gangguan yang mengancam kepentingannya itu. Ada empat kaedah sosial yang dapat dibagi menjadi dua kelompok kaedah sosial, yaitu kelompok kaedah sosial yang mempunyai aspek kehidupan pribadi, yaitu kaedah agama dan kaedah kesusilaan dan kelompok kaedah sosial yang mempunyai aspek kehidupan antar pribadi, yaitu kaedah sopan santun atau tata krama dan kaedah hukum.
Kaedah hukum mempunyai tujuan ketertiban masyarakat, agar jangan sampai ada manusia dan masyarakat menjadi korban kejahatan atau gangguan kepentingan. Jadi melindungi manusia dan masyarakatnya. Kecuali itu kaedah hukum ditujukan kepada sikap lahir pelakunya (manusianya) sebagai makhluk sosial. Apa yang ada di dalam batinnya tidak disentuh oleh hukum Adapun kaedah hukum itu berasal dari luar diri manusia secara teratur, secara terorganisir dan resmi, seperti dari lembaga legislatif, lembaga yudikatif dan sebagainya. Ruang lingkup kaedah hukum bersifat nasional meliputi teritoir Negara, sedangkan daya kerjanya, kaedah hukum membebani manusia dengan hak dan kewajiban.

Jadi (peratturan) hukum adalah perlindungan kepentingan manusia, yang berupa kumpulan kaedah atau peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan dengan masyarakat atau Negara.
Dalam mengatur hubungan manusia antara lain dengan membebani manusia dengan hak dan kewajiban. Hak itu memberi kenikmatan atau kebebasan kepada individu dalam melaksanakannya. Hak dibagi menjadi hak absolut dan hak relatif. Hak absolut adalah hubungan hukum antara subjek hukum dengan benda (objek hukum) yang dilindungi hukum dan mewajibkan orang lain untuk menghormatinya. Hak absolut berupa berbuat atau tidak berbuat terhadap suatu benda yang dapat dilaksanakan dan dipertahankan terhadap siapapun. Hak absolut dibagi lebih lanjut menjadi hak absolut kebendaan, hak absolut bukan kebendaan dan hak absolut sui generis. Hak relatif adalah hubungan hukum antara subjek hukum dengan subjek hukum lain dengan perantaraan benda (objek hukum) dan menimbulkan hak dan kewajiban. Hak relatif mengatur hak seseorang untuk menagih atau menuntut.
Kewajiban merupakan pembatasan dan beban dalam melakukan sesuatu.

Dalam mengatur hubungan manusia kaedah hukum dapat bersifat mencegah (preventif) atau menindak dengan tegas (represif) ancaman atau gangguan kepentingan itu.
Oleh karena hukum itu tujuannya adalah ketertiban dan fungsinya adalah melindungi kepentingan manusia, maka harus dihayati, dilaksanakan, dijalankan dan ditegakkan.
Hukum harus dihayati, disadari bahwa hukum bukan hanya melindungi kepentingan saya saja tetapi juga melindugi kepentingan orang lain dan masyarakat.
Kesadaran hukum berarti juga, kesadaran bahwa hukum harus dilaksanakan, dijalankan, ditegakkan tidak boleh dilanggar dan pelanggarnya harus diberi sanksi.
Pelaksanaan hukum dapat terjadi secara damai tanpa sengketa atau konflik, tetapi pelaksanaan hukum dapat juga terjadi dengan paksaan, yaitu apabila terjadi pelanggaran, sengketa atau konflik, yang berarti bahwa pelaksanaan hukum terjadi dengan penegakan hukum dengan paksaan, dengan kekuasaan. Ini tidak berarti bahwa hukum adalah kekuasaan. Hukum bukanlah kekuasaan, tetapi hukum memerlukan kekuasaan untuk dapat dilaksanakannya atau menegakannya. Hukum tanpa kekuasaan tidak ada artinya. Kekuasaan yang dapat memaksakan berlakunya hukum adalah polisi, jaksa, hakim.

Dari apa yang telah dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kesadaran hukum itu ada pada diri setiap manusia, baik ia itu terpelajar atau bukan, tahu berlakuya suatu undang-undang atau tidak. Jadi kesadaran hukum bukan hanya ada pada sarjana hukum saja.

Akan tetapi sayangnya kesadaran hukum yang pada dasarnya ada pada setiap manusia itu tidak selalu disertai dengan kemauan untuk berbuat yang positif, untuk tidak melanggar hukum. Setiap orang tahu (meskipun tidak belajar hukum) bahwa mencuri itu tidak baik, membunuh itu tidak baik, tetapi masih juga mencuri, membunuh dan sebagainya. Di dalam hukum dikenal suatu asas hukum yang berbunyi bahwa “ketidak tahuan akan hukum tidak merupakan alasan pemaaf.

Hukum mempunyai sumber hukum. Adapun yang disebut sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan hukumnya. Hukumnya atau kaedah hukumnya terdapat di dalam Undang-undang, Kebiasaan, Yurisprudensi, atau putusan, traktat atau perjanjian internasional, doktrin dan perilaku atau perbuatan manusia.
Perlu diketahui bahwa sumber hukum mengenal hierarkhi atau kewerdaan, yang berarti bahwa sumber hukum mengenal tingkatan-tingkatan: ada yang tinggi kedudukannya, ada yang lebih rendah dan yang lebih rendah lagi dan seterusnya. Hierarkhi memungkin terjadinya konflik antara sumber hukum tersebut. Kalau terjadi konflik antara dua sumber hukum maka asasnya adalah bahwa sumber hukum yang lebih tinggilah yang harus dimenangkan atau didahulukan.

Dalam menyelenggarakan pemerintahan maka ada tiga lembaga yang mengaturnya, yaitu lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Masing-masing mempunyai tugasnya sendiri-sendiri. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa lembaga legislatif bertugas membuat peraturan, lembaga eksekutif yang bertugas melaksanakan peraturan sedangkan lembaga yudikatif yang menyelenggarakan penegakan hukum apabila peraturan-peraturan tadi dilanggar.
Semoga uraian ringkas di atas bermanfaat bagi yang berkepentingan.

Acuan
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum, Liberty

---oo0oo---

Rabu, 06 Agustus 2008

PENEMUAN HUKUM DAN ETIKA PROFESI

oleh
Sudikno Mertokusumo


Apakah yang diharapkan dari Sarjana Hukum dengan pengetahuannya yang diperolehnya dari Fakultas Hukum dan bekerja dalam profesi hukum? Setelah menguasai pengetahuan itu apa yang dituntut dari seorang Sarjana Hukum? Hafal semua peraturan dan teori-teori yang telah diajarkan di Fakultas? Kalau sudah hafal lalu mau diapakan? Bagaimanakah mengoperasionalkan pengetahuan yang diperolehnya itu? Itulah beberapa pertanyaan yang jarang terpikirkan.
Di Fakultas Hukum diajarkan bidang-bidang hukum, seperti hukum tata negara, hukum pidana, hukum perdata dan masih banyak bidang-bidang hukum lainnya. Dari sekian banyak mata kuliah dapatlah dikatakan bahwa pada hakekatnya apa yang diberikan di Fakultas Hukum atau apa sasaran studi hukum dan yang harus dikuasai oleh Sarjana Hukum adalah pengetahuan tentang kaedah hukum, sistem hukum dan penemuan hukum.
Kalau sudah menguasai segala pengetahuan yang diberikan di Fakultas Hukum apa yang kemudian harus dilakukan oleh Sarjana Hukum dengan pengetahuan yang telah diperolehnya itu? Bagaimanakah seorang Sarjana Hukum mengoperasionalkan atau mempraktekkan pengetahuan yang telah diperolehnya itu?
Seorang Sarjana Hukum selalu dihadapkan pada peristiwa atau konflik konkrit (masalah hukum), yang harus dipecahkannya. la harus menguasai peristiwa atau konflik itu dalam arti memahami dan mengerti duduk perkaranya dan kemudian menerapkan hukumnya. Maka oleh karena itu dengan pengetahuan yang telah diperolehnya itu Sarjana Hukum harus menguasai kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah hukum (the power of solving legal problems). Pada hakekatnya tujuan setiap ilmu adalah pemecahan masalah (problem solving). Kemampuan untuk memecahkan masalah­-masalah hulum ini meliputi kemampuan untuk a). memutuskan masalah-masalah hukum (legal problem identification), b). memecahkan masalah-masalah hukum (legal problem solving) dan), c. rnengambil keputusan (decision making). Disamping harus rnenguasai kemampuan memecahkan masalah-masalah hukum Sarjana Hukurn harus mampu pula mencari atau memberi pembenaran yuridis terhadap perkembangan hukum di dalam masyarakat. lni menunjukkan kepedulian akan perkembangan masyarakat atau perkembangan hukum.
Memecahkan masalah-masalah hukum bukanlah merupakan kegiatan yang sederhana dan mudah. Di dalam masyarakat terdapat banyak masalah sosial termasuk masalah hukum. Masalah hukm itu harus diseleksi dari masalah-masalah sosial lainnya dan kemudian diidentifikasi atau dirumuskan. Kadang-kadang masalah hukum itu tumpang tindih dengan masalah-masalah sosial lainnya dan batasnya sering tidak dapat ditarik secara tajam (masalah agama dan masalah hukum). Kalaupun masalah hukumnya berhasil diseleksi dan dirumuskan, masih perlu diketahui dan ditetapkan lagi termasuk bidang hukum apa (penggelapan – pencurian, ingkar janji - perbuatan melawan hukum). Setelah masalah hukumnya dirumuskan -lebih tepatnya peristiwa konkretnya dikonstatasi- maka (peristiwa) hukumnya harus diketemukan dan ditetapkan serta kemudian hukumnya diterapkan terhadap peristiwa hukumnya dan kemudian diambillah keputusan.
Penemuan hukum
Mengapa harus dilakukan penemuan hukum? Mengapa hukumnya harus diketemukan? Oleh karena hukumnya, terutama hukum tertulisnya, tidak jelas atau tidak lengkap, maka hukumnya perlu dicari perlu diketemukan. Oleh karena itu diperlukan penemuan hukum. Telah luas diketahui bahwa (peraturan) hukum itu tidak jelas dan tidak lengkap. Tidak mungkin ada peraturan hukum yang lengkap selengkap-Iengkapnya atau jelas sejelas-jelasnya. Hal ini memang wajar oleh karena kepentingan manusia itu tidak terhitung jumlah maupun jenisnya, sehingga tidak mungkin ada satu peraturan hukum yang dapat mengatur kepentingan manusia itu secara tuntas, lengkap dan jelas.
Telah diketengahkan di muka bahwa Sarjana Hukum selalu dihadapkan pada peristiwa atau konflik (masalah hukum) konkret yang harus dipecahkannya dan dicarikan hukumnya. Dalam menghadapi dan memecahkan konflik atau masalah hukum, penemuan hukum itu selalu diperlukan oleh karena itu penemuan hukum selalu berhubungan dengan peristiwa konkret.
Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa penemuan hukum adalah kegiatan atau usaha menemukan hukumnya karena hukumnya tidak jelas atau tidak lengkap. Pada umumnya penemuan hukum diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret tertentu. Adapun penemuan hukum itu meliputi proses perumusan masalah hukum, pemecahan masalah hukum dan pengambilan keputusan.
Konkretisasi atau individualisasi hukum itu berhubung dengan adanya peristiwa konkrit atau konflik. Kepada sarjana hukum yang bekerja dalam profesinya selalu dihadapkan pada peristiwa konkret atau konflik yang harus dipecahkannya atau diselesaikannya. Peristiwa konkret atau konflik itu harus dipecahkan dan untuk memecahkannya harus dicarikan (kaedah) hukumnya. Hukum atau das Sollen itu abstrak. Hukum yang abstrak itu tidak dapat secara langsung diterapkan pada peristiwanya yang konkret. Oleh karena itu hukumnya harus dikonkretkan lebih dulu dengan menghubungkan dan menyesuaikan dengan peristiwa konkretnya untuk kemudian dicari peristiwa hukumnya dan kemudian diterapkan hukumnya.
Dalam menemukan hukum ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dikuasai. Yaitu: a. adanya tata urutan dalam sumber (penemuan) hukum (hierarkhi), b. sistem hukum, dan c. metode penemuan hukum.
Perlu diketahui bahwa sumber (penemuan) hukum itu mengenal tata-urutan atau kewerdaan (hierarkhi). Seperti yang telah diketahui sumber (penemuan) hukum itu ialah peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan doktrin. Di samping itu perlu mendapatkan perhatian juga bahwa perilaku merupakan sumber hukum juga, oleh karena di dalam perilaku manusia itu terdapat hukumnya. Oleh karena kepentingan manusia itu yang mendorong perilakunya maka kepentingan merupakan sumber hukum juga. Undang-undang diprioritaskan atau didahulukan dari sumber-sumber hukum lainnya. Kalau hendak mencari arti sebuah istilah hukum misalnya maka haruslah dicari lebih dahulu di dalam undang-undang. Kalau ternyata di dalam undang-undang tidak ada maka barulah dicari dalam hukum kebiasaan, kemudian di dalam yurisprudensi. Kalau di dalam yurisprudensipun tidak ada maka baru dicari di dalam doktrin dan begitu selanjutnya. Kalau kita bicara tentang sumber hukum, maka hal itu tidak akan lepas dari kaedah hukum serta asas-asas hukum. Oleh karena itu dalam menemukan hukum harus pula dikuasai mengenai sifat dan ciri-ciri kaedah dan asas-asas hukum.
Hukum merupakan suatu sistem, yaitu suatu kesatuan yang tidak menghendaki adanya konflik di dalamnya. Kalau sampai terjadi konflik maka konfllik itu tidak akan dibiarkan berlangsung berlarut-Iarut. Oleh karena itu maka dalam menemukan hukum ciri-ciri sistem hukum itu harns diketahui. Sistem hukum mengenal klasifikasi. Di samping itu sistem hukum bersifat konsisten. Konsisten dalam arti secara ajeg mengatasi konflik yang terjadi. Sering terjadi konflik antara undang-undang dengan undang-undang, antara undang-undang dengan putusan pengadilan, antara undang-undang dengan hukum kebiasaan. Untuk mengatasi konflik-konflik itu tersedialah asas-asas yang secara konsisten digunakan. Kalau peraturan perundang-undangannya tidak bersifat lengkap, maka sistem hukumnyalah yang sifatnya lengkap. Ketidak-Iengkapan atau ketidak-jelasan itu dilengkapi dengan penemuan hukum. Setiap sistem hukum mempunyai konsep-konsep fundamental. Ciri-ciri sistem hukum seperti yang telah dikemukakan di atas harus diperhatikan dalam menemukan hukum.
Untuk menemukan hukum ada cara atau metodenya. Metode penemuan hukum ini telah banyak diketahui, akan tetapi sering tidak disadari. Metode penemuan hukum itu adalah metode penafsiran (interpretasi), metode argumentasi dan metode eksposisi atau konstruksi hukum. Kiranya bukan tempatnya untuk menguraikan metode-metode tersebut di sini.
Bagaimanakah prosedur penemuan hukum itu? Untuk mudahnya diambil contoh penemuan hukum oleh hakim perdata, karena penemuan hukum itu merupakan kegiatan hakim setiap harinya yang dilakukan secara profesional. Mengapa hakim perdata, karena peluang penemuan hukumnya lebih banyak dibandingkan dengan hakim pidana yang dibatasi oleh pasal l ayat 1 KUHP.
Prosedur penemuan hukum itu meliputi jawab menjawab yang tujuannya agar hakim mengetahui peristiwa konkret apa yang sekiranya menjadi sengketa antara kedua belah pihak. Kalau sekiranya oleh hakim sudah diketahui peristiwa konkretnya, maka peristiwa atau sengketa itu dibuktikan agar hakim dapat mengkonstatasi kebenaran peristiwa konkret atau sengketa tersebut. Hakim tidak akan mengkonstatasi suatu sengketa tanpa mengadakan pembuktian lebih dulu. Setelah peristiwa konkretnya dirumuskan atau dikonstatasi maka peristiwa konkret itu harus diterjemahkan dalam bahasa hukum agar (peraturan) hukumnya dapat diterapkan, sebab (peraturan) hukumnya tidak dapat diterapkan secara langsung terhadap peristiwa konkretnya. Jadi peristiwa konkret yang telah dikonstatasi itu kemudian harus dikonversi atau diterjemahkan menjadi peristiwa hukum. Setelah peristiwa konkretnya dikonversi menjadi peristiwa hukum barulah hukumnya dapat diterapkan. Kemudian diambillah keputusan.
Penemuan hukum merupakan rangkaian kegiatan, sehingga pada hakekatnya penemuan hukum itu dimulai sejak jawab menjawab. Akan tetapi momentum dimulainya penemuan hukum adalah pada saat membuktikan dan kualifikasi peristiwa konkretnya. Di sini dicarilah peristiwa konkret yang relevan; untuk itu harus pula diketahui hukumnya. Langkah kedua adalah mengkualifikasi peristiwa konkret: peristiwa konkret haus diterjemahkan dalam bahasa hukum. Yang dikualifikasi adalah peristiwa konkret, untuk dijadikan peristiwa hukum agar hukumnya dapat diterapkan. Langkah ketiga adalah mencari atau menseleksi (peraturan) hukum dari sumber-sumber hukum: undang-undang, hukum kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin serta perilaku manusia. Langkah keempat adalah menganalisis atau menginterpretasi (peraturan) hukum tersebut. Langkah kelima adalah menerapkan peraturan hukumnya terhadap peristiwa hukumnya dengan menggunakan silogisme. Langkah keenam adalah mengevaluasi dan mempertimbangkan argumentasinya. Di sini harus diperhatikan Idee des Rechts, yaitu unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan putusan, yaitu putusan harus mengandung keadilan (Gerechtigkeit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan kepastian hukum (Rechtssicherheit).Tiga unsur itu ideaalnya harus diupayakan ada dalam setiap putusan secara proporsional. Dalam prakteknya tidak mudah mengupayakan hadirnya ketiga unsur itu secara proporsional, tetapi kalau salah satu unsur ditinggalkan maka unsur lain dikorbankan: kalau yang diperhatikan itu hanyalah keadilan saja maka kepastian hukumnya dikorbankan dan begitu selanjutnya. Jadi paling tidak ketiga unsur itu harus ada sekalipun tidak secara proporsional.
Lain dari pada itu apa yang oleh Suto misalnya dianggap adil belum tentu diarasakan adil oleh Noyo. Tidaklah mudah untuk memberi definisi tentang isi keadilan. Yang lebih mudah ialah untuk memberi batasan tentang hakekat keadilan. Permasalahan tentang keadilan baru muncul apabila terjadi konflik antara dua orang yang mempermasalahkan tentang hak masing-masing.
Pada hakekatnya keadilan adalah pernilaian terhadap tindakan atau perlakuan seseorang pada orang lain, yang pada umumnya dilihat dari pihak yang terkena tindakan tersebut. Pada umumnya apa yang dinamakan adil itu mengandung unsur pengorbanan.
Prosedur penemuan hukum bukanlah merupakan kegiatan yang terdiri dari langkah-Iangkah yang berurutan dari langkah pertama, diikuti oleh langkah kedua, ketiga dan selanjutnya sampai langkah terakhir. Kadang-kadang sampai pada langkah ketiga harus kembali ke langkah pertama dan begitu selanjutnya.
Etika profesi
Etika adalah salah satu bagian dari filsafat yang mengadakan studi tentang kehendak manusia. Secara lebih sederhana dapatlah dikatakan bahwa etika adalah filsafat tingkah laku manusia, yang mencari pedoman tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak atau berbuat
Sasaran etika semata-mata adalah tingkah laku atau perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja. Baik tidaknya, tercela tidaknya suatu perbuatan itu dinilai dengan ada tidaknya kesengajaan. Orang harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya yang dilakukan dengan sengaja. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja harus sesuai dengan kesadaran etisnya. Kesadaran etis bukan hanya berarti sadar akan adanya perbuatan yang baik dan buruk saja, tetapi sadar pula bahwa orang wajib berbuat baik dan wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela. Etika yang berasal dari kesadaran manusia merupakan petunjuk tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk dan sekaligus juga merupakan pemilaian atau kualifikasi terhadap perbuatan seseorang. Dalam etika kita tidak hanya berbicara tentang kehendak atau perilaku manusia melainkan juga tentang kaedah dan motivasi perilaku manusia. Etika pada hakekatnya merupakan pandangan hidup dan pedoman tentang bagaimana seyogyanya seseorang itu bertindak.
Bagi etika, baik buruknya, tercela tidaknya perbuatan itu diukur dengan tujuan hukum, yaitu ketertiban masyarakat.
Bagi hukum problematiknya adalah ditaati atau dilanggar tidaknya kaedah hukum. Hukum menuntut legalitas, yang berarti bahwa yang dituntut adalah pelaksanaan atau pentaatan kaedah hukum semata-mata. Sebaliknya etika lebih mengandalkan iktikad baik dan kesadaran moral pada pelakunya. Oleh karena itu etika menuntut moralitas, yang berarti bahwa yang dituntut adalah perbuatan yang didorong oleh rasa wajib dan tanggung jawab. Itulah sebabnya timbul kesulitan untuk menilai pelanggaran etika selama pelanggaran itu tidak merupakan pelanggaran hukum. Etika seperti halnya juga dengan hukum mengancam pelanggaran dengan sanksi. Hanya saja pelanggaran pada etik sanksinya tidak dapat dipaksakan dengan sarana ekstrem.
Kata profesi dalam bahasa Indonesia yang tepat dan baku tidak atau belum ada. Pada umumnya profesi dapat dilukiskan sebagai pekerjaan yang menyediakan atau memberikan pelayanan yang "highly specialized intellectual". Menurut Roscoe Pound kata profesi itu "refers to a group of men persuing a learned art as a common calling in the spirit of a public service, no less a public service because it may incidentally be a means of livelihood".
Jadi profesi adalah pekerjaan pelayanan yang dilandasi dengan persiapan atau pendidikan khusus yang formil dan landasan kerja yang ideel serta didukung oleh cita­-cita etis masyarakat. Adapun ciri-ciri profesi ialah: merupakan pekerjaan pelayanan, didahului dengan persiapan atau pendidikan khusus formil, keanggotaannya tetap dan mempunyai cita-cita etis masyarakat. Profesi berbeda dengan pekerjaan lain yang tujuannya adalah untuk memperoleh keuntungan semata-mata, sedangkan profesi memusatkan perhatiannya pada kegiatan yang bermotif pelayanan. Profesi tidak selalu dibedakan dengan tajam dari pekerjaan-pekerjaan lain (vocation, occupation). Peraturan mengenai profesi pada umumnya mengandung hak-hak yang fundamental dan mempunyai peraturan-peraturan mengenai tingkah laku atau perbuatan dalam melaksanakan profesinya yang dituangkan dalam kode etik.
Di dalam praktek pelaksanaan profesi (hukum) cenderung berkembang kearah mencari keuntungan (dokter, pengacara, notaris), sehingga kesadaran hukum dan kepedulian sosial menurun
Profesi hukum harus berlandaskan etik. Demi hukum itu sendiri profesi hukum harus berlandaskan etik. Dapatlah kiranya profesi hukum itu dirumuskan sebagai suatu kegiatan pelayanan dalam bidang hukum melalui pendidikan tinggi hukum berdasarkan etik. Kode etik profesi hukum yang bersifat umum tidak ada, karena profesi hukum sangat bervariasi. Hal ini tampak dari adanya beberapa kelompok profesi hukum, yaitu antara lain hakim, jaksa, pengacara, notaris, dosen hukum dan sebagainya. Mengingat bahwa secara teknis fungsional dan operasional tugas masing-masing kelompok dalam profesi hukum itu berbeda, maka masing-masing mempunyai kode etiknya sendiri­ sendiri. Hakim misalnya yang tergabung dalam lKAHI mempunyai kode etiknya sendiri sebagai hasil Keputusan Musyawarah Nasional ke IX Ikatan Hakim Indonesia tahun 1988 yang dikenal dengan Panca Brata, pengacara yang tergabung dalam IKADIN mempunyai kode etiknya sendiri, notaris yang tergabung dalam INI mempunyai kode etiknya yang ditetapkan oleh Kongres Ikatan Notaris Indonesia ke IX tahun 1974. Universitas Gadjah Mada sejak tahun 1997 mempunyai Kode Etik Dosen. Mereka semua itu bergerak di bidang hukum, tetapi ada perbedaan tugas. Pada hakekatnya kegiatan mereka bersifat ilmiah yang membutuhkan dasar pendidikan tinggi hukum. Mereka harus mampu merumuskan masalah-masalah hukum, memecahkannya, menerapkannya dan memberi putusan. Yang diperlukan adalah kemampuan untuk "solving legal problems". Baik hakim, jaksa dan sebagainya harus menguasai "the power of solving legal problems". Meskipun secara teknis operasional kegiatan mereka berbeda namun di lapangan mereka selalu dihadapkan pada peristiwa atau konflik yang harus dipecahkannya, oleh karena itu harus menguasai dan mampu mengoperasionalkan bekal yang diperolehnya dari pendidikan tinggi hukum.
Profesi hukum tidak dapat disamakan dengan profesi-profesi lainnya seperti profesi dokter misalnya. Profesi dokter merupakan profesi dengan kegiatan tunggal yang tidak bervariasi dibandingkan dengan profesi hukum, sehingga ikatan antara para anggotanya erat dan pelaksanaan kode etiknya lebih mudah dan mantap.
Tujuan dirumuskannya kode etik adalah untuk mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis dari anggotanya dan memberikan arah serta menjamin mutu moral anggotanya. Pemegang profesi dituntut mengutamakan profesinya secara bertanggung jawab. Sekalipun kode etik itu dimaksudkan untuk mencegah adanya campur tangan dari pihak luar profesi, namun berfungsi juga sebagai kontrol sosial. Pelanggaran kode etik tidak menimbulkan sanksi formil bagi pelakunya, sehingga terhadap kasus pelanggaran umumnya hanya dilakukan teguran.
Kode etik memerlukan adanya Dewan Kehormatan untuk mengawasi pelaksanaan profesi dan pelaksanaan kode etik (Universitas Gadjah Mada sejak tahun 1997 telah memiliki Dewan Kehormatan Kode Etik Dosen).
Penemuan hukum dan etika profesi
Apakah hubungannya penemuan hukum dengan etika profesi?
Dari apa yang telah diuraikan di atas maka penemuan hukum merupakan kegiatan pokok dan penting dalam profesi hukum pada umumnya Dikatakan pada umumnya karena profesi hukum itu bervariasi dan meliputi beberapa kelompok, yaitu seperti yang dikemukakan di atas antara lain hakim, pengacara, notaris, dosen dan sebagainya. Sekalipun secara teknis fungsional dan operasional tugas mereka itu berbeda dan masing-masing kelompok mempunyi kode etiknya masing-masing, namun mereka itu pada hakekatnya dihadapkan pada peristiwa atau konflik yang harus diselesaikan atau dipecahkannya. Untuk itu mereka tanpa kecuali harus melakukan penemuan hukum. Adapun sifat atau sikap yang diharapkan dari setiap penemu hukum adalah seperti berikut.
Pertama, harus mendapat perhatian bahwa dalam kita melakukan penemuan hukum harus disadari bahwa problematik hukum itu berpusat pada tiga hal, yaitu: a. terlindungi tidaknya kepentingan subyek hukum bersangkutan, b. terjamin tidaknya kepastian hukum dan c. tercipta tidaknya keseimbangan tatanan dalam masyarakat.
Kemudian kita harus bersikap terbuka, mau mendengarkan pendapat orang lain atau kritik. Dengan demikian kita akan memperoleh masukan. Kita tidak boleh menutup mata dan telinga untuk pandangan-pandangan baru dan hanya bersikukuh pada pandangan atau pendapatnya sendiri yang sudah kuno atau ketinggalan zaman tanpa mau mengikuti perkembangan ilmu hukum atau masyarakat.
Selanjutnya dalam penemuan hukum kita tidak boleh bersikap á priori, tidak boleh mempunyai praduga terhadap kebenaran suatu peristiwa. Tidak boleh ada prasangka mengenai suatu peristiwa konkret sebelum peristiwa konkretnya itu dibuktikan. Tidak jarang terjadi ada hakim yang sudah mempunyai rumusan putusan mengenai suatu perkara, sedangkan peristiwanya belum dibuktikan karena hanya mendasarkan pada dugaan pada waktu proses pembuktian sedang berlangsung.
Bersikap sabar, tekun dan tidak emosional diperlukan dalam menemukan hukum. Orang yang emosional sudah tidak jemih lagi pikirannya.
Walaupun putusan hakim itu bukan produk ilmu, akan tetapi proses penemuan hukum itu bersifat ilmiah. Oleh karena itu sikap objektif dan tidak memihak harus ada dalam kita menemukan hukum. Demikian pula sikap jujur, terutama jujur dalam mencari kebenaran dan jujur mengakui kesalahan sendiri merupakan sikap ilmiah yang perlu dimiliki dalam kita menemukan hukum.
Penemu hukum harus mempunyai kepedulian akan perkembangan dan masyarakat dan jeli menangkapnya. Oleh karena itu harus mampu mencari atau memberi pembenaran yuridis terhadap perkembangan hukum dan masyarakat. Tidak sekedar hanya membenarkan, tetapi membenarkan dengan memberi landasan yuridis. Jadi kegiatan penemuan hukum tidak lepas dari etika profesi.
Untuk menutup uraian ini saya kutipkan kata-kata mutiara dari Sidney Smith:
"Nations fall when judges are injust, because there is nothing which the multitude think worth defending".

DAFTAR ACUAN
Solomon, Robert C.-,1987, Etika, suatu pengantar, Penerbit Erlangga
Sumaryono, E.-, 1996, Etika Profesi Hukum, Penerbit Kanisius
Bos, MLDL., AM.-, tanpa tahun, Methods for the formation of legal concepts and for legal research, AE.E.Kluwer, Deventer
Kraan, K.J.-, 1981, Sylabus Rechtssysteem, Universiteit van Amsterdam
Sudikno Mertokusumo, 1986, Profesi dan pendididkan hukum, makalah disajikan pada Temu Ilmiah Mahasiswa Notariat Indonesia di Kaliurang
Sudikno Mertokusumo, dan A.Pitlo, 1993, Bab-bab tentang penemuan hukum, PT Citra Aditya Bakti
van Eikema Hommes,.H.J.-, roneografi, tanpa tahun, Logica en rechtsvinding, Vrije Universiteit Amsterdam
Veronica Komalawati, 1989, Etika Praktek Kedokteran, Pustaka Sinar Harapan
Wiarda, Mr.G.J.-, 1988, 3 Typen van rechtsvinding, W.E.J.Tjeenk Willink,Zwolle
Yogyakarta, 23 Mei 1996

Selasa, 01 Juli 2008

MALPRAKTEK DAN PELAYANAN KESEHATAN SERTA TANTANGANNYA DALAM ERA GLOBALISASI

oleh
Sudikno Mertokusumo


Globalisasi, yang pada umumnya diartikan sebagai terbukanya negara-negara di dunia ini bagi produk-produk yang datang dari negara manapun, mau tidak mau harus kita hadapi. Kalau kita tidak mau ketinggalan dalam perkembangan dunia ini, kita harus siap menerimanya, sekalipun globalisasi ini risikonya besar, karena banyak yang perlu diubah atau disesuaikan di negeri kita ini, yang mungkin berakibat buruk, juga: suatu dilema.
Mengingat bahwa Indonesia merupakan negara berkembang dan globalisasi asalnya dari Barat, sedangkan antara negara maju dan negara berkembang terdapat kesenjangan, maka tidak mustahil bahwa lndonesia akan Iebih berperan pasif sebagai penerima barang atau jasa dari pada sebagai pemberi dalam proses globalisasi ini. Dimungkinkan masuknya barang-barang dari dan ke negara manapun berarti bahwa kita harus mampu dan berani bersaing. Dengan perkataan lain globalisasi berarti persaingan bebas. Dampaknya akan luas dan berpengaruh pada seluruh kehidupan ekonomi, sosial dan budaya, tidak terkecuali dalam bidang pelayanan jasa kesehatan. Oleh karena itu datangnya arus globalisasi harus diantisipasi dengan persiapan-persiapan yang mantep.
Sejak terjadinya peristiwa dr Setianingrum di Pati pada tahun 1981, banyak tuntutan atau gugatan ganti rugi diajukan terhadap dokter dengan alasan malpraktek. Sekalipun dr Setianingrum diputus bebas oleh Pengadilan Tinggi Semarang, namun peristiwa tersebut sudah terlanjur membuat resah para dokter. Para dokter resah, karena takut bahwa malpraktek itu setiap saat dapat dituduhkan pada dirinya juga. Bahwasanya para dokter itu resah dapat difahami oleh karena kebanyakan tidak memahami hukum dan kata malpraktek itu sendiri masih belum jelas serta menimbulkan pelbagai penafsiran.
Apa yang dimaksud dengan malpraktek secara umum kita jumpai dalam pasal 11 UU no.6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan, yaitu:
a. melalaikan kewajiban
b. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seseorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan
c. mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan
d. melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini. Masih belum cukup jelas rumusan malpraktek tersebut di atas, karena terlalu umum.
Secara lebih kasuistis kita jumpai dalam Undang-undang no.23 tahlm 1992 tentang Kesehatan dalam Bab X tentang Ketentuan Pidana (pas.80 - pas. 84).
Kalau malpraktek yang disebutkan pertama dikenai sanksi administratif maka yang kedua dikenai sanksi pidana. Di samping itu masih ada malpraktek yang sanksinya berupa membayar ganti rugi (perdata).
Hubungan terapeutik antara dokter dan pasien merupakan hubungan hukum (perjanjian) yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing. Dokter mempunyai hak dan kewajiban, demikian pula pasien mempunyai hak dan kewajiban.
Yang menjadi hak pasien antara lain ialah: hak menerima, menolak dan menghentikan pengobatan dan perawatan, hak atas rahasia, hak mendapatkan informasi mengenai penyakitnya dan sebagainya. Sedangkan kewajiban pasien ialah memberi informasi sekengkap-lengkapnya mengenai penyakitnya kepada dokter, menghormati privacy dokter, memberi imbalanjasa dan sebagainya.
Hak dokter dalam hubungan terapeutik ini antara lain: hak atas informasi pasien mengenai penyakitnya, hak untuk menolak melaksanakan tindakan medik yang tidak dapat dipertanggungjawabkannya secara profesional, hak atas iktikat baik pasien dalam pelaksanaan transaksi terapeutik, hak atas privacy, hak atas imbalan jasa dan sebagainya. Kewajiban dokter dalam menjalankan profesinya ialah antara lain: menghormati hak pasien, berupaya menyembuhkan dan meringankan penderitaan pasien serta memberikan pelayanan medik sesuai dengan standar profesi medik. Jadi agar dokter tidak dapat dipersalahkan dalam menjalankan kewajibannya dalam hubungan terapeutik dengan pasien ia harus menjalankan tindakan-tindakan mediknya sesuai dengan standar profesi. Adapun yang dimaksudkan dengan standar profesi ialah pedoman atau cara yang baku yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan tindakan medik rnenurut ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu dan pengalarnan. Tidaklah rnudah untuk rnenentukan ukuran rnengenai standar profesi. Pada hakekatnya rnalpraktek merupakan kegagalan dalam hal dokter menjalankan profesinya. Tidak setiap kegagalan rnerupakan malpraktek, tetapi hanyalah kegagalan sebagai akibat kesalahan dalam menjalankan profesi medik yang tidak sesuai dengan standar profesi medik. Malpraktek mengandung dua unsur pokok, yaitu bahwa dokter gagal dalam menjalankan kewajibannya, dan bahwa kegagalan itu mengakibatkan luka atau kerugian.
Malpraktek disebabkan karena kurang berhati-hatinya atau lalainya dokter dalam menjalankan tugasnya. Tetapi tidak mustahil disebabkan karena kurang profesionalnya atau kurang cakapnya dokter yang bersangkutan. Ini menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi tidak bermutu.
Tuntutan atau gugatan berdasarkan malpraktek tidak lain disebabkan oleh tuntutan akan pelayanan kesehatan yang bermutu.
Dalam era globalisasi, dengan terbukanya pintu bagi tenaga pelayanan asing ke Indonesia maka kita hams bersaing. Maka oleh karena itu mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. lni berarti bahwa sumber daya manusianya harus tingkatkan.
Tidak dapat dicegah rnasuknya peralatan pelayanan kesehatan yang canggih, yang memerlukan tenaga kesehatan yang profesional untuk mengoperasikan peralatan canggih tersebut. Bukan hanya sekedar mengoperasikannya, tetapi juga mernperbaikinya kalau rusak. Tidak sedikit peralatan canggih yang didatangkan dari luar negeri di pelbagai instansi yang nongkrong karena tidak ada yang dapat mengoperasikannya atau rusak dan ;tidak ada yang dapat rnemperbaikinya. Ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan canggih dapat rnenghambat pelayanan kesehatan.
Apa yang dapat disimpulkan dari apa yang diuraikan di atas ialah, bahwa yang perlu mendapat perhatian dalam kita menghadapi gIobalisasi di bidang pelayanan kesehatan ialah:
1. meningkatkan sumber daya manusia dengan:
-menyesuaikan kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi
-studi Ianjut atau penataran bagi tenaga pelayanan kesehatan
-mendidik teknisi untuk dapat mengoperasikan dan memperbaiki peralatan
pelayanan kesehatan yang canggih
2. perlu diwaspadai dan dicegah adanya pengangguran khususnya dilingkungan tenaga pelayanan kesehatan
3. Pemerintah perlu mengadakan proteksi khususnya bagi tenaga pelayanan kesehatan



Yogyakarta, 12 Januari 1996




ACUAN Ameln, Fred -, Hukum Kesehatan , Suatu pengantar
Regan, M.D., LLB., Louis J.-, Doctor and Patient and the Law
Veronica Komalawati, S.H. MH., D -, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter

Sabtu, 17 Mei 2008

PENEMUAN HUKUM

oleh
Sudikno Mertokusumo

Sarjana hukum yang bekerja di bidang profesinya selalu dihadapkan pada peristiwa atau konflik konkret untuk dipecahkan. Untuk itu maka harus dicari atau diketemukan hukumnya. Hukumnya harus dicari, diketemukan bukan diciptakan. Dikatakan harus dicari atau diketemukan bukan diciptakan, karena hukumnya memang sudah ada. Hal ini tersurat dalam Pasal 28 UU no.4 th 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi bahwa: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” Jadi hukumnya sudah ada, tinggal menggali ke permukaan. Menurut Paul Scholten di dalam perilaku manusia tedapat hukumnya.Jadi hukum itu tidak semata-mata terdapat di dalam peraturan perundang-undangan saja. “Penggalian” inilah yang pada dasarnya dimaksud dengan penemuan hukum (rechtsvinding, law making) dan bukan penciptaan hukum.

Memang tidak tertutup kemungkinan bahwa hakim dalam menemukan hukum tanpa disadari, tanpa disengaja menciptakan hukum, tetapi hakim dilarang untuk menciptakan peraturan yang mengikat secara umum (AB Pas.21). Lihat yurisprudensi tentang fiducia (HR 25-1-1929, NJ 1929, 616, Bierbrouwerijarrest).
Bagaimanakah caranya menemukan hukum dalam memecahkan konflik? Tahap-tahap apa saja yang harus dilalui?
Sebelum dijawab pertanyaan tentang caranya menemukan hokum perlu kiranya diketahui lebih dahulu mengapa harus diketemukan hukumnya.
Mengapa hukumnya harus diketemukan? Hukumnya harus diketemukan oleh karena peristiwa atau konflik konkret yang harus dipecahkan harus dikonversi lebih dahulu menjadi peristiwa hukum, peristiwa konkretnya harus diterjemahkan dalam bahasa hukum lebih dahulu. Kecuali itu hukumnya harus dicari karena peraturan hukumnya tidak jelas atau tidak lengkap. Hukumnya harus diketemukan juga oleh karena peraturan hukumnya harus disesuaikan dengan perkembangan keadaan.
Apa yang dicari dalam menemukan hukum pada dasarnya adalah “pengertian-pengertian hukum” “berlaku tidaknya” dan sah tidaknya”.
Dalam menemukan hukumnya harus dicari lebih dahulu sumber hukum Seperti diketahui sumber hukum atau sumber penemuan hukum meliputi undang-undang, kebiasaan, putusan pengadilan, traktat, doktrin dan perilaku serta kepentingan.
Sumber hukum mengenal hierarkhi, yang berarti bahwa sumber-sumber hukum itu kedudukannya tidak sama, ada yag kedudukannya lebih tinggi dari yang lain. Hierarkhi ini membuka peluang terjadinya konflik antara sumber-sumber hukum tadi. Kalau tejadi konflik maka sumber hukum yang tertinggilah yang harus dimenangkan.
Kalau kita hendak menemukan hukum untuk suatu peristiwa atau konflik konkret, maka kita cari terlebih dahulu hukumnya dalam undang-undang. Sumber hukum yang tertinggi karena dibandingkan sumber-sumber hukumnya lainnnya lebih menjamin kepastian hukum.
Kalau undang-undangnya tidak mengatur maka masih harus diupayakan menemukan hukumnya dengan penalaran atau argumentasi. Sebagai contoh: Ada seorang duda yang mau nikah lagi. Adakah hukumnya, adakah peraturannya? Peraturan yang mengatur secara khusus peristiwa duda yang mau nikah lagi tidak ada. Dalam hal ini yang harus dicari adalah peraturan yang mengatur peristiwa yang mirip dengan duda yang mau kawin lagi, tetapi jua berbeda. Peraturan ini ada, yaitu yang mengatur janda yang mau nikah lagi. Dikatakan mirip karena sama-sama mau menikah, dikatakan berbeda karena yang satu perempuan yan msih harus menunggu masa idah, dan yang lain laki-laki. Peraturan yang berlaku bagi janda itu diterapkan pada duda yang mau menikah, akan tetapi oleh karena berbeda maka diterapkannya peraturan itu kepada duda (karena duda tidak perlu menunggu masa idah) secara á contrario (secara kebalikannya). Contoh lain: Seorang pemilik rumah yang rumahnya disewakan kepada orang lain menghibahkan rumah miliknya itu kepada anaknya. Bolehkah seorang pemilik rumah yang rumahnya sedang disewa oleh orang lain menghibahkannya kepada anaknya? Peraturan yang mengatur peristiwa tentang hibh tersebut tidak ada. Apa yang harus dicari disini dengan penalaran atau argumentasi adalah peraturan hukum yang mengatur peristiwa khusus yang mirip dengan peristiwa orang yang menghibahkan rumah miliknya tadi meskipun rumahnya sedang disewa orang lain. Peraturan ini ada (Pas.1576 KUHPer) yaitu yang dikenal dengan asas “Jual beli tidak menghentikan sewa-menyewa”. Peraturan tersebut diterapkan terhadap peristtiwa hibah secara analoog (argumentum per analogiam).
Kalau peristiwa konkretnya tidak diatur sama sekali dalam undang-undang maka perlu dipertanyakan “apakah peristiwa konkretnya itu bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan atau tidak?” Kalau tidak mengapa dilarang? Kalau tidak seyogyanya harus dilarang. Apakah poliandri itu diatur: dilarang atau dibolehkan. Peraturannya tidak ada, tetapi karena bertentangan dengan kesusilaan maka dilarang. Apakah euthanasia itu dibolehkan? Peraturannya belum ada, tetapi karena bertentangan dengan moral maka dilarang. Demikian pula dengan byi tabung, karena meskipun peraturannya belum ada tetapi tidak bertentangan dengan ketertiban umum maupun kesusilaan maka dibolehkan.

Kalau undang-undangnya tidak memberi jawaban atau solusi maka penelusurannya dilanjutkan ke bawah, ke kebiasaan, putusan pengadilan dan sebagainya.

Senin, 24 Maret 2008

SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

oleh
Sudikno Mertokusumo


Tidak ada negara yang tidak menginginkan adanya ketertiban tatanan di dalam masyarakat. Setiap negara mendambakan adanya ketenteraman dan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat, yang sekarang lebih populer disebut "stabilitas nasional'. Kepentingan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, karena selalu terancam oleh bahaya-bahaya disekelilingnya, memerlukan perlindungan dan harus dilindungi. Kepentingan manusia akan terlindungi apabila masyarakatnya tertib dan masyarakatnya akan tertib apabila terdapat keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Setiap saat keseimbangan tatanan dalam masyarakat dapat terganggu oleh bahaya-bahaya disekelilingnya.
Masyarakat berkepentingan bahwa keseimbangan yang terganggu itu dipulihkan kembali. Salah satu unsur untuk menciptakan atau memulihkan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat adalah penegakan hukum atau peradilan yang bebas/mandiri, adil dan konsisten dalam melaksanakan atau menerapkan peraturan hukum yang ada dan dalam menghadapi pelanggaran hukum, oleh suatu badan yang mandiri, yaitu pengadilan. Bebas/mandiri dalam mengadili dan bebas/mandiri dari campur tangan pihak ekstra yudisiil. Kebebasan pengadilan, hakim atau peradilan merupakan asas universal yang terdapat di mana-mana. Kebebasan peradilan merupakan dambaan setiap bangsa atau negara. Di mana- mana pada dasarnya dikenal asas kebebasan peradilan, hanya isi atau nilai kebebasannya yang berbeda. Isi atau nilai kebebasan peradilan di negara-negara Eropa Tirnur dengan Amerika berbeda, isi dan nilai kebebasan peradilan di Belanda dengan di Indonesia tidak sama, walaupun, semuanya mengenal asas kebebasan peradilan; tidak ada negara yang rela dikatakan bahwa negaranya tidak mengenal kebebasan peradilan atau tidak ada kebebasan peradilan di negaranya. Tidak ada bedanya dengan pengertian hak asasi manusia, yang sekarang sedang banyak disoroti; hak asasi bersifat universal, sernua negara "mengklaim"menghormati hak-hak asasi manusia, tetapi nilai dan pelaksanaannya berbeda satu sama lain (Masyhur Effendi 1994). Adil, tidak hanya bagi pencari keadilan saja tetapi juga bagi masyarakat, tidak memihak, objektif, tidak a priori serta konsisten, ajeg dalarn memutuskan, dalarn arti perkara yang sarna (serupa, sejenis) harus diputus sarna (serupa, sejenis) pula. Tidak ada dua perkara yang sama. Setiap perkara harus ditangani secara individual ("to each his own'), secara kasuistis dengan mengingat bahwa motivasi, situasi, kondisi dan waktu terjadinya tidak sama. Akan tetapi kalau ada dua perkara yang sejenis atau serupa maka harus diputus sejenis atau serupa pula. Ini merupakan "postulaat keadilan": perkara yang serupa diputus sama )Nieuwenhuis dalam Themis, 1976/6. Kalau perkara yang serupa diputus berbeda maka akan dipertanyakan: dimanakah kepastian hukumnya, apa yang lalu dapat dijadikan pegangan bagi para pencari keadilan, dimana keadilannya?
Negara dan bangsa Indonesia pun menghendaki adanya tatanan masyarakat yang tertib, tenteram, damai dan seimbang, sehingga setiap konflik, sengketa atau pelanggaran diharapkan untuk dipecahkan atau diselesaikan: hukum harus ditegakkan, setiap pelanggaran hukum harus secara konsisten ditindak, dikenai sanksi. Kalau setiap pelanggaran hukum ditindak secara konsisten maka akan timbul rasa aman dan damai, karena ada jaminan kepastian hukum. Untuk itu diperlukan peradilan, yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat
mengikat dan bertujuan mencegah " eigenrichting" (Sudikno Mertokusumo 1973).
Sekalipun peradilan Indonesia dewasa ini dasar hukumnya terdapat dalam UU no.14 tahun 1970 jo. pasal 24 dan 25 UUD namun pada hakekatnya merupakan warisan dari zaman Hindia Belanda. Bagaimanakah sistem peradilan di Indonesia ini?
Pasal 24 ayat 1 UUD berbunyi: "Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-­undang", sedangkan ayat 2 berbunyi: "susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang ". Pasal 25 UUD berbunyi: "Syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang". Dua pasal UUD itu masih memerlukan peraturan organik untuk melaksanakannya. Peraturan organik itu tertuang dalam Undang-undang no.14 tahun 1970. Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi, demikianlah bunyi pasal 10 ayat 2. Kemudian di dalam pasal 11 ayat 1 Undang-­undang no.14 tahun 1970 ditentukan bahwa
organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan, sedangkan ayat duanya berbunyi bahwa Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Kalau disimak maka UU no.14 tahun 1970 itu, kalau tidak boleh dikatakan bertentangan, tidak sinkhron dengan pasal 24 UUD. Pasal24 UUD menghendaki bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Undang-undang no.14 tahun 1997 pasal11 ayat 1 menentukan bahwa badan-badan yang melakukan peradilan tersebut dalam pasal 10 ayat 1 organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan, sedangkan ayat 2 menentukan bahwa Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Terasa adanya dualisme: disatu pihak UUD menghendaki kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan badan-badan pengadilan lain, di pihak lain Undang-undang no.14 tahun 1970 menentukan bahwa pihak eksekutif diberi wewenang juga untuk mengurusi kekuasaan kehakiman. Bukankah ini merupakan dualisme dalam peradilan. Dualisme ini sudah seringkali diungkap dalam seminar-seminar dengan mengetengahkan bahwa tidak selayaknyalah bahwa hakim itu "bernaung di bawah dua atap" atau "mempunyai dua kepala atau dua atasan", yaitu Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman. Pandangan ini ditegaskan lagi belum lama ini di dalam Memorandum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dalam Mukernasnya pada tanggal 23 Oktober 1996 di Ujung Pandang yang menyatakan agar Undang-undang no.14 tahun 1970 dicabut (Varia Peradilan tahun XII no. 136 Januari 1996). Adanya dualisme peradilan itu seringkali dijadikan alasan mengapa hakim atau peradilan itu sekarang tidak bebas, yaitu karena hakim mempunyai dua atasan. Dualisme itu pula yang dijadikan alasan mengapa peradilan kita sekarang ini tidak lagi memenuhi harapan, tidak lagi berfungsi sebagai tempat pelarian terakhir atau benteng terakhir bagi pencari keadilan. Tidak mengherankan kalau timbul istilah-istilah "peradilan kelabu", "mafia peradilan" dan sebagainya. Apakah benar bahwa menurunnya citra peradilan atau parahnya keadaan peradilan kita dewasa ini disebabkan oleh dualisme sistem peradilan kita yang sudah berumur setengah abad lebih (pada hakekatnya sistem peradilan kita dewasa ini merupakan warisan dari zaman Hindla Belanda)? Apakah benar bahwa sistem peradilan kita selama inilah (adanya "hakim di bawah dua atap") yang menyebabkan keadaan peradilan kita menjadi parah: berlarut-larutnya penyelesaian melalui pengadilan, banyaknya putusan-­putusan yang tidak profesional, pelanggaran peraturan-peraturan antara lain hukum acara dengan dalih "penyimpangan prosedur", adanya surat sakti, belum lagi adanya kolusi suap dan sebagainya? Harus diakui bahwa keadaan peradilan kita dewasa ini tidaklah memenuhi harapan: tidak merupakan benteng terakhir bagi para pencari keadilan, banyak pencari keadilan dikecewakan oleh perlakuan maupun putusan pengadilan. Pertanyaan yang timbul ialah apakah salama ini (setengah abad lebih!) keadaan peradilan kita itu seperti sekarang? Sebelum kurang lebih tahun 70an keadaan peradilan kita masih baik, tidak banyak terdengar berita-berita tentang peradilan yang negatif, putusan-putusan tidak sedikit yang profesional dan bermutu, kalaupun ada suap atau kolusi tidaklah sebanyak sekarang ini, pad a hal sistem peradilannya sama dengan sekarang (bandingkan pasal 7 ayat 3 UU no. 19 th 1964 dengan pasal 11 UU no. 14 th 1970) dalam arti dualistis. Sepanjang pengetahuan saya selama ini belum pernah diadakan studi evaluasi yang intensif dan serius tentang sistem peradilan kita dewasa ini. Kembali kepada pertanyaaan tersebut di atas: apakah benar sistem peradilan kita dewasa ini menyebabkan tidak adanya kebebasan peradilan (hakim) dan menjadi parahnya peradilan kita dewasa ini? Apakah betul bahwa sebabnya adalah sistemnya, apakah bukan sumber daya manusianya? Kiranya kita semuanya sependapat bahwa keadaan sumber daya manusia memberi kontribusi juga pada menurunnya citra peradilan. Sebelum kita hendak mengubah sistem peradilan kita dewasa ini sebaiknya ditingkatkan lebih dulu integritas sumber daya manusianya, karena dari sejarah ternyata bahwa dari dulu sampai sekarang sistem peradilannya sama, dan baru pada kurang lebih tahun 1970an wajah peradilan kita mulai pudar: inilah yang harus diprioritaskan sebelum kita hendak mengubah sistem peradilan kita dewasa ini. Integritas sumber daya manusia terutama di bidang peradilan harus dapat dihandalkan. Peradilan kita harus bebas, bersih dan profesional. Berikut ini saya kutipkan beberapa pendapat tentang betapa pentingnya integritas sumber daya manusia di bidang peradilan. "In the long run there is no guarantee of justice except the personality of the judge. It has been said that the trial judge is the key man in our system of adjudication: the law can be no better than the judge who administers it'/5, Nations fall when judges are injust, because there is nothing which the multitude think worth defending (Cardozo dalam Wendell C. Tambauugh, 1972). Walaupun ungkapan-ungkapan itu berasal dari penulis asing, namun tidak ada salahnya diterapkan pula di negeri kita untuk menciptakan peradilan yang bersih. Kalau kita hendak mengubah sistem peradilan kita harus terlebih dahulu mengevaluasi sistem peradilan kita dewasa ini: untung-ruginya, terlindungi tidaknya terutama kepentingan para pencari keadilan, ada tidaknya kepastian hukum, ada tidaknya kebebasan hakim dan sebagainya. Jangan hendaknya kita mengubah sistem karena hanya ingin sesuatu yang baru tanpa mempertimbangkan manfaat serta risikonya. Apa yang akan diubah itu seluruh sistem peradilan ataukah hanya beberapa undang-undang atau bagian dari undang-undang saja? Mengubah undang-undang, dalam hal ini sistem peradilan, banyak konsekuensinya. Mengubah sistem peradilan memerlukan penelitian, studi banding, pertemuan-pertemuan ilmiah yang tidak boleh dibatasi waktunya dengan menentukan target, seperti yang sekarang lazim dilakukan dalam membuat undang-undang. Belum nanti dalam pembuatan rancangan undang­undangnya. Andai kata kita berhasil mengubah sistem peradilan kita, kalau kebijaksanaan politik masih seperti sekarang apakah peradilan kita akan lebih baik dari sekarang? Kita harus segera mengambil sikap: memulihkan segera citra peradilan dengan meningkatkan integritas sumber daya manusianya walaupun kita mungkin masih harus menunggu lama kalau ingin memperoleh hasil yang memuaskan, atau mengubah sistem peradilan yang akan makan waktu lebih lama lagi karena harus mengadakan penelitian, studi banding, pembentukan undang-undang dan sosialisasinya, yang hasilnya masih merupakan tanda tanya. Telah dapat dipastikan bahwa "untuk sementara" Pemerintah tidak akan mencabut Undang-undang no.14 tahun 1970, dengan perkataan lain akan mempertahankan sistem peradilan yang sekarang berlaku. Maka oleh karena itu mengingat bahwa peradilan kita dewasa ini sudah cukup parah, yang perlu segera dibenahi dan dikembalikan citra baiknya, untuk mengembalikan citra peradilan kita perlu terlebih dulu ditingkatkan integritas sumber daya manusianya baru kemudian dipikirkan untuk mengubah sistemnya kalau memang perlu, atau bersama-sama dengan peningkatan integritas sumber daya manusianya sekaligus dapat dimulai dengan studi evaluasi peradilan kita dewasa ini.
Jadi secara yuridis formal Undang-undang no.14 tahun 1970 sebagai peraturan organik pasal 24 UUD adalah inkonstitusional dalam arti bertentangan atau setidak-tidaknya tidak sinkhron dengan pasal 24 UUD, akan tetapi sudah berlaku dan berjalan sekian lamanya, sehingga mempunyai kekuatan hukum (die normatieve Kraft des Faktischen).
Di dalam sistem peradilan kita dewasa ini dikenal pula asas kebebasan hakim atau kebebasan peradilan (pasal 1 UU no.14 th 1970), dalam arti seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa hakim bebas dalam atau bebas untuk mengadili. Bebas dalam arti menurut hati nuraninya tanpa dipengaruhi oleh siapapun: ia bebas dalam memeriksa, membuktikan dan memutus perkara berdasarkan hati nuraninya. Di samping itu ia bebas pula dari campur tangan pihak ekstra yudisiil. Di dalam pasal 4 ayat 3 Undang-undang no.14 tahun 1970 ditentukan bahwa segala campur tangan datam urusan peradilan oleh pihak-­pihak lain di luar kekuasaan kehakiman
dilarang, kecuati dalam hal-hal yang tersebut dalam UUD. Di dalam kenyataannya ketentuan ini tidak jarang dilanggar, antara lain dengan mengambil jalan pintas dengan menggunakan surat sakti, tilpun sakti dan sebagainya. Sayangnya ketentuan mengenai larangan campur tangan ini tidak disertai dengan sanksi. Inilah salah satu diantaranya yang menyebabkan peradilan kita menjadi "kelabu". Ditambahkannya sanksi pada ketentuan tersebut kiranya akan memulihkan citra peradilan, asal dilaksanakan dengan konsisten.
Semua peradilan di seluruh wilayah Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang, sedangkan yang menduduki tempat yang tertinggi dalam sistem peradilan kita adalah Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Mahkamah Agung mempunyai beberapa fungsi atau tugas.
Pertama, Mahkamah Agung mempunyai fungsi peradilan (yustisiil).
Mahkamah Agung sebagai badan kehakiman, yang melakukan kekuasaan kehakiman, menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan tugas pokok menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara (pasal 28, 29, 30 UU no.14 th 1985 jo. pasal 1, 2 ayat 1 UU no.14 th 1970). Dalam fungsi yustisiil ini Mahkamah Agung memutus pada tingkat peradilan pertama dan terakhir, yaitu mengenai semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara badan-badan peradilan dalam lingkungan yang berbeda dan semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara badan-badan peradilan sederajat yang termasuk wewenang Pengadilan Tinggi yang berlainan. Di samping itu Mahkamah Agung memutus pada peradilan tingkat banding atas putusan-putusan wasit. Dalam tingkat terakhir Mahkamah agung memutus terhadap putusan yang diberikan oleh pengadilan-pengadilan lain selain Mahkamah Agung dalam tingkat terakhir. Kasasi bukanlah merupakan pemeriksaan
dalam tingkat ke 3, karena dalam tingkat kasasi tentang peristiwanya tidak diperiksa lagi, melainkan hanya segi hukumnya. Mahkamah Agung wenang pula untuk menyatakan dalam tingkat kasasi tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang­-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa Mahkamah Agung melakukan pengujian materiel terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Kalau tidak ada perkara diajukan ke Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung tidak dapat menyatakan tidak sah suatu peraturan perundang-undangan. Peninjauan kembali merupakan wewenang yustisiil Mahkamah Agung juga. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap apabila memenuhi syarat dapat dimintakan peninjauan kembali.
Selanjutnya Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi mempunyai funqsi kedua yaitu memimpin peradilan dalam pembinaan dan pengembangan hukum dan sekaligus
mengembangkan hukum Indonesia melalui putusan­-putusannya kearah kesatuan hukum dan peradilan. Fungsi Mahkamah Agung yang ketiga adalah menqatur. Mahkamah Agung berwenang untuk menentukan penyelesaian suatu persoalan yang belum diatur acaranya (pasal 79 UU no.14 th 1985). Apabila tidak atau belum diatur dalam undang-undang, khususnya mengenai jalannya peradilan, agar peradilan dapat berjalan lancar, Mahkamah Agung wajib menciptakan peraturannya. Peraturan macam apakah yang dapat atau boleh diciptakan oleh Mahkamah Agung? Terutama yang berhubungan dengan prosedur mengadili dan penyelesaian perkara yang belum atau tidak diatur oleh undang-undang. Mengingat akan fungsinya sebagai lembaga yudikatif maka apa yang dapat atau boleh dibuat atau diciptakan oleh Mahkamah Agung bukanlah peraturan yang bersifat umum mengikat setiap orang. Bukan hukum materiil yang harus dibuatnya, melainkan "aturan permainan" yang hanya berlaku bagi atau mengikat para "pemain" dalam "permainan peradilan" (janqan diartikan negatif!), yaitu hakim. Dalam hal ini jangan sampai Mahkamah Agung melanggar ajaran tentang pembagian kekuasaan. Dalam fungsi mengatur Mahkamah Agung harus membatasi diri untuk tidak memasuki hukum materiel. Mahkamah Agung dapat menciptakan peraturan yang bersifat normatif, informatif dan instruktif. Mahkamah Agung dapat menciptakan peraturan yang bersifat normatif yang berupa Peraturan Mahkamah Agung (Perma) seperti misalnya Perma 1/1990 tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing, yang sekaligus merupakan pedoman kerja. Kalau ada hal-hal yang perlu segera diketahui oleh para hakim dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), yang bersifat informatif dan sering juga instruktif seperti misalnya SEMA 3/1963. Dengan SEMA 3/1963 Mahkamah Agung pada hakekatnya hendak menginstruksikan para hakim menyesuaikan KUHPerdata dengan perkembangan masyarakat. Akan tetapi sementara orang
(termasuk hakim) berpendapat bahwa SEMA 3/1963 itu mempunyai kekuatan membatalkan KUHPerdata. Tujuan SEMA 3/1963 itu baik, yaitu agar para hakim menyeseuaikan KUHPerdata dengan perkembangan masyarakat. Dilihat dari segi yuridis formal SEMA 3/963 sebagi produk Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan untuk membatalkan undang-undang mengingat Mahkamah Agung hanya mempunyai wewenang di bidang yudikatif bukan legislatif.
Fungsi Mahkamah Agung keempat ialah funqsi sebaqai penasehat. Dalam pasal 25 Undang-undang no. 14 tahun 1970 ditentukan bahwa semua pengadilan dapat memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lainnya apabila diminta. Di samping itu TAP MPR noVI/MPR/1973 pasal 11 ayat 2 menentukan bahwa Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan dan nasihat-nasihat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lainnya apabila diminta, sedangkan TAP MPR
noVII/MPR/1973 pasal 11 ayat 3 menentukan bahwa Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada Presiden/Kepala Negara untuk pemberian/penolakan grasi. Sudah tepatlah kiranya kalau Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi mempunyai fungsi sebagai penasihat mengenai soal-soal hukum. Bukankah hakim dianggap maha tahu akan soal-soal hukum (ius curia novit). Kiranya tidak perlu ditegaskan bahwa persoalan hukum yang dapat dimintakan pertimbangan atau nasihat kepada Mahkamah Agung bukanlah yang semata-mata bersifat abstrak/teoretis, melainkan yang konkret dan praktis tetapi tidak mengandung perkara atau sengketa, karena
perkara atau sengketa harus melalui mekhanisme yang sudah tersedia.
Fungsi kelima Mahkamah Agung adalah pengawasan. Sudah selayaknya kalau Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi mempunyai fungsi pengawasan terhadap perbuatan pengadilan lainnya (pasal 10 ayat 4 UU no.14 th 1970). Untuk meningkatkan citra peradilan kita dalam hal ini pengawasan oleh Hawas (hakim pengawas) terhadap hakim-hakim perlu lebih ditingkatkan frekuensi serta intensivitasnya. Eksaminasi sebagai sarana untuk mengevaluasi para hakim perlu dihidupkan kembali.
Fungsi Mahkamah Agung yang keenam adalah fungsi administratif. Dasar hukum fungsi administratif Mahkamah Agung ini terdapat dalam pasal 11 ayat 2 Undang-undang no.14 tahun 1970 yang mengatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai administrasinya sendiri.
Ada 4 lingkungan peradilan negara yang kesemuanya berpuncak pada Mahkamah Agung. Empat lingkungan peradilan itu dapat dibagi menjadi dua, yang bersifat umum, yaitu lingkungan peradilan umum (peradilan dengan general jurisdiction), dan yang bersifat khusus (peradilan dengan special jurisdiction), yaitu lingkungan peradilan agama, Iingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara (pasal10 ayat 1 UU no.14 th 1970). Disebut sebagai peradilan umum karena peradilan umum ini diperuntukkan bagi semua warga masyarakat tanpa membedakan golongan atau agama; yustisiabele atau pencari keadilannya umum: setiap orang. Di dalam peradilan umum masih dikenal spesialisasi seperti pengadilan ekonomi. Peradilan khusus disediakan untuk yustisiabele atau pencari keadilan yang khusus (beragama Islam, militer) atau yang menggunakan hukum materiil khusus (hukum pidana militer, hukum Islam). Khas bagi peradilan agama terdapat pilihan hukum: orang Indonesia asli yang beragama Islam khususnya dalam pembagian warisan dapat memilih tunduk pada hukum adat yang menjadi wewenang peradilan urn urn atau hukum Islam yang menjadi wewenang peradilan agama.
Di samping 4 lingkungan peradilan negara seperti yang disebutkan dalam pasal 10 ayat 1 Undang-undang no.14 tahun 1970 sistem peradilan kita masih mengenal peradilan sui generis atau peradilan semu yang tidak diatur dalam Undang-undang no.14 tahun 1970. Dikatakan "semu" karena petugas yang diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan konflik atau pelanggaran bukanlah petugas yang khusus diangkat untuk itu seperti hakim pada pengadilan negeri, akan tetapi mempunyai tugas rangkap. Termasuk peradilan semu ialah peradilan perburuhan (UU no.22 th 1957), peradilan perumahan (PP no.55 th 1981 jo. PP no.49 th 1963), peradilan pelayaran (Skp. Mphbl. No.Kab 4/3/24 jo.
S 1949 no.103). Di samping badan-badan peradilan yang telah disebutkan masih dikenal juga arbitrase atau pewasitan. Kalau 4 peradilan negara itu berpuncak pada Mahkamah Agung, maka 3 peradilan semu yang telah dikemukakan di atas tidak berpuncak pad a Mahkamah Agung.
Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan, sehingga putusan yang dijatuhkannya belum tentu cermat, tepat dan adil. Untuk mengantisipasi hal itu dan untuk memenuhi rasa keadilan maka peradilan dibagi menjadi dua tingkat, yaitu peradilan tingkat pertama (peradilan dengan original jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat awal atau permulaan dan peradilan tingkat banding (peradilan dengan appellate jurisdiction), yaitu
peradilan dalam tingkat pemeriksaan ulang. Oleh karena itu pada asasnya putusan yang telah dijatuhkan pada peradilan tingkat pertama yang belum tentu cermat, benar serta adil dimungkinkan untuk dimintakan keadilan kepada pengadilan yang lebih tinggi dalam tingkat banding. Semua lingkungan peradilan negara mengenal dua tingkatan perdilan itu, pada asasnya pembagian ini bersifat universal. Di dalam dua tingkatan peradilan itu diperiksa baik peristiwa maupun hukumnya. Jadi peradilan umum mengenal Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, peradilan agama, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, peradilan militer, Mahkamah Militer dan Mahkamah Militer Tinggi, sedangkan peradilan tata usaha negara atau administrasi, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Di dalam sistem peradilan Indonesia, seperti yang telah diketengahkan dimuka masih dikenal pemeriksaan kasasi yang pada umumnya tidak dianggap sebagai peradilan tingkat ketiga karena di tingkat kasasi di Mahkamah Agung tidak dipenksa ulang mengenai peristiwanya, tetapi hanyalah
segi hukumnya saja. Pada asasnya putusan banding atau ulang dari peradilan tingkat banding dan semua Iingkungan peradilan negara dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.

Daftar acuan
Gunawan Setiardja, A.-, 1993, Hak-hak asasi manusia berdasarkan ideologi Pancasila, Penerbit Kanisius
Masyhur Effendi, H.A.-, 1994, Hak asasi manusia dalam hukum nasional dan intemasional, Ghalia Indonesia
Nieuwenhuis, J.H.-, Legitimatie en heuristik van het rechterlijk oordeel, Themis 1976/6
Sudikno Mertokusumo, 1973, Sejarah peradilan dan perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942, PT Gunung Agung
Wendell C.Tombaugh, 1972, My kind of judge, dalam "Special problems in the judicial function", National College of State Trial Judges, Reno, Nevada
Yogyakarta, 18 Agustus 1997

KEMANDIRIAN HAKIM DITINJAU DARI STRUKTUR LEMBAGA KEHAKIMAN

oleh
Sudikno Mertokusumo

Pengantar
Peradilan akhir-akhir ini memang menjadi sorotan tajam masyarakat, karena diharapkan merupakan "benteng terakhir" bagi para pencari keadilan, sebab fungsi peradilan dimaksudkan sebagai benteng terakhir ("laatste toevlucht") bagi setiap pencari keadilan setelah tidak berhasil menempuh atau menggunakan jalur-jalur atau upaya-upaya hukum lainnya, tetapi kenyataannya dewasa ini pengadilan tidak atau belum memenuhi harapan. Jalannya peradilan tidak cepat seperti yang diharapkan, sehingga dengan berlarut-larutnya jalannya peradilan beaya berperkara akan meningkat, sehingga asas beaya ringan tidak terpenuhi. Beracara di pengadilan tidaklah sederhana: berbelit-belit. Banyak putusan pengadilan yang tidak memuaskan, karena pertimbangan hukumnya terlalu sumir, penemuan hukumnya tidak tepat, terlalu formalistis, kurang profesional dan sebagainya. Belum lagi yang menyangkut kebebasan dan integritas hakim.
Seperti yang telah umum diketahui maka sudah sejak kurang lebih tahun 80an keadaan peradilan kita tidak seperti yang diharapkan. Di dalam praktek dewasa ini hakim boleh dikatakan tidak bebas dalam menjalankan tugasnya. Sekalipun tidak dapat dibuktikan secara langsung hal ini terasa dan ternyata dari adanya tekanan-tekanan ekstern seperti suap, pernyataan pejabat mengenai terbukti tidaknya suatu perkara yang sedang diperiksa di pengadilan, ancaman-ancaman, kolusi, dan juga tekanan-tekanan intern yang berupa campur tangan dalam penyelesaian perkara seperti adanya surat sakti, tilpun sakti dan sebagainya. Kebebasan hakim seperti yang diatur dalam pasal 4 ayat (3) UU no.14 tahun 1970 belumlah dapat kita nikmati sepenuhnya. Karena adanya campur tangan itu kiranya hakim tidak dapat bersikap objektif
Kalau dikatakan bahwa pengadilan diharapkan merupakan benteng terakhir bagi pencari keadilan bukan berarti bahwa melalui benteng terakhir setiap pencari keadilan, baik para pihak dalam perkara perdata maupun terdakwa dalam perkara pidana, selalu dimenangkan atau dibebaskan, yang memang tidak mungkin, melainkan yang dimaksudkan adalah bahwa setiap pencari keadilan mendapat perlakuan hukum yang fair, layak atau adil di pengadilan.
Yang sering dipermasalahkan dalam pertemuan-pertemuan ilmiah akhir-akhir ini ialah apakah dewasa ini ada kemandirian atau kebebasan hakim. Apakah hakim itu bebas untuk mengadili dan bebas dalam mengadili dalam arti bebas dari pengaruh apa atau siapapun? Mengingat bahwa hakim itu mempunyai dua "kepala", yaitu Mahkamah Agung dan Departeman Kehakiman (pas. 11 UU no.14 th 1970) apakah hal itu menjamin kebebasan hakim? Apakah tidak seyogyanya hakim itu hanya mempunyai satu "kepala" saja? Bagaimanakah sistem peradilan atau struktur lembaga kehakiman yang baik atau ideal untuk menjamin kebebasan hakim? ltulah pertanyaan-­pertanyaan yang diharapkan terjawab juga dalam temu ilmiah sekarang ini. IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) dalam memorandumnya dalam Mukernas tanggal 23 Oktober 1996 di Ujung Pandang mengetengahkan bahwa Kekuasaan Kehakiman belum merupakan kekuasaan negara yang utuh, tetapi dapat dikatakan terpecah menjadi dua bagian, yaitu Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung bersama dengan kekuasaan eksekutif (Departemen Kehakiman), yang mengakibatkan timbulnya berbagai macam persoalan tumpang tindihnya wewenang berupa gejala "kurangnya keserasian hubungan" yang bersifat terselubung dalam melaksanakan Kekuasaan Kehakiman yang sampai sekarang terus berlangsung dan tidak/belum adanya penyelesaian yang tuntas dan menghimbau untuk meninjau dan mengaturnya kembali kedudukan dan fungsi Kekuasaan Kehakiman.

Pembahasan
Yang dimaksudkan dengan kemandirian hakim adalah mandiri, tidak tergantung kepada apa atau siapapun dan oleh karena itu bebas dari pengaruh apa atau siapapun. Hakim atau peradilan, yang merupakan tempat orang mencari keadilan, harus mandiri, independen, dalam arti tidak tergantung atau terikat pada siapapun, sehingga tidak harus memihak kepada siapapun agar putusannya itu objektif. Kemandirian itu menuntut pula bahwa hakim dalam memeriksa dan memutus perkara harus bebas. Dengan demikian kemandirian hakim tidak dapat dipisahkan dari kebebasan hakim, tetapi merupakan satu kesatuan. Adapun yang dimaksudkan dengan kebebasan hakim adalah bebas dalam memeriksa dan memutus perkara menurut keyakinannya serta bebas pula dari pengaruh pihak ekstra yudisiil. Ia bebas menggunakan alat-alat bukti dan bebas menilainya, ia bebas pula untuk menilai terbukti tidaknya suatu peristiwa konkrit berdasarkan alat bukti yang ada, ia bebas untuk berkeyakinan mengenai jenis hukuman apa yang akan dijatuhkan dan bebas pula dari campur tangan dari pihak ekstra yudisiil.
Kemandirian dan kebebasan hakim bukan hanya merupakan cita-cita dan dambaan saja bagi setiap bangsa, tetapi merupakan prinsip atau asas dalam setiap sistem peradilan, karena asas merupakan pengejawantahan cita-­cita manusia. Setiap sistem peradilan di mana pun mengenal dan menganut asas kemandirian dan kebebasan hakim atau peradilan.
Mengenai kebebasan hakim, sejarah atau kenyataan menunjukkan bahwa sekalipun hakim itu pada asasnya bebas, tetapi kebebasannya tidak mutlak. Kebebasan hakim itu dibatasi baik secara makro maupun secara mikro. Faktor-faktor yang membatasi hakim secara makro ialah sistem politik, sistem pemerintahan, sistem ekonomi dan sebagainya. Faktor-faktor yang membatasi hakim secara mikro ialah Pancasila, UUD, undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan dan kepentingan para pihak. Jadi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD, undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan dan kepentingan para pihak.
Tentang lembaga kehakiman pengaturannya kita jumpai dalam pasal 24 dan 25 UUD. Pasal 24 ayat 1 berbunyi: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang, sedangkan ayat 2 berbunyi: Susunan dan kekuasaan badan-­badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang. Pasal 25 berbunyi:
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Jadi lembaga kehakiman atau kekuasaan kehakiman mendapat tempat yang khusus dan utuh dalam UUD, yaitu bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung. Sudah tentu dua pasal dari UUD tersebut masih memerlukan peraturan organik atau peraturan pelaksanaan. Peraturan pelaksanaan itu dituangkan dalam UU no.14 tahun 1970 (lihat pas. 11), jo. UU no.19 tahun 1964 (khususnya konsiderans bagian "mengingat" dan pasal 7 ayat (3)) yang pada dasarnya menentukan bahwa badan yang melakukan peradilan secara organisatoris, admininstratif dan finansial ada dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan, sedangkan Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Dari apa yang diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa UU no.19 tahun 1964 tidak memenuhi kehendak UUD. UUD menghendaki kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, sedangkan UU no.14 tahun 1970 menentukan bahwa badan yang melakukan peradilan (kecuali Mahkamah Agung) secara organisatoris, administratif dan finansial ada di bawah kekuasaan masing­-masing Departemen yang bersangkutan. Jadi menurut UU no.14 tahun 1970 hakim secara teknis ada di bawah Mahkamah Agung sedangkan secara organisasatoris, administratif dan finansial ada di bawah Departemen, yang memungkinkan timbulnya berbagai persoalan tumpang tindihnya wewenang berupa gejala kurangnya keserasian hubungan. Secara konstitusional agar hakim itu mandiri dan lebih terjamin kebebasannya tidak selayaknya mempunyai dua atasan. Mengenai kebebasan hakim ditentukan dalam UU no.14 tahun 1970 pasal 1, bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia, sedangkan dalam pasal 4 ayat (3) ditentukan, bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh fihak-fihak lain di Iuar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-undang Dasar. Sayangnya larangan ini tidak ada sanksinya.
Keadaan peradilan sebelum tahun 80an tidaklah seperti sekarang ini.
Keadaan peradilan kita dewasa ini sangat memprihatinkan. Kalau dulu tidak seperti sekarang ini, dimanakah letak kesalahannya? Pada sistemnya atau pada sumber daya manusianya? Apakah yang harus atau dapat kita lakukan? Kalaupun sistemnya dirasa perlu untuk diubah dengan mengganti undang­-undang yang bersangkutan, maka yang kiranya lebih mendesak atau urgent untuk dilakukan ialah meningkatkan integritas serta pengetahuan sumber daya manusianya, karena membuat atau merancangkan undang-undang akan makan waktu yang lama dan beaya besar. Membuat undang-undang baru atau mengubah sistem peradilan tidak akan ada artinya kalau sumber daya manusianya tidak ditingkatkan integritas dan pengetahuannya. Lagi pula perlu diingat, bahwa Kekuasaan Kehakiman itu tidak berdiri sendiri, sebab masih ada Kejaksaan dan Kepolisian. Tegak tidaknya hukum tidak dapat dimintakan tanggung jawab sepenuhnya kepada pengadilan (Kekuasaan Kehakiman) saja, karena rnasing-masing unsur tidak berdiri sendiri lepas satu sama lain. Atau kedua-duanya dapat ditempuh bersama-sama, rnernpersiapkan undang-undang baru (yang akan berlangsung lama, futuristik) dan segera meningkatkan integritas serta pengetahuan para hakim.
Yogyakarta, 18 Maret 1997
Temu Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum Indoneia, Yogyakarta 17 - 20 Maret

MEWUJUDKAN PERADILAN SEBAGAI BENTENG TERAKHIR BAGI PARA PENCARI KEADILAN

oleh
Sudikno Mertokusumo


Pengantar
Tujuan Seminar ini adalah untuk mendapatkan garnbaran yang jelas tentang kedudukan Kekuasaan Kehakiman dan Sistem Peradilan di Indonesia selarna ini dan memperoleh garnbaran tentang bagaimana idealnya bentuk sistem peradilan yang benar-benar independen dan bebas dari carnpur tangan pihak -pihak di luar kekuasaan kehakiman, sehingga harapan lembaga peradilan sebagai "benteng terakhir" bagi para pencari keadilan dapat terwujud.
Peradilan dalarn arti yang luas adalah penegakan hukum yang meliputi unsur-unsur yang berkaitan erat satu sarna lain, yaitu terutarna kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Ketiga unsur itulah yang pada dasarnya bertanggung jawab atas penegakan hukum. Dalarn hal ini tegak tidaknya hukum tidak dapat dimintakan tanggung jawab sepenuhnya kepada pengadilan saja, karena masing-masing unsur tidak berdiri sendiri lepas satu sarna lain.
Dalam arti yang sempit yang dimaksudkan dengan peradilan ialah pelaksanaan hukum dalarn hal konkrit adanya tuntutan hak, yang fungsinya dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun, dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah eigenrichting (lihat juga pasal 3 ayat (1) UU no.14 tahun 1970). ladi peradilan dalam arti yang sempit ini semata-mata berhubungan dengan pengadilan. Walaupun demikian terselenggaranya peradilan dalam arti sempit ini dengan baik tidak lepas pula dari pengaruh unsur-unsur kepolisian dan kejaksaan. Oleh krena itu kalau kita memang sungguh-sungguh hendak mewujudkan peradilan sebagai benteng terakhir bagi para pencari keadilan tidak hanya pengadilan saja yang disoroti.
Yang akan dicoba untuk dibahas dalam tulisan ini ialah peradilan dalam arti yang sempit terutama untuk memperoleh gambaran tentang bagaimana idealnya bentuk sistem peradilan yang benar -benar independen dan bebas dari campur tang an pihak-pihak luar kekuasaan keh akim an, sehingga harapan lembaga peradilan sebagai "laatste toevlucht" atau benteng terakhir bagi para pencari keadilan dapat terwujud. Degan membenahi pengadilan mudah-mudahan ada pengaruhnya terhadap kepolisian dan kej aksaan, setida-tidaknya ada salah satu unsur dari peradilan yang dibenahi.
Peradilan dewasa ini Seperti yang telah umum diketahui maka sudah sejak kurang lebih tahun 80an keadaan peradilan kita tidak seperti yang diharapkan. Di dalam praktek dewasa ini hakim tidak bebas dalam menjalankan tugasnya. Sekalipun tidak dapat dibuktikan secara langsung hal ini ternyata dari adanya tekanan-tekanan ekstern seperti suap, pernyataan pejabat mengenai terbukti tidaknya suatu perkara yang sedang diperiksa di pengadilan, ancaman­ancaman, kolusi, dan juga tekanan-tekanan intern yang berupa campur tang an dalam penyelesaian perkara seperti adanya surat sakti, tilpun sakti dan sebagainya. Kebebasan hakim seperti yang diatur dalam pasal 4 ayat (3) UU nO.14 tahun 1970 belumlah dapat kita nikmati sepenulmya. Karena adanya carnpur tangan itu kiranya hakim tidak dapat bersikap obyektif. Ini semuanya menyangkut integritas hakim, tetapi juga menyangkut jaminan ketenterarnan dan kearnanan bagi hakim dalarn menj alankan tugasnya.
Speedy administration of justice atau cepatnya jalannya peradilan seperti yang tercantum dalam pasal 4 ayat (2) lJU no.14 tahun 1970 temyata juga tidak terlaksana sepenulmya. Hampir setiap permohonan penundaan persidangan dari pengacara antara lain dengan alasan bahwa pengacara yang bersangkutan ada sidang di temp at lain dikabulkan oleh hakim. Dengan demikian pengacara mel1gabaikan kepentingan kliennya dan klielmya hanya menjadi "sapi perah" pengacara saja. Penundaan sidang oleh hakim untuk mengucapkan putusan sering tidak layak (terlalu lama). Boleh dikatakan bahwa setiap perkara perdata di Indonesia itu selalu dimintakan banding: bukanlah perkara perdata kalau tidak dimintakan banding. Apakah ini berarti bahwa bangsa Indonesia sudah tinggi kesadaran hukumnya (karena memanfaatkan semua saluran hukum yang ada: banding, kasasi, peninjauan kembali), atau justru kesadaran hukumnya belum tinggi karena pada pokoknya bersikap spekulatif: "E, siapa tahu dalam banding atau kasasi nanti saya akan menang", walaupun kenyataannya bersalah atau tidak mempunyai hak sarna sekali. Sebagai perbandingan dapat dikemukakan bahwa di Singapura lebih banyak putusan pengadilan yang tidak dimintakan banding dari pada yang dimintakan banding. Dengan banyaknya yang banding dan kasasi maka penyelesaian perkara akan berlarut-larut dan menimbulkan tunggakan perkara yang setiap tahunnya bertambah dan menyebabkan "asas cepat" tidak terpenuhi sebagaimana yang diharapkan. Mahkamah Agung
kewalahan dalam menghadapi tunggakan perkara, sehingga mengadakan seminar untuk membatasi permohonan kasasi. Demikian pula dengan ter( di)tunda-tundanya atau tidak dapat dilaksanakannya eksekusi putusan. Putusan seringkaIi tidak dapat dieksekusi karena faktor ekstern maupun intern. Faktor ekstern: yang tereksekusi menghalang-halangi, yang tidak Jarang dengan menggerakkan mas a, enggan atau tidak mau membantu pelaksanaan eksekusi; faktor intern, karena putusannya terlalu formal, sehingga secara yuridis mungkin benar, tetapi tidak dapat dilaksanakan, atau ada perintah dari Mahkamah Agung untuk menunda eksekusi. Bahkan ada eksekkusi yang diperintahkan ditunda oleh Mahkamah Agung, akan tetapi tidak ada penyelesaiannya lebih lanjut, sehingga perkaranya terkatung­katung. Ada suatu ungkapan yang tidak asing lagi yang berbunyi ''justice delayed is justice denied" yang menunjukkan bahwa "asas cepat" sangat didambakan, bahkan ada pendapat yang mengatakan "lebih baik cepat tetapi kalah, dari pada lambat meskipun menang'.
Di daIam pasal 23 UU no.14 tahun 1970 ditentukan bahwa segala putusan pengadilan selain harns memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan harns pula memuat pasal-pasal tertentu dan peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dij adikan dasar untuk mengadili. Yang dimaksudkan tidak lain bahwaputusan harns disertai dengan alas an-alas an atau pertimbangan-pertimbangan yang cukup dan logis, sebagai dasar amamya. Persyaratan adanya alasan atau pertimbangan sebagai dasar putusan adalah untuk memenuhi tuntutan keadilan dan obyektivitas. Di daIam praktek pertimbangan hukum mengenai dasar hukumnya atau pasal­pasal sering hanya disebutkan "berdasarkan pasal-pasal yang bersangkutan" tanpa menyebutkan pasal-pasal yang mana. Jadi putusan dij atuhkan secara langsung tanpa alasan atau dengan alas an-alas an yang sangat sumir. Tidakjarang ada putusan banding yang pertimbangannya sumir atau tidak ada sarna sekali seperti "menguatkan putusan pengadilan negeri". Tidak menutup kemungkinan bahwa kata-kata itu hanyalah untuk sekedar memenuhi pasal 23 saj a. Pasal 23 tersebut masih dikuatkan pula oleh putusan Mahkarnah Agung tanggal 22 Juli 1970 yang menetapkan, bahwa putusan yang tidak cukup dipertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd) merupakan alasan untuk kasasi dan hams dibatalkan.
Banyak yustisiabele atau pencari keadilan yang mengeluh mengenai jalannya peradilan, mengenai integritas hakim, kualitas hakim dan sebagainya. Para pencari keadilan merasa kurang mendapat perlindungan hukum.
Demikianlah secara singkat mengenai keadaan peradilan kita dewasa ini yang sangat memprihatinkan, sehingga belumlah dapat dikatakan sudah rnemenuhi harapan, oleh karena itu belumlah terwujud peradilan sebagai benteng terakhir bagi para pencari keadilan.
Harapan
Untuk mengatasi masalah tersebut apakah yang sekiranya perlu dilakukan? Apakah sekiranya peraturan-peraturan . atau sistemnya perlu diubah? Kalau dilihat dari apa yang telah diuraikan di atas maka sebabnya pada dasarnya terletak pada sumber daya manusianya. Dengan demikian kalau kita hendak memperbaiki keadaan peradilan kita, kalaupun peraturan atau sistemnya dirasakan perlu untuk diubah guna memenuhi idealisme, narnun tidak perlu tergesa-gesa mengubahnya, karena untuk mengubahnya dibutuhkan beaya, waktu yang tidak sedikit dan adaptasi untuk mensosialisasikan dan memberIakukan peraturan-peraturan dan sistem peradilan baru. Sudah sangat mendesak bahwa peradilan kita hams segera diperbaiki atau ditingkatkan. Untuk meningkatkan peradilan kita kiranya tidak perIu tergesa-gesa mengubah peraturan-peraturan atau sistem peradilan yang ada, sebab untuk sementara ini peraturan-peraturan yang ada kiranya masih cukup memadai. Dilihat dari segi praktis dan urgensinya perIu segera ditingkatkan sumber daya manusianya, baik integritas maupun pengetahuannya serta memfungsikan peraturan-peraturan yang ada.
Pada dasamya asas-asas yang ada kiranya sudah cukup memadai untuk mewujudkan peradilan sebagai benteng terakhir bagi para pencarl keadilan.
Mengenai kebebasan hakim memang ada ketentuannya dalam pasal 4 ayat (3) UU no.14 tahun 1970, yaitu yang berbunyi: segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak -pihak lain di luar Kekuasaan Kehakian dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-undang Dasar. Larangan campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak -pihak di luar Kekuasaan Kehakiman ini tidak ada sanksinya. Memang kedengarannya janggal: ada larangan tetapi tidak ada sanksinya. Untuk lebih menjamin ketenteraman dan ketenangan hakim dalam menj alankan tugasnya maka sebaiknya ada sanksinya terhadap pelanggaran larangan tersebut. Selanjutnya untuk menghadapi makin banyaknya suap atau kolusi perIu kiranya di samping ditindak tegas sesuai dengan peraturan yang berIaku juga integritas hakim dan jajarannya ditingkatkan. Pengawasan terhadap hakim dan jalannya peradilan perIu lebih diperketat baik mengenai integritas maupun pengetahuannya. Eksaminasi putusan hakim perIu dihidupkan kembali.
Dengan lebih teIj arnitmya ketenteraman dan ketenangan dalarn melaksanakan tugasnya, yang disertai dengan sanksi hakim akan bebas dan mandiri dan dengan demikian diharapkan pula bersikap obyektif, tidak memihak dalarn memeriksa dan mengadili perkara.
Terbukanya persidangan untuk umum merupakan pengawaan atau kontrol sosial terhadap jalannya peradilan, sekalipun tidak merupakan kontrol langsung terhadap jalannya persidangan yang akan lebih menjamin obyektivitas pemeriksaan yang fair sampai pada putusan yang adil kepada masyarakat. Sifat terbukanya sidang berarti bahwa sidang pada dasamya dapat dihadiri oleh setiap orang, yang akan mempunyai pengaruh terhadap hakim yang memeriksa, sekalipun tidak setiap sidang selalu dihadiri oleh pengunjung. Asas terbukanya persidangan tidak berapa mempunyai arti bagi acara yang berlangsung secara tertulis. Oleh karena itu sekalipun dewasa ini bangsa Indonesia yang buta huruf sudah makin berkurang, narnun demi praktis dan cepatnya beracara di persidangan pengadilan sebaiknya dilakukan secara lisan. Mengajukan gugatan boleh tertulis, bahkan sebaiknhya tertulis, tetapi dalarn jawab menjawab sebaiknya sebaiknya berlangsung secara lisan dip imp in oleh hakim.
Asas kesarnaan merupakan asas penting dalam peradilan. Setiap orang dianggap dan diperlakukan sarna dimuka hukum. Kedua belah pihak dalam perkara perdata hams didengar bersama di persidangan (audi et alteram partem).
Mengenai j alannya peradilan (asas cepat) perlu ditingkatkan. Hakim tidak hanya bertugas memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara saja tetapi hams pula berusaha menyelesaikan dengan cepat.
Sekalipun sudah ada peraturannya mengenai keharnsan menyertakan alasan dalam putusan, namun dalam praktek sering diabaikan. Peraturan itu harns ditegakkan.
Kesimpulan
Keadaan peradilan kita dewasa ini sangat memprihatinkan. Yang menyebabkan peradilan kita belum seperti yang diharapkan temtama adalah sumber daya manusianya. Oleh karena itu dirasa sangat mendesak untuk meningkatkan integritas dan pengetahuannya, sedangkan peraturan-peraturan dan sistem peradilannya untuk sementara pada umumnya dapat dikatakan masih memadai; untuk mengubahnya memerlukan waktu dan beaya yang tidak sedikit, belum lagi untuk mensosialisasikannya.
Dirasakan sangat mendesak dikeluarkannya peraturan untuk mengatasi tunggakan-tunggakan perkara dengan membatasi nilai gugat yang diajukan ke pengadilan dan permohonan banding serta kasasi. Diharapkan dengan adanya peraturan itu tunggakan perkara akan berkurang.
Peraturan yang berlaku perlu ditegakkan, dilaksanakan atau difungsikan.
Peradilan yang baik (ideal) harns mempunym asas-asas umum peradilan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk rechtspraak) seperti berikut.
Hakim bebas, sifat terbukanya sidang, hakim aktif, obyektivitas, acara lisan, kesamaan, peradilan cepat, putusan disertai dengan alasan dan adanya pengawasan. Asas-asas itu sudah ada dalam peradilan kita, tinggal menegakkan.

Yogyakarta, 16 November 1996
Seminar"Kekuasaan Kehakiman dan Sistem Peradilan di Indonesia", Undip, Semarang, 20 November 1996