Oleh
:
Prof.
Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.
Penemuan hukum dalam hubungannya
dengan hukum kesehatan pada dasarnya tidak ada bedanya dengan penemuan hukum dalam
bidang-bidang hukum lain seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata Negara
dan sebagainya. Tidak ada yang khusus atau istimewa dengan penemuan hukum pada
hukum kesehatan bila dibandingkan dengan penemuan hukum pada bidang-bidang
lainnya.
Di dalam hukum acara, baik pidana
maupun perdata dikenal adanya dua tahap, yaitu tahap menemukan peristiwa
konkrit dan tahap menemukan hukum yang meliputi menemukan peristiwa hukumnya
dan menemukan hukumnya yang akan diterapkan terhadap peristiwa hukum tersebut.
Dua tahap itu harus secara sadar dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan satu
sama lain, oleh karena tahap-tahap itu merupakan rangkaian kegiatan yang
berurutan bahkan terjalin satu sama lain.
Peristiwa konkritnya harus
diketemukan lebih dahulu. Untuk menemukan peristiwa konkritnya harus dilakukan
pembuktian. Jadi penemuan hukum konkrit berlangsung dengan pembuktian.
Setelah peristiwa konkritnya
dibuktikan, yang berarti diketemukan atau dikonstatir peristiwa konkritnya,
maka peristiwa konkrit itu harus dikualifikasi atau diterjemahkan menjadi
peristiwa hukum agar hukum atau undang-undang dapat diterapkan. Peristiwa
konkrit tersebut harus diberi kualifikasi hukumnya atau terjemahan dalam bahasa
hukum. Undang-undang atau hukumnya tidak dapat secara langsung diterapkan pada
peristiwa konkrit. Peristiwa konkrit atau das Sein harus diterjemahkan dalam
bahasa hukum terlebih dahulu, sehingga menjadi peristiwa hukum agar
undang-undang atau das Sollen dapat ditetapkan.
Jadi penemuan hukum bertujuan
menemukan peristiwa hukumnya dan hukumnya untuk diterapkan. Mengapa hukumnya
harus diketemukan? Oleh karena hukumnya tidak lengkap atau tidak selalu jelas.
Tidak ada hukum undang-undang yang lengkap selengkap-lengkapnya atau selalu
jelas.
Penemuan hukum itu mempunyai aturan
permainan. Jadi menemukan hukum tidak berarti asal menemukan hukum menurut
kehendak.
Dalam ajaran penemuan hukum dikenal
adanya sumber-sumber hukum. Sumber-sumber hukum itu adalah : peraturan
perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian international
dan doktrin.
Sumber-sumber hukum itu mengenal
hierarkhi atau kewedaan, artinya kalau kita hendak mencari suatu pengertian
hukum misalnya maka haruslah dicari terlebih dahulu dalam peraturan
perundang-undangan. Kalau tidak ada barulah kita cari dalam hukum kebiasaan.
Kalau dalam hukum kebiasaan tidak ada, maka dicarilah dalam yurisprudensi.
Kalau dalam disitupun tidak ada kita cari lebih lanjut dalam perjanjian
international dan selanjutnya. Jangan sampai terjadi: dicari dalam peraturan
perundang-undangan saja belum sudah dicari dalam doktrin.
Kecuali itu dalam menemukan hukum
yang perlu juga diperhatikan ialah bahwa kalau itu tidak diatur dalam peraturan
perundang-undang tidak selalu berarti bahwa hal itu dibolehkan atau dilarang.
Sumber hukum yang disebutkan diatas
adalah sumber formil hukum. Hukum tidak hanya berwujud kaedah saja tetapi dapat
berwujud perilaku. Dalam perilaku manusia terdapat hukum. Oleh karena itu
perilaku manusia merupakan sumber formil hukum. Perilaku manusia merupakan
dapat bersifat pasif, yaitu sikap (iktikad baik) dan bersifat aktif misal
membuat perjanjian.
Etika sosial menurut hemat saya
adalah pedoman atau kaedah yang berisi ukuran untuk menilai tindakan manusia di
dalam masyarakat.
Dari apa yang diuraikan di atas maka
kaedah (norma) dan perkembangannya serta etika sosial merupakan sumber hukum.
Apa hubunganya perkembangan norma
dan etika sosial sebagai sumber penemuan hukum dengan hukum kesehatan? Telah dikemukakan
di atas bahwa pada dasarnya hubungannya sama dengan bidang-bidang hukum
lainnya, tidak ada keistimewaannya, tetapi akan dicoba disini mencari hubungannya.
Masih jelas dalam ingatan kita
peristiwa dr. Setianingrum binti Siswoko dari Pati yang diputus bersalah oleh
Pengadilan Negeri Pati tanggal 2 September 1981, karena kealpaannya menyebabkan
orang lain meninggal dunia dan dijatuhi hukuman percobaan tiga bulan penjara.
Sekalipun dalam tingkat kasasi
Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Pati tersebut (2-6-84),
tetapi putusan Pengadilan Negeri Pati dan Pengadilan Tinggi Semarang yang
menguatkannya sudah terlanjur menimbulkan keresahan dilingkungan para dokter. Lebih-lebih
lagi karena kemudian terjadi beberapa perkara serupa yang diputus oleh
Pengadilan Negeri. Bahkan akhir-akhir ini ada beberapa berita surat kabar yang
menggelisahkan tentang dokter yang menyuntik anak yang menimbulkan akibat yang
tidak diharapkan.
Timbulnya keresahan dikalangan para
dokter dapat dipahami, karena pada umumnya tidak banyak dokter yang memahami
hukum. Jangankan memahami, tertarik atau perhatian pada hukum saja tidak. Bahwa
hukum itu bertugas mengaur dan melindungi kepentingan manusia barangkali
dipahami. Bahwa dokter menghendaki kepastian hukum akan perlindungan
kepentingannya itu sadar betul. Akan tetapi sebaliknya seperti orang kebanyakan pada umumnya, karena
kurang pengetahuannya tentang hukum, tidak mau terlalu diikat
peraturan-peraturan hukum. Jadi sebagian besar para dokter menghadapi suatu dilema:
disatu sisi ingin perlindungan dan kepastian hukum, tetapi disisi lain tidak
mau terlalu diikat oleh peraturan-peraturan.
Kalau memahami hukum kiranya tidak
perlu melihat sebagai suatu dilema. Perlu disadari bahwa hukum itu bertujuan
mengatur tatanan masyarakat dan bertugas melindungi kepentingan manusia dan
masyarakat serta menjamin kepastian hukum dan mengusahakan keseimbangan tatanan
di dalam masyarakat. Melindungi kepentingan manusia dan masyarakat berarti
menuntut dan mengharapkan pengorbanan dari anggota masyarakat.
Dalam hubungan dokter-pasien
kepentingan kedua belah pihak dilindungi oleh hukum.
Hubungan dokter-pasien dikenal inspanningsverbintenis, yang berarti
bahwa prestasi dokter tidak dilihat pada hasilnya (resultaatnya), tetapi yang
dilihat adalah upaya atau usahanya untuk menyembuhkan itu sungguh-sungguh
tidak. Kalau sudah berupaya keras untuk menyembuhkan, tetapi akhirnya tidak
berhasil, maka hal itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter. Sebaliknya
ada hak pada pasien yang perlu diperhatikan oleh dokter juga, yaitu right of selfdetermination, right of healthcare dan right of information.
Dari segi hukum dokter dan pasien
masing-masing mempunyai kedudukan yang sama, kedudukan yang sama dalam
memperolarh hak atas perlindungan.
Kesimpulan
Kaedah itu bersifat dinamis, selalu
berkembang. Jadi norma yang berkembang merupakan sumber hukum. Demikian pula
etika sosial, yang merupakan kaedah juga, merupakan sumber hukum.
Dalam hubungannya dengan hukum
kesehatan norma yang berkembang dan etika sosialpun merupakan sumber hukum.
Yogyakarta,
5 April 1995
*Makalah disajikan
dalam Seminar Nasional Hukum Kesehatan dan Malpraktek Di Indonesia pada 5 April
1995 di Fakultas Hukum Muhammadiyah Yogyakarta.