Rabu, 08 April 2015

PIH dan PTHI



Karya
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo,S.H.
            Untuk memenuhi permintaan konsorsium ilmu hukum melalui suratnya tertanggal 13 januari 1982 dengan ini disajikan sekelumit pemikiran mengenai materi dan pengajaran mata kuliah pengantar ilmu hukum dan pengantar tata hukum Indonesia serta beberapa problematikanya yang timbul.
            Yang sering menjadi masalah ialah: apa yang harus diberikan dalam mata kuliah PIH dan PTHI pada fakultas hukum? Apakah dalam member PIH harus pula diberikan hukum positif ataukan hukum positif itu diserahkan kepada PTHI saja? Apakah PIH itu hanya memberikan pengetahuan teoritis semata-mata atau ada juga ketrampilan yang diberikan?
            Di Nederlands dewasa ini ada kecenderungan untuk meninggalkan “Inleiding van het recht” yang lebih bersifat positif(lihat van Apeldorn) dan condong kembali “encycloped van de rechtsgeleerdheid” yang lebih bersifat teoritis filosofis, sekalipun nama yang digunakan untuk mata kuliah ini tetap “inleiding”.
            PIH dan PTHI merupakan pengetahuan dasar yang harus dimiliki dan dikuasai oleh para mahasiswa fakultas hukum tingkat pertama untuk memperoleh gambaran tentang hukum dan tata hukum Indonesia agar dapat mengikuti serta mendalami kuliah-kuliah selanjutnya.
            Pendidikan pada fakultas hukum merupakan pendidikan tinggi yang tidak semata-mata hanya memberikan atau menanamkan pengetahuan praktis atau ketrampilan saja, tetapi ilmu pengetahuan hukum. Oleh karena itu harus dibedakan dari pendidikan tinggi kejuruan, yang bertujuan menghasilkan sarjana yang dipersiapkan akan menduduki fungsi-fungsi didalam masyarakat.
            Apa yang akan dihasilkan oleh fakultas hukum adalah sarjana hukum dasar yang kritis, kreatif dan dapat berdiri sendiri dalam merumuskan masalah, memecahkan dan mengambil keputusan.
            Sejak permulaan studinya mahasiswa fakultas hukum sudah harus belajar merumuskan masalah hukum dengan baik dan memecahkan serta harus dapat mengambil keputusan.
            Kuliah PIH dan PTHI pada fakultas hukum mempunyai pretense ilmiah.
            Dari istilahnya sendiri telah jelas bahwa PIH dan PTHI merupakan matakuliah dasar. Dengan kuliah PIH dan PTHI para mahasiswa fakultas hukum diantarkan memasuki dan mengenal lapangan ilmu hukum dan tata hukum Indonesia.
            Sekalipun materi/obyek kedua mata kuliah itu berbeda namun tidak dapat dihindari adanya overlapping (tumpang-tindih) dalam pemberian kuliah. Akan tetapi overlapping ini tidak hanyan terdapat antara PIH dan PTHI saja, tetapi juga antara PIH/PTHI disatu pihak dan mata kuliah azas atau hukum dipihak lain. Sekalipun overlapping ini kadang-kadang perlu juga, namun demi effisiensi perlu ada koordinasi agar tidak terjadi overlapping yang berlebihan.
            Karena PIH dan PTHI merupakan pengetahuan dasar bagi mahasiswa fakultas hukum, maka harus member gambaran menyeluruh tentang lapangan ilmu hukum dan tata hukum Indonesia. Jadi sifatnya umum dan tidak mendalami bidang-bidang tertentu secara mendetail.
            PIH khususnya bertujuan memberikan pengetahuandan pandangan dalam masalah fundamental tentang sifat dan fungsi hukum serta tentang sistem hukum Indonesia yang berlaku sebagai keseluruhan dengan member pengetahuan azasi tentang hukum: apa hukum itu, raison d’etrenya, tujuannya. Sumbernya, cara menemukannya, pelaksanaannya, pembagiannya dan sebagainya.
            PIH harus memberi pengetahuan dan pandangan juga tentang ilmu pengetahuan lainnya yang membantu ilmu hukum dan juga mengenai letaknya dalam dunia ilmu pengetahuan pada umumnya.
            PIH bertujuan pula agar mahasiswa fakultas hukum mengembangkan pandangannya yang kritis yang bertubungan dengan kesatuan antara masalah fundamental hukum yang berlaku dan kenyataan masyarakat.
            Dengan mempelajari PIH mahasiswa fakultas hukum harus dapat menguasai ketrampilan teknis yang sangat diperlukan dalam studi hukum dan praktek hukum. Mahasiswa harus dapat menggunakan peraturan-peraturan dan pengertian-pengertian hukum yang didapat dari kuliah. Ia harus dapat mencari, membaca dan menggunakan undang-undang serta yurisprudensi dan harus pula melihat hukum tidak hanya sebagi kumpulan undang-undang, tetapi sebagi satu sistem dan sebagai fenomena masyarakat.
            Mempelajari hukum pada hakekatnya meliputi tiga hal dalam garis besarny, yaitu mengenai kaedah, sistem hukum dan penemuan hukum. Untuk  dapat memahami atau mendalami hukum suatu Negara  kita harus mendalami kaedah-kaedah atau peraturan-peraturan dalam Negara tersebut. Hukum itu merupakan satu sistem, maka harus kita ketahui pula apa sistem itu. Akhirnya penemuan hukum harus dikuasai juga karena kaedah atau peraturan hukumnya tidaklah lengkap dan sering juga tidak jelas. Oleh karena itu harus dicari atau ditemukan hukumnya. Untuk mengetahui atau mencari huknya perlu diketahui cara penemuan hukum.
             Hafal undang-undang dasar suatu Negara belumlah dapat dikatakan sudah mengenal atau menguasai hukum Negara tersebut. Kalau seseorang ingin menepuk dada bahwa ia telah menguasai atau mendalami hukum suatu Negara, maka ia harus mengenal sistem hukumnya, metode penemuan hukumnya di samping menguasai pula kaedah atau peraturan-peraturannya. Sudah hal ini tidak berati bahwa ia harus hafal semua peraturan yang ada yang mungkin berjumlah ribuan.
            Oleh karena itu silabus PIH dalam garis besarnya harus meliputi tentang kaedah (ini meliputi kedudukan manusia di dalam masyarakat, fungsi, arti dan jenis-jenis kaedah, apa hukum itu, tujuannya, tugasmnya sumbernya, cara menemukannya, pelaksanaannya, pembagian atau klasifikasi dan sebaginya), tentang sistem hukum  ( unsur-unsur, pembagian, pelbagai macam sistem hukum dan sebagainya) dan penemuan hukum (ini meliputi metode seperti metode interpretasi dan sebagainya).
            Unsur-unsur fundamental dalam hukum yang perlu dibicarakan dalam PIH ialah tentang Negara, orang, harta kekayaan dan pidana. Sudah tentu dalam membicarakan keempat unsur fundamental itu hanya mengani azas-azasnya saja, sebab kalau terlalu mendalam akan terjadi overlapping dengan azas-azas hukum tata Negara, hukum perdata dan hukum pidana.
            Tidak boleh dilupakan mengenai ilmu hukum dalam dunia ilmu pengetahuan serta ilmu-ilmu lainnya yang membantu ilmu hukum.
            Seperti yang ternyata diatas PIH materinya luas dan bersifat umum. Masalahnya sekarang ialah apakah dengan sistem kredit yang dianut oleh fakultas hukum materi PIH seluas itu dapat diberikan kepada para mahasiswa Fakultas Hukum secara memuaskan. Perlu mendapat perhatian bahwa jumlah mahasiswa setiap tahun makin meningkat dan minat untuk menjadi dosen kurang kalau tidak boleh dikatkan tidak ada sedang buku-buku memadai tidak banyak tersedia.
            PIH itu bersifat luas dan menyeluruh. Pengertian-pengertiannya pada umumnya bersifat azasi dan abstrak. Oleh karena itu PIH dan juga PTHI harus diberikan oleh seorang dosen yang sudah berpengalaman, seorang dosen senior. Ia harus mempunyai parate kennis yang cukup dan pandai mencari atau memberikan contoh-contoh yang up to date. Ini hanya dapat diberikan seorang dosen senior yang berpengalaman.
            Pemberian PIH dan juga PTHI dilakukan dengan kuliah tatap muka secara doctrinaire dilengkapi dengan res cottidianae(peristiwa sehari-hari). Karena materinya abstrak dan untuk lebih memudahkan mahasiswa memahami PIH sebaiknya diusahakan visualisasi : missal mengenai bentuk undang-undang, lembaran Negara, putusan pengadilan dan sebagainya.
            Agar mahasiswa fakultas hukum dapat menggunakan peraturan-peraturan dan pengertian-pengertian hukum yang didapat dari kuliah, maka ia harus dilatih untuk mencari dan membaca serta menggunakan undang-undang dan yurisprudensi. Tidak kurang pentingnya ialah pelatihan berfikir secara yuridis.
            Mengenai bahan bacaan bagi para mahasiswa fakultas hukum perlu dipikirkan diterbitkan buku kumpulan undang-undang semacam engelbrecht, yang anatara lain berisi UU dasar, terjemahan algemene bepalingen van wetgeving, UU pokok dan peraturan-peraturan lainnya yang sekiranya diperlukan untuk pemberian PIH. Untuk mengenal bentuk dan isi putusan-putusan pengadilan, yurisprudensi perlu dimasukkan bahan bacaan wajib.
            PTHI mengantarkan mahasiswa memasuki/mempelajari tata hukum indonesia yang sedang berlaku. Berbeda dengan PIH maka pendekatannya disini adalah positif. Hal ini tidak menutup kemungkinan pendekatan secara historis, karena hukum itu adalah “Historisch bestimmt” dan demi jelasnya bagi mahasiswa. Materi kuliah PTHI lebih konkrit sifatnya dari pada PIH.
            PTHI bertujuan memberikan pengetahuan dan pandangan yang bersifat menyeluruh tentang tata hukum indonesia. Seperti halnya dengan PIH disinipun sifatnya umum tetapi lebih konkrit karena telah memasuki bidang-bidang hukum. Yang merupakan topik sentral dalam PTHI adalah pembagian bidang-bidang hukum menjadi : hukum tata negara, tata pemerintahan (termasuk dibicarakan dalam hukum tata negara aialah kekuasaan kehakiman, susunan dan lingkungan peradilan), hukum perdata : BW, Islam dan adat (yang terakhir ini perlu mendapat tempat tersendiri), hukum dagang, hukum pidana, hukum acara baik perdata maupun pidana, hukum agraria, hukum perburuan, hukum international publik maupun perdata, hukum antar tata hukum dengan tidak menutup kemungkinan timbul bidang hukum baru seperti hukum lingkungan dan sebagainya. Itu semua dibicarakan secara umum menyeluruh dan hanya azas-azasnya saja sebagai pengantar untuk mendalami azas-azas hukum yang bersangkutan. Disinipun tidak akan terhindar terjadinya overlapping dalam memberikan dengan mata kuliah azas.
            Dalam membicarakan bidang-bidang hukum tersebut tidak dapat lepas dari perundang-undangan, sehingga mahasiswa harus tahu pula tentang sistem perundang-undangan, jenis-jenis peraturan perundang-undangan dan sebgainya.
            Dengan PTHI mahasiswa fakultas hukum diberi pengertian tentang apakah kedudukan, hak serta kewajiban seorang (warga negara) dalam masyarakat (negara), perbuatan manakah yang (menurut) hukum dan yang mana yang melawan atau melanggar hukum, bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, bagaimana cara mengajukan pengaduan dan sebagainya.
PTHI pada fakultas hukum merupakan mata kuliah dasar yang sifatnya menyeluruh dan umum. Oleh karena itu seperti halnya dengan PIH dan PTHI harus diberikan oleh seorang dosen yang senior dan berpengalaman. Dalam memberi PTHI dosen dituntut untuk mempunyai/menguasai parate yang cukup, penguasaan peraturan perundang-undangan yang luas.
Yogyakarta, 30 Januari 1982

Rabu, 06 Agustus 2014

PERKEMBANGAN NORMA, ETIKA SOSIAL SEBAGAI SUMBER PENEMUAN HUKUM DALAM HUBUNGAN DENGAN HUKUM KESEHATAN



Oleh :
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.

            Penemuan hukum dalam hubungannya dengan hukum kesehatan pada dasarnya tidak ada bedanya dengan penemuan hukum dalam bidang-bidang hukum lain seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata Negara dan sebagainya. Tidak ada yang khusus atau istimewa dengan penemuan hukum pada hukum kesehatan bila dibandingkan dengan penemuan hukum pada bidang-bidang lainnya.
            Di dalam hukum acara, baik pidana maupun perdata dikenal adanya dua tahap, yaitu tahap menemukan peristiwa konkrit dan tahap menemukan hukum yang meliputi menemukan peristiwa hukumnya dan menemukan hukumnya yang akan diterapkan terhadap peristiwa hukum tersebut. Dua tahap itu harus secara sadar dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain, oleh karena tahap-tahap itu merupakan rangkaian kegiatan yang berurutan bahkan terjalin satu sama lain.
            Peristiwa konkritnya harus diketemukan lebih dahulu. Untuk menemukan peristiwa konkritnya harus dilakukan pembuktian. Jadi penemuan hukum konkrit berlangsung dengan pembuktian.
            Setelah peristiwa konkritnya dibuktikan, yang berarti diketemukan atau dikonstatir peristiwa konkritnya, maka peristiwa konkrit itu harus dikualifikasi atau diterjemahkan menjadi peristiwa hukum agar hukum atau undang-undang dapat diterapkan. Peristiwa konkrit tersebut harus diberi kualifikasi hukumnya atau terjemahan dalam bahasa hukum. Undang-undang atau hukumnya tidak dapat secara langsung diterapkan pada peristiwa konkrit. Peristiwa konkrit atau das Sein harus diterjemahkan dalam bahasa hukum terlebih dahulu, sehingga menjadi peristiwa hukum agar undang-undang atau das Sollen dapat ditetapkan.
            Jadi penemuan hukum bertujuan menemukan peristiwa hukumnya dan hukumnya untuk diterapkan. Mengapa hukumnya harus diketemukan? Oleh karena hukumnya tidak lengkap atau tidak selalu jelas. Tidak ada hukum undang-undang yang lengkap selengkap-lengkapnya atau selalu jelas.
            Penemuan hukum itu mempunyai aturan permainan. Jadi menemukan hukum tidak berarti asal menemukan hukum menurut kehendak.
            Dalam ajaran penemuan hukum dikenal adanya sumber-sumber hukum. Sumber-sumber hukum itu adalah : peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian international dan doktrin.
            Sumber-sumber hukum itu mengenal hierarkhi atau kewedaan, artinya kalau kita hendak mencari suatu pengertian hukum misalnya maka haruslah dicari terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan. Kalau tidak ada barulah kita cari dalam hukum kebiasaan. Kalau dalam hukum kebiasaan tidak ada, maka dicarilah dalam yurisprudensi. Kalau dalam disitupun tidak ada kita cari lebih lanjut dalam perjanjian international dan selanjutnya. Jangan sampai terjadi: dicari dalam peraturan perundang-undangan saja belum sudah dicari dalam doktrin.
            Kecuali itu dalam menemukan hukum yang perlu juga diperhatikan ialah bahwa kalau itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undang tidak selalu berarti bahwa hal itu dibolehkan atau dilarang.
            Sumber hukum yang disebutkan diatas adalah sumber formil hukum. Hukum tidak hanya berwujud kaedah saja tetapi dapat berwujud perilaku. Dalam perilaku manusia terdapat hukum. Oleh karena itu perilaku manusia merupakan sumber formil hukum. Perilaku manusia merupakan dapat bersifat pasif, yaitu sikap (iktikad baik) dan bersifat aktif misal membuat perjanjian.
            Etika sosial menurut hemat saya adalah pedoman atau kaedah yang berisi ukuran untuk menilai tindakan manusia di dalam masyarakat.
            Dari apa yang diuraikan di atas maka kaedah (norma) dan perkembangannya serta etika sosial merupakan sumber hukum.
            Apa hubunganya perkembangan norma dan etika sosial sebagai sumber penemuan hukum dengan hukum kesehatan? Telah dikemukakan di atas bahwa pada dasarnya hubungannya sama dengan bidang-bidang hukum lainnya, tidak ada keistimewaannya, tetapi akan dicoba disini mencari hubungannya.
            Masih jelas dalam ingatan kita peristiwa dr. Setianingrum binti Siswoko dari Pati yang diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Pati tanggal 2 September 1981, karena kealpaannya menyebabkan orang lain meninggal dunia dan dijatuhi hukuman percobaan tiga bulan penjara.
            Sekalipun dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Pati tersebut (2-6-84), tetapi putusan Pengadilan Negeri Pati dan Pengadilan Tinggi Semarang yang menguatkannya sudah terlanjur menimbulkan keresahan dilingkungan para dokter. Lebih-lebih lagi karena kemudian terjadi beberapa perkara serupa yang diputus oleh Pengadilan Negeri. Bahkan akhir-akhir ini ada beberapa berita surat kabar yang menggelisahkan tentang dokter yang menyuntik anak yang menimbulkan akibat yang tidak diharapkan.
            Timbulnya keresahan dikalangan para dokter dapat dipahami, karena pada umumnya tidak banyak dokter yang memahami hukum. Jangankan memahami, tertarik atau perhatian pada hukum saja tidak. Bahwa hukum itu bertugas mengaur dan melindungi kepentingan manusia barangkali dipahami. Bahwa dokter menghendaki kepastian hukum akan perlindungan kepentingannya itu sadar betul. Akan tetapi sebaliknya  seperti orang kebanyakan pada umumnya, karena kurang pengetahuannya tentang hukum, tidak mau terlalu diikat peraturan-peraturan hukum. Jadi sebagian besar para dokter menghadapi suatu dilema: disatu sisi ingin perlindungan dan kepastian hukum, tetapi disisi lain tidak mau terlalu diikat oleh peraturan-peraturan.
            Kalau memahami hukum kiranya tidak perlu melihat sebagai suatu dilema. Perlu disadari bahwa hukum itu bertujuan mengatur tatanan masyarakat dan bertugas melindungi kepentingan manusia dan masyarakat serta menjamin kepastian hukum dan mengusahakan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Melindungi kepentingan manusia dan masyarakat berarti menuntut dan mengharapkan pengorbanan dari anggota masyarakat.
            Dalam hubungan dokter-pasien kepentingan kedua belah pihak dilindungi oleh hukum.
            Hubungan dokter-pasien dikenal inspanningsverbintenis, yang berarti bahwa prestasi dokter tidak dilihat pada hasilnya (resultaatnya), tetapi yang dilihat adalah upaya atau usahanya untuk menyembuhkan itu sungguh-sungguh tidak. Kalau sudah berupaya keras untuk menyembuhkan, tetapi akhirnya tidak berhasil, maka hal itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter. Sebaliknya ada hak pada pasien yang perlu diperhatikan oleh dokter juga, yaitu right of selfdetermination, right of healthcare dan right of information.
            Dari segi hukum dokter dan pasien masing-masing mempunyai kedudukan yang sama, kedudukan yang sama dalam memperolarh hak atas perlindungan.
            Kesimpulan
            Kaedah itu bersifat dinamis, selalu berkembang. Jadi norma yang berkembang merupakan sumber hukum. Demikian pula etika sosial, yang merupakan kaedah juga, merupakan sumber hukum.
            Dalam hubungannya dengan hukum kesehatan norma yang berkembang dan etika sosialpun merupakan sumber hukum.
Yogyakarta, 5 April 1995
*Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Hukum Kesehatan dan Malpraktek Di Indonesia pada 5 April 1995 di Fakultas Hukum Muhammadiyah Yogyakarta.

Rabu, 19 Februari 2014

PENGEMBANGAN YURISPRUDENSI TETAP

   oleh
                                             Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.
          Sumber hukum yang dikenal selama ini adalah kebiasaan, undang-undang, yurisprudensi, hukum perjanjian internasional dan doktrin.
           Dalam ajaran penemuan hukum undang-undang diprioritaskan dari sumber-sumber hukum lainnya. Undang-undang didahulukan dari sumber hukum lainnya. Kalau hendak mencari arti istilah atau pengertian hukum, maka dicari terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan, kalau ternyata tidak ada, maka barulah dicari dalam yurisprudensi, kalau dalam yurisprudensi tidak terdapat, maka barulah dicari dalam hukum kebiasaan dan begitu seterusnya. Hal ini dapat difahami, karena di samping undang-undang itu bersifat umum yang berarti berlaku bagi setiap orang, bentuknya tertulis, yang lebih menjamin kepastian hukum. Oleh karena itu dapat difahami pula munculnya aliran legisme dalam penemuan hukum yang menganggap bahwa undang-undang adalah satusatunya sumber hukum. Aliran ini kemudian mengalami perkembangan.
             Di dalam praktek ternyata prosedur atau uruturutan dalam ajaran penemuan hukum tersebut sering tidak diperhatikan. Orang misalnya tidak lari kepada peraturan perundang-undangan terlebih dahuludalam menemukan hukumnya, tetapi langsung mencarinya dalam doktrin, sehingga penemuan hukumnya tidak tepat.
               Jadi undang-undang mempunyai kedudukan yang penting dalam penemuan hukum.
Sebaliknya perlu diketahui, bahwa di samping undang-undang itu umum dan abstrak sifatnya ("Barangsiapa .. . "), sifatnya juga pasif. Pasif berarti menunggu terjadinya suatu peristiwa konkrit untuk dapat dilaksanakan. Undang-undang aktif, baru hidup, baru dapat dilaksanakan apabila terjadi peristiwa konkrit. mencuri dihukum". Ketentuan undang-undang ini baru dapat dilaksanakan apabila seseorang mengambil barang orang lain dengan maksud memilikinya dengan melawan hukum. Baru dengan terjadinya peristiwa konkrit itu undang-undang menjadi aktif, hidup, mempunyai kekuasaan dan dapat dilaksanakan. Jadi undang-undang memerlukan "aktivator" berupa peristiwa konkrit, agar undang-undang itu dapat diterapkan pada peristiwanya, agar dapat dilaksanakan. Tanpa terjadinya suatu peristiwa konkrit pada hakekatnya undang-undang "ist nur ein Plan", sekedar merupakan pedoman yang berisi peringatan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan atau diterapkan terhadap peristiwanya.
Undang-undang itu sendiri, karena sifatnya yang statis tidak dapat setiap saat berkembang, berubah atau diubah sesuai atau mengikuti perkembangan masyarakat, tetapi harus melalui prosedur yang waktu lama.
Karena undang-undang itu statis, maka pelaksanaan dan perkembangannya terjadi melalui peradilan dengan putusan pengadilan atau yurisprudensi. Dengan penemuan hukum maka hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan dilaksanakan dan dikembangkan oleh peradilan dengan yurisprudensi sesuai atau mengikuti perkembangan masyarakat.
             Walaupun sekarang ini banyak produk legislatif dari zaman Hindia Belanda, yang bersifat kolonial itu (tidak semua yang bersifat kolonial itu selalu tidak baik!), masih berlaku, namun pelaksanaan dan pengembangan terjadi melalui peradilan nasional Indonesia. Hal ini tidak berarti bahwa dewasa ini tidak perlu ada perubahan, penggantian, penghapusan atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan, baik peraturan perundang-undangan kolonial maupun nasional. Dewasa ini tidak sedikit peraturan perundang-undangan baik yang berasal dari zaman kolonial maupun yang nasional yang perlu diganti. Hanya kalau sekiranya diinginkan adanya penggantian atau penghapusan peraturan perundang-undangan, terutama yang kolonial, maka harus ada motivasi yang kuat akan urgensi kebutuhan akan adanya penggantian atau penghapusan itu, baik untuk mengatasi masalah yang selama ini timbul dan tidak tertampung oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan (respresif) maupun untuk mencegah atau menangkal kemudian terjadi masalah-masalah baru(preventif). Jadi tidak sekedar ingin karena yang ada bersifat kolonial, sudah tua, tidak sesuai lagi atau karena ingin sesuatu baru. Kecuali itu harus diperhatikan tetap adanya kontinuitas antara peraturan perundang-undangan yang lama dengan yang baru dan penyusunannya harus koordinatif dengan instansi-¬instansi yang terkait serta menyeluruh dan tidak bersifat tambal sulam.
Jadi yurisprudensi (judge-made-law) mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan pengembangan hukum.
        Didalam sistem peradilan kita asasnya ialah bahwa hakim tidak terikat pada putusan hakim yang ada mengenai perkara yang sejenis. Hakim tidak ada keharusan untuk memutus suatu perkara sama dengan putusan hakim yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang sejenis. Jadi pada asasnya hakim bebas untuk memutus setiap perkara menurut keyakinannya tanpa harus berkeblat kepada putusan yang ada mengenai perkara yang sejenis. Di satu pihak hakim memang bebas, hal mana memenuhi salah satu asas peradilan, tetapi di lain pihak timbul pertanyaan apakah asas ini menjamin kepastian hukum. Kalau setiap tahkim memutus menurut keyakinannya masing-masing tanpa mengingat adanya putusan mengenai perkara sejenis yang ada, sehingga memungkinkan dijatuhkannya dua perkara atau lebih yang sejenis yang diputus berbeda, apakah hal ini menunjukan adanya kepastian hukum? Di dalam perkembangannya sekarang ini kita lihat bahwa banyak putusan yang berkeblat kepada putusan pengadilan atasannya (PT, MA). Hal ini bukan berarti bahwa hakim Indonesia sekarang ini terikat pada putusan hakim yang ada mengenai perkara yang sejenis, hal ini tidak berarti bahwa sistem peradilan kita sekarang menganut sistem peradilan Anglo Saks (the binding force of precedent), tetapi karena terikatnya hakim pada putusan yang ada mengenai perkara sejenis itu karena putusan itu meyakinkan hakim yang bersangkutan (the persuasive force of precedent).

Jumat, 18 Oktober 2013

NOTARIS DALAM HUKUM PERDATA NASIONAL



Oleh
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo,S.H.

            Symposium ini diadakan dalam rangkan menyongsong era hukum dalam repelita IV dengan tema “Fungsi Notaris Dalam Pembangunan”.
            Kepada penulis makalah ini dibebani tugas untuk menyajikan makalah berjudul “Notaris Dalam Hukum Perdata Nasional”.
            Lembaga notariat seperti kita ketahui semua telah ada sejak zaman hindia belanda dan sampai sekarang lembaga tersebut tetap ada dan diperlukan adanya.
            Apakah fungsi notaries dalam pembangunan, khususnya yang berhubungan dengan hukum perdata nasional?
            Tugas notaris seperti yang tercantum dalam pasal 1 Reglement op het Notarisambt (S 1860 no.3) adalah sebagai pejabat umum yang semata-mata diberi wewenang untuk membuat akta otentik tentang semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan umum atau yang diminta oleh yang berkepentingan.
            Orang datang kepada notaris untuk dibuatkan akta. Pada umumnya membuat akta dianggap meruapakan perbuatan yang mudah. Kegiatan notaris dianggap merupakan kegiatan routine, sehingga tidak ada bedanya dengan tukang. Pada umumnya tugas notaris ini diremehkan orang, dianggap ringan dan mudah karena “hanya membuat akta otentik saja”. Hal itu dapatlah dikatakan merupakan pendapat umum, bahkan di antara para notaris ada yang berpendapat demikian.
            Dalam kenyataannya tidaklah (seharusnya) demikian. Pekerjaan notaris tidak dapat disamakan dengan tukang yang menjalankan tugas routine. Pekerjaan seorang notaris tidaklah semudah dan sesederhana seperti yang dipikirkan orang.
            Memang pasal 1 tersebut menentukan bahwa tugas notaris adalah membuat akta otentik. Tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut tentang cara-caranya. Mungkin karena itulah orang beranggap bahwa membuat akta itu merupakan kegiatan routine, sehingga dianggap mudah.
             Akta adalah surat resmi yang sengaja dibuat sejak semula untuk pembuktian dikemudian hari, yaitu apabila terjadi sengketa dan kemudian sampai menjadi perkara di pengadilan diajukan barang bukti dari adanya suatu perbuatan hukum atau perjanjian.
             Jadi akta otentik mempunyai funsi sebagi alat bukti terutama di pengadilan, yaitu bukti adanya suatu perbuatan hukum atau perjanjian. Perjanjian sendiri sudah sah apabila telah memenuhi persyaratan mengenai sahnya perjanjian. Tetapi untuk sahnya surat sebagai alat bukti di persyaratannya (lihat putusan MA 13 Maret 1971 no. 589 K/Sip/1970).
            Dengan demikian notaris harus menguasai hukum pembuktian perdata khusunya, hukum acara perdata umumnya.
            Isi akta otentik adalh perbuatan hukum atau perjanjian, sehingga membuat akta otentik pada hakekatnya adalah merumuskan perbuatan hukum atau perjanjian. Ini merupakan kegiatan dalam bidang hukum perdata.
Apakah yang dimaksud dengan hukum perdata nasional? Mengenai pergertian “hukum nasional” sendiri belum ada persesuaian pendapat. Ada yang mengatakan bahwa hukum nasional adalah hukum yang dihasil oleh pembentuk undang-undang nasional, jadi merupakan produk nasional. Sudah tentu yang dimaksudkan disini adalah hukum dalam arti keseluruhan peraturan perundang-undangan. Dewasa ini masih banyak peraturan perundang-undangan yang berasal dari zaman penjajahan, sehingga menurut pendapat ini belumlah dapat dikatakan bahwa sudah mempunyai (sistem) hukum nasional.
Hukum tidak hany berupa kaedah hukum atau perundang-undangan saja. Peraturan perundang-undangan harus dilaksanakan. Dalam melaksanakan undang-undang sering diadakan penemuan hukum, dan hasil penemuan hukum ini adalah hukum juga. Sejak 1945 dalam melaksanakan hukum hakim harus berkeblat dan tidak boleh bertentangan dengan UUD dan Pancasila. Peraturan perundang-undangan baik yang berasal dari zaman hindia belanda maupun yang merupakan legislative nasional dilaksanakan sesuai dengan UUD dan Pancasila. Dengan demikian pelaksanaan dan penemuan hukumnyadijiwai oleh Pancasila. Dengan demikian pula maka hasil penemuan hukum yang merupakan hukum juga berjiwa dan bersifat nasional. Jadi sejak 1945 kita telah mempunyai hukum nasional.
Demikian pula dengan hukum perdata yang berlaku sekarang adalah hukum perdata nasional, meskipun sifatnya dewasa ini masih pluralistis : hukum perdata adat, hukum perdata islam dan hukum perdata tertulis (BW). Meskipun hukum perdata tertulis (BW) itu berasal dari zaman penjajahan, namun pelaksanaannya oleh hakim-hakim bangsa Indonesia sejak 1945 disesuaikan dengan UUD dan Pancasila. Hukum hakim (judge-made-law) yang merupakan hukum juga sejak 1945 sudah berjiwa nasional. Dengan demikian maka hukum perdata tertulis (BW) itu termasuk hukum perdata nasional.
Pada suatu saat pluralisme dalam hukum perdata itu akan hapus karena proses akultulrasi. Pertanyaan yang mungkin timbul ialah apakah materi hukum perdata adat dan hukum perdata islam dapat dibuat akta oleh notaris?
Lalu lintas hukum makin pesat. Hukum berkembang, kepastian hukum sangat didambakan dalam penegakan hukum di samping keadilan dan kemanfaatan (doelmatigheid). Yang ideal ialah bahwa dalam penegakan hukum itu tidak terlalu menitik beratkan kepada salah satu. Terutama di pengadilan diperlukan pembuktian mengenai perbuatan-perbuatan hukum atau perjanjian. Dengan makin banyak orang yang melek huruf maka acara perdata di pengadilan makin banyak berlangsung secara tertulis. Surat atau akta otentik akan lebih menyederhanakan dan memudahkan beracara di pengadilan. Maka tidak ada keberatanya untuk dibuatkan aktanya mengenai materi hukum perdata adat dan islam.
Apakah Tugas Notaris dalam Hukum Perdata ?
Telah diketahui bahwa tugas notaris adalah membuat akta, sedangkan membuat akta pada hakekatnya adalah merumuskan perbuatan hukum atau perjanjian. Karena tugas notaris membuat akta otentik tentang perbuatan hukum atau perjanjian, ia harus menguasai hukum perdata. Tidak berlebih kalau dikatakan bahwa hukum perdata termasuk bidang hukum yang yuridis sukar. Kalau hukum pidana itu pada hakekatnya dapatlah dikatakan subsumptie, maka hukum perdata itu pada hakekatnya adalah penemuan hukum.
Perlu diingat bahwa kaedah hukum atau undang-undang seperti BW itu pada hakekatnya merupakan pedoman belaka tentang perilaku manusia : siapa hutang harus melunasi hutangnya, siapa membeli harus membayar harga barang. Sebagai pedoman undang-undang itu sifatnya pasif, beku, “mati”, merupakan das sollen. Pedoman itu dapatlah dikatakan tidak mempunyai arti kalau tidak terjadi suatu peristiwa. Pedoman itu tidak hidup atau aktif kalau tidak terjadi peristiwa konkrit. “ siapa membeli harus membayar” itu bunyi peraturan sebagai pedoman, tetapi kalau tidak ada seseorang yang membeli sesuatu, maka dapat dikatakan ketentuan itu tidak hidup. Undang-undang itu memerlukan terjadinya peristiwa konkrit. Peristiwa konkrit itu akan mengaktivir undang-undnag : das sein akan mengaktivir das sollen. Peristiwa konkrit yang masih “mentah” masih mengandung unsure-unsur yang tidak relevant bagi hukum, oleh karena itu masih harus disaring, diteliti dan diarahkan agar undang-undang yang bersangkutan dapat diterapkan terhadap peristiwa konkrit tersebut. Disini dilakukan penemuan hukum.
Seorang client datang pada notaris tidak lain untuk membuat aktnya mengenai perjanjian. Si client pada umumnya tidak tahu atau tidak memperdulikan hukum atau peraturan. Si client hanya mengemukakan kepada notaris peristiwanya yang masih “mentah”, baik yang relevant untuk hukum maupun yang tidak. Ia mempercayakan kepada notaris untuk dibuatkan aktanya dan hanya berkepentingan akan akibat hukumnya : ia berkepentingan bahwa ia mendapat akta otentik tentang perbuatan hukum atau perjanjian yang dikemukakan kepada notaris, ia berkepentingan agar kelak tidak dirugikan oleh akta otentik yang dibuat oleh notaris. Apa yang dikemukakan oleh client kepada notaris adalah peristiwa (das sein). Notaris harus memahami peristiwanya dan jeli untuk dapat menemukan hukumnya : hubungan hukum apa yang terdapat dalam peristiwa tersebut, sehingga ia kemudian dapat menerapkan undang-undang atau pasalnya terhadap peristiwa tersebut.
Menemukan  hukum tidak selamanya mudah karena undang-undang itu tidak lengkap. Tidak ada undang-undang yang lengkap-selengkap-lengkapnya. Untuk menemukan hukum notaris harus menguasai metode penemuan hukum dan sumber penemuan hukum serta sistem hukum. Tidak jarang terjadi ada sarjana hukum yang berpetualang di bidang hukum :  mencoba menciptakan konstruksi-konstruksi hukum baru atau menemukan hukum dengan menyimpang dari sitem hukum.
Jadi tidaklah cukup bagi notaris hanya menguasai kaedah-kaedah hukum atau peraturan perundang-undangan saja. Ia harus pula mahir dalam penemuan hukum. Ia harus kreatif dan terampil menemukan hukumnya dari peristiwa yang dihadapkan kepadanya. Tidak ada dua peristiwa yang sama. Peristiwa yang diajukan pada umumnya selalu masih “mentah” dan menjadi tugas notarislah untuk menjaringnya dan kemudian merumuskan menjadi peristiwa hukum. Penemuan hukum ini merupakn pekerjaan yang tidak mudah. Di samping hakim, notaris adalah penemuan hukum atau pencipta hukum. Akta yang dibuatnya berisi hukum yang ditemukan atau diciptakannya dari atau berdasakan peristiwa yang diajukan oleh client padanya. Apa yang dihasilkan dari penemuan hukum oleh notaris adalah penemuan hukum oleh hakim. Sedangkan apa yang dihasilkan oleh ilmuwan sarjana hukum bukanlah hukum, tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum, melainkan ilmu.
Disamping harus menguasai kaedah hukum atau peraturan perundang-undang yang bersangkutan dan penemuan hukum notaris harus mendalami juga sistem hukum. Jangan sampai dalam membuat akta atau melakukan penemuan hukum notaris menyimpang dari sistem hukum. Harus diingat bahwa sistem hukum itu mengenal unsure-unsur, pembagian, mempunyai sifat keajegan (konsistensi) lengkap dan mempunyai konsep-konsep fundamental.
Jadi tidaklah tepat kalau dikatkan bahwa tugas notaris itu mudah dan merupakan routine. Tugas notaris dalam hukum perdata nasional adalah membuat akta dengan merumuskan peristiwa hukum dari peristiwa konkrit yang masih “mentah” dengan jalan penemuan hukum. Penemuan hukum bukanlah merupakan kegiatan routine, karena tidak ada peristiwa yang sama dan untuk penemuan hukum diperlukan kreativitas. Tugas itu harus disertai dengan pengetahuan tehnis, yaitu penguasa tentang peraturan-peraturan, sistem dan penemuan hukum.
Pengetahuan tehnis tersebut diatas harus pula disertai dengan sikap mental yang tinggi.

Yogyakarta, 17 Mei 1984