Sabtu, 19 September 2009

MENEGAKKAN HUKUM DENGAN MENTAATI ASAS DAN SISTEM HUKUM


oleh
Sudikno Mertokusumo


Di dunia ini manusialah yang berkuasa. Manusia merupakan pusat kegiatan dan perhatian. Oleh karena itu manusia menjadi subjek hukum, pelaku, dan bukan objek hukum. Manusia pada umumnya bukan sekedar ingin berkuasa, tetapi ingin tetap berkuasa, ingin benarnya sendiri, tidak mau disalahkan, ingin diakui egonya. Tidak mengherankan kalau ada perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat itu wajar, bahkan diperlukan dalam kehidupan demokrasi. Akan tetapi perbedaan pendapat tidak jarang menjurus pada pertentangan atau konflik kepentingan manusia (conflict of human interest).
Dengan terjadinya conflict of human interest manusia hidupnya tidak lagi tenteram, damai, aman. Pada hal manusia ingin hidup tenteram, tidak ingin diganggu kepentingannya oleh sesamanya (pencurian, perselingkuhan) maupun lingkungannya (banjir, gempa bumi), sedangkan manusia sejak dulu sampai sekarang bahkan dalam waktu yang akan datang, dimana-mana selalu diganggu kepentingannya. Oleh karena itu manusia membutuhkan perlindungan kepentingan-kepentingannya. Maka terciptalah perlindungan kepentingan manusia dalam bentuk kaedah sosial antara lain kaedah hukum.
Hukum atau produk hukum, dari segi mikro, adalah ungkapan pikiran manusia yang berisi ungkapan nila-nilai yang bersifat abstrak, yang diungkapkan menjadi kenyataan yang konkret atau dikristalisasi dalam bentuk bahasa agar supaya dapat dimengerti oleh sesamanya.
Oleh karena itu hukum memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi, baik tertulis maupun lisan. Tidak mungkin hukum itu tanpa bahasa. Hukum terikat pada bahasa: perjanjian, peraturan, putusan). Akan tetapi perlu diingat bahwa bahasa bagi hukum adalah sekedar alat dan bukan tujuan
Hukum sebagai realisasi ungkapan pikiran manusia mula-mula berupa nilai-nilai yang abstrak sifatnya dan berakar dalam kenyataan masyarakat serta pada nilai-nilai yang dipilih sebagai pedoman hidup oleh kehidupan bersama. Nilai-nillai ini berhubungan dengan apa yang benar dan apa yang salah, kebajikan dan kejahatan, kebaikan dan keburukan, yang dikehendaki dan yag ditolak.
Nilai ini kemudian dikristalisasi menjadi asas hukum, tetapi asas hukum ini tidak “larut” dalam konkretisasi tetapi mempunyai nilai “lebih”, karena tetap mempertahankan sifatnya yang umum atau abstrak. Asas hukum ini kemudian lebih dikonkretkan lagi, yang sifatnya masih abstrak umum karena tersirat menjadi norm atau kaedah hukum. Kemudian norm atau kaedah hukum tadi lebih dikonkretkan lagi yang tersurat dalam ujud peraturan hukum konkret. Peraturan hukum konkret ini direalisasi atau dilaksanakan dalam bentuk putusan atau yurisprudensi.

Dari apa yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa terjadinya hukum itu berlangsung melalui pikiran yang bersifat abstrak, umum dan mendasar yang merupakan nilai, menjadi asas hukum dan yang kemudian dikonkretisasi menjadi peraturan hukum konkret dan dilaksanakan menjadi putusan atau yurisprudensi.
Dengan demikian maka asas hukum adalah pikiran dasar yang bersifat abstrak umum serta terdapat di dalam, di belakang atau tersirat dalam peraturan hukum konkret, walaupun tidak tertutup kemungkinan ada asas hukum yang tersurat atau konkret sifatnya.
Asas hukum sifatnya umum yang berarti bahwa asas hukum itu dapat berlaku dalam pelbagai situasi, tidak hanya berlaku atau ditujukan untuk peristiwa tertentu saja.
Asas hukum dibagi menjadi asas hukum yang luas yang berhubungan dengan seluruh bidahg hukum (lex posteriori derogat legi priori) dan asas hukum yang sempit yang berhubungan dengan bidang hukum tertentu saja (kebebasan berkontrak).
Karena asas hukum itu sifatnya umum, maka membuka peluang akan adanya penyimpangan-penyimpangan atau pengecualian-pengecualian. Contohnya: Pasal 28A UUD berbunyi bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kedhidupannya” tetapi implementasinya dimungkinkan hukuman mati. Pasal 28 I (1) UUD berbunyi: “ Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, tetapi pasal 43 (1) Undang-undang tentang Pengadilan tentang Hak Asasi Manusia berbunyi “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diunangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc”.
Karena membuka peluang akan adanya pengecualian-pengecualian, maka asas hukum membuat sistem hukumnya fleksibel, luwes.
Asas hukum merupakan sebagian cita-cita manusia. Oleh karena itu asas hukum merupakan suatu presumption, suatu persangkaan, sesuatu yang tidak nyata: putusan hakim dianggap benar, setiap orang diangap tahu akan undang-undang.
Asas hukum tidak mengenal hierarkhi, yang berarti bahwa asas hukum tidak mengenal tingkatan-tingkatan, dengan demikian tidak mungkin terjadi konflik antara asas hukum yang satu dengan asas hukum yang lain (antara asas “kebebasan berkontrak” dengan asas “mengikatnya perjanjian bagi para pihak”).

Pengetahuan tentang sistem hukum dalam menegakkan hukum tidak kurang pentingnya dengan pengetahuan tentang asas hukum. Kehidupan merupakan sesuatu yang tampak tidak teratur, tidak terbatas dan bersifat kompleks. Manusia ingin memahaminya dan menguasai kehidupan nyata yang kompleks itu, maka kompleksitas kehidupan nyata itu perlu disederhanakan. Dengan menciptakan sistem atau dengan sistematisasi maka kompleksitas itu disederhanakan dan dengan demikian lebih mudah dapat dikuasai
Sebagaimana kita ketahui hukum merupakan suatu sistem, yang berarti bahwa hukum merupakan suatu kesatuan unsur-unsur atau bagian-bagian yang terstruktur, otonom dan bebas. Dengan kemandiriannya atau kebebasannya sistem hukum bersifat terbuka dalam arti bahwa unsur-unsur di dalam sistem hukum mempengaruhi unsur-unsur di luar sistem hukum dan sebaliknya (contoh masalah lingkungan, korupsi). Di dalam sistem hukum terbuka terdapat sistem hukum terbuka dan tertutup.
Konflik antara bagian-bagian atau unsur-unsur di dalam sistem hukum tidak dikehendaki. Oleh karena itu sistem hukum menyediakan asas hukum untuk mengatasi konflik yang terjadi.
Bagian-bagian dari sistem hukum harus ada di dalam sistem hukum. Bagian-bagain itu tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi merupakan satu sistem.
Sistem hukum itu bersifat lengkap yang melengkapi peraturan hukum, karena peraturan hukumnya yang tidak lengkap.

Di dalam praktek sering orang mencoba-coba melakukan penemuan hukum, mengadakan penerobosan tanpa menguasai atau tidak memperhatikan metode penemuan hukum, karena didorong oleh kepentingan sesaat atau kepentingan pribadi atau kepentingan sekelompok orang saja. Dalam menemukan hukumnya harus dikuasai pula sumber hukumnya.
Kalau suatu pristiwa konkret tidak diatur dalam undang-undang maka hukumnya masih mungkin dicari dengan jalan penalran atau argumentasi, yaitu dengan argumentasi per analogian atau argumentsi a contraro. Tetapi kalau peristiwa konkretnya itu sama sekali tidak diatur, maka jawabannya tidak semdah “dibolehkan” atau “dilarang”, akan teapi harus dipertanyakan apakah peristiwa konkret yang tidak diatur itu bertentangan dengan ketrtiban umum, kesusilaan atau tidak. Kalau tidak bertengangan mengapa harus dilarang.
Maka oleh karena itu dalam kita melaksanakan hukum maka marilah kita mentaati asas hukum, system hukum dan metode penemuan hukum agar hukum kita tidak lebih terpuruk lagi.





Yogyakarta, 29 Agustus 2009


Jumat, 19 Juni 2009

BOLEHKAH JAKSA MENGAJUKAN P.K.?

oleh Sudikno Mertokusumo

Apakah jaksa boleh mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK)? Ahir-akhir ini tidak sedikit kasus dimana jaksa mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Marilah kita lihat bagaimanakah menurut sistem hukumnya yang berlaku?
Pasal 263 (1) KUHAP berbunyi bahwa “terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Bunyi pasal tersebut bagi awam sangat sumir: “terhukum atau ahli warisnya”. Memang merekalah yang berkepentingan, jaksa sama sekali tidak disebut di dalam pasal tersebut. Dikecualikan ialah putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan, yang berarti bahwa putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan, tidak dapat dimohonkan peninjauan kembali. Apakah karena tidak disebut dalam pasal tersebut jaksa boleh mengajukan permohonan peninjauan kembali?
Apakah kalau suatu peristiwa itu tidak diatur atau tidak disebutkan dalam undang-undang berarti peristiwa itu dibolehkan? Karena jaksa tidak disebut dalam pasal tersebut apakah itu berarti bahwa jaksa dibolehkan mengajukan permohonan peninjauan kembali? Apakah justru sebaliknya, karena tidak diatur atau disebutkan maka berarti dilarang?
Kalau suatu peristiwa tidak diatur atau tidak disebut dalam undang-undang kita cenderung menafsirkan “tidak ada larangan” jadi “dibolehkan”. Tetapi sebaliknya kita dapat berpendapat karena tidak disebut maka “dilarang”. tidak sesederhana itulah menafsirkannya. Tidak sesederhana itulah jawabannya. Kita harus melihat undang-undang sebagai suatu sistem, sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari pasal-pasal.

Dalam membaca atau menafsirkan suatu pasal dalam undang-undang maka pasal tersebut harus diletakkan dalam proporsinya. Pasal yang bersangkutan harus ditempatkan dalam sistem, jangan dikeluarkan dari sistem atau undang-undang yang bersangkutan dan diteropong tersendiri lepas dari pasal-pasal lain dalam undang-undang yang bersangkutan. Sebab suatu pasal dalam satu undang-undang merupakan kesatuan dengan pasal-pasal lain dalam undang-undang tersebut. Sebuah undang-undang merupakan suatu sistem, merupakan suatu kesatuan, sehingga merupakan kesatuan dengan pasal-pasal lain dalam undang-undang yang bersangkutan. Dengan demikian setiap pasal dalam suatu undang-undang mempunyai kaitan atau hubungan dengan pasal-pasal lain dalam undang-undang tersebut dan tidak terpisahkan satu sama lain.
Pasal 263 (1) KUHAP tersebut memang bagi awam kurang tegas, tetapi tidak boleh/dapat disalahtafsirkan, karena di samping Pasal 263 (1) KUHAP tersebut masih ada pasal lain dalam KUHAP yaitu Pasal 266 (3) yang berbunyi bahwa “Bahwa yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.” Putusan peninjauan kembali tidak boleh lebih berat dari pada putusan kasasinya. Ini berarti bahwa jaksa dalam tingkat peninjauan kembali nanti tidak boleh menuntut lebih berat dari putusan kasasinya.
Pertanyaannya ialah apakah jaksa dalam permohonan peninjauan kembali nanti akan mengajukan tuntutan yang sama atau bahkan kurang dari putusan kasasinya? Kalau jaksa akan menuntut sama dengan putusan kasasinya apakah itu tidak berarti membuang-buang waktu, tenaga atau mencari kerjaan?. Kalau jaksa akan menuntut kurang dari putusan kasasinya apa itu tidak berarti bertentangan dengan tuntutan dalam kasasinya?
Jadi kalau suatu peristiwa konkret tidak ada peraturan yang mengaturnya, maka tidak dengan sendirinya peristiwa konkret itu dibolehkan atau dilarang, tetapi harus diteliti lebih lanjut apakah peristiwa konkret itu bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum atau tidak. Kalau tidak, untuk apa dilarang, sedangkan kalau bertentangan sudah selayaknya dilarang.
Ini merupakan penemuan hukum (menemukan hukumnya karena hukumnya tidak jelas atau tidak lengkap), tetapi penemuan hukum itu ada metodenya, ada aturannya, tidak sekedar atau asal mengadakan penerobosan: nrobos sana nrobos sini mencari enaknya, mencari untungnya. Lebih-lebih dalam hukum pidana penemuan hukum tidak sebebas dalam hukum perdata. Kepentingan para pihak atau terdakwa harus diperhatikan, sebab hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia. Baik ia terdakwa atau bukan.
Sebaiknya jaksa tidak bersikap terlalu agresif dan proaktif untuk menuntut kesalahan dan hukuman

Walaupun tugas jaksa adalah sebagai penuntut, tetapi kalau terdakwa terbukti di persidangan tidak bersalah ia harus jujur dan berani menuntut bebas. Tidak perlu malu atau "loosing face", sebab jaksapun harus mencari kebenaran dan keadilan.
Hukum memang harus ditegakkan, tetapi bukan seperti yang lazim kita dengar: “FIAT JUSTITIA ET PEREAT MUNDUS” yang berarti hukum harus ditegakkan meskipun dunia akan hancur, melainkan: ‘FIAT JUSTITIA NE PEREAT MUNDUS’ yang berarti bahwa hukum harus ditegakkan agar dunia tidak hancur.
MENURUT JAKSA AGUNG MUDA TINDAK PIDANA UMUM, KEJAKSAAN MENANGANI PERKARA PEMBUNUHAN NASRUDIN "DENGAN HATI-HATI" PASALNYA PERKARANYA INI MENARIK PERHATIAN(berita dalam KOMPAS). Pertanyaan yang menggelitik: Kalau perkara itu tidak menarik perhatian apakah jaksa tidak akan serius menanganinya? Kasihan para pencari keadilan yang perkaranya kecil dan tidak menarik perhatian. Quo Vadis Reformasi Hukum?
Yogya 18 Juni 2009