oleh
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.
Sumber hukum yang dikenal selama ini adalah kebiasaan, undang-undang,
yurisprudensi, hukum perjanjian internasional dan doktrin.
Dalam ajaran penemuan hukum undang-undang diprioritaskan dari
sumber-sumber hukum lainnya. Undang-undang didahulukan dari sumber hukum
lainnya. Kalau hendak mencari arti istilah atau pengertian hukum, maka
dicari terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan, kalau
ternyata tidak ada, maka barulah dicari dalam yurisprudensi, kalau dalam
yurisprudensi tidak terdapat, maka barulah dicari dalam hukum kebiasaan
dan begitu seterusnya. Hal ini dapat difahami, karena di samping
undang-undang itu bersifat umum yang berarti berlaku bagi setiap orang,
bentuknya tertulis, yang lebih menjamin kepastian hukum. Oleh karena itu
dapat difahami pula munculnya aliran legisme dalam penemuan hukum yang
menganggap bahwa undang-undang adalah satusatunya sumber hukum. Aliran
ini kemudian mengalami perkembangan.
Di dalam praktek ternyata prosedur atau uruturutan dalam ajaran
penemuan hukum tersebut sering tidak diperhatikan. Orang misalnya tidak
lari kepada peraturan perundang-undangan terlebih dahuludalam menemukan
hukumnya, tetapi langsung mencarinya dalam doktrin, sehingga penemuan
hukumnya tidak tepat.
Jadi undang-undang mempunyai kedudukan yang penting dalam penemuan hukum.
Sebaliknya
perlu diketahui, bahwa di samping undang-undang itu umum dan abstrak
sifatnya ("Barangsiapa .. . "), sifatnya juga pasif. Pasif berarti
menunggu terjadinya suatu peristiwa konkrit untuk dapat dilaksanakan.
Undang-undang aktif, baru hidup, baru dapat dilaksanakan apabila terjadi
peristiwa konkrit. mencuri dihukum". Ketentuan undang-undang ini baru
dapat dilaksanakan apabila seseorang mengambil barang orang lain dengan
maksud memilikinya dengan melawan hukum. Baru dengan terjadinya
peristiwa konkrit itu undang-undang menjadi aktif, hidup, mempunyai
kekuasaan dan dapat dilaksanakan. Jadi undang-undang memerlukan
"aktivator" berupa peristiwa konkrit, agar undang-undang itu dapat
diterapkan pada peristiwanya, agar dapat dilaksanakan. Tanpa terjadinya
suatu peristiwa konkrit pada hakekatnya undang-undang "ist nur ein
Plan", sekedar merupakan pedoman yang berisi peringatan yang tidak atau
belum dapat dilaksanakan atau diterapkan terhadap peristiwanya.
Undang-undang
itu sendiri, karena sifatnya yang statis tidak dapat setiap saat
berkembang, berubah atau diubah sesuai atau mengikuti perkembangan
masyarakat, tetapi harus melalui prosedur yang waktu lama.
Karena
undang-undang itu statis, maka pelaksanaan dan perkembangannya terjadi
melalui peradilan dengan putusan pengadilan atau yurisprudensi. Dengan
penemuan hukum maka hukum yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan dilaksanakan dan dikembangkan oleh peradilan dengan
yurisprudensi sesuai atau mengikuti perkembangan masyarakat.
Walaupun sekarang ini banyak produk legislatif dari zaman Hindia
Belanda, yang bersifat kolonial itu (tidak semua yang bersifat kolonial
itu selalu tidak baik!), masih berlaku, namun pelaksanaan dan
pengembangan terjadi melalui peradilan nasional Indonesia. Hal ini tidak
berarti bahwa dewasa ini tidak perlu ada perubahan, penggantian,
penghapusan atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan, baik
peraturan perundang-undangan kolonial maupun nasional. Dewasa ini tidak
sedikit peraturan perundang-undangan baik yang berasal dari zaman
kolonial maupun yang nasional yang perlu diganti. Hanya kalau sekiranya
diinginkan adanya penggantian atau penghapusan peraturan
perundang-undangan, terutama yang kolonial, maka harus ada motivasi yang
kuat akan urgensi kebutuhan akan adanya penggantian atau penghapusan
itu, baik untuk mengatasi masalah yang selama ini timbul dan tidak
tertampung oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
(respresif) maupun untuk mencegah atau menangkal kemudian terjadi
masalah-masalah baru(preventif). Jadi tidak sekedar ingin karena yang
ada bersifat kolonial, sudah tua, tidak sesuai lagi atau karena ingin
sesuatu baru. Kecuali itu harus diperhatikan tetap adanya kontinuitas
antara peraturan perundang-undangan yang lama dengan yang baru dan
penyusunannya harus koordinatif dengan instansi-¬instansi yang terkait
serta menyeluruh dan tidak bersifat tambal sulam.
Jadi
yurisprudensi (judge-made-law) mempunyai peranan penting dalam
pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan pengembangan hukum.
Didalam sistem peradilan kita asasnya ialah bahwa hakim tidak terikat
pada putusan hakim yang ada mengenai perkara yang sejenis. Hakim tidak
ada keharusan untuk memutus suatu perkara sama dengan putusan hakim yang
pernah dijatuhkan mengenai perkara yang sejenis. Jadi pada asasnya
hakim bebas untuk memutus setiap perkara menurut keyakinannya tanpa
harus berkeblat kepada putusan yang ada mengenai perkara yang sejenis.
Di satu pihak hakim memang bebas, hal mana memenuhi salah satu asas
peradilan, tetapi di lain pihak timbul pertanyaan apakah asas ini
menjamin kepastian hukum. Kalau setiap tahkim memutus menurut
keyakinannya masing-masing tanpa mengingat adanya putusan mengenai
perkara sejenis yang ada, sehingga memungkinkan dijatuhkannya dua
perkara atau lebih yang sejenis yang diputus berbeda, apakah hal ini
menunjukan adanya kepastian hukum? Di dalam perkembangannya sekarang ini
kita lihat bahwa banyak putusan yang berkeblat kepada putusan
pengadilan atasannya (PT, MA). Hal ini bukan berarti bahwa hakim
Indonesia sekarang ini terikat pada putusan hakim yang ada mengenai
perkara yang sejenis, hal ini tidak berarti bahwa sistem peradilan kita
sekarang menganut sistem peradilan Anglo Saks (the binding force of
precedent), tetapi karena terikatnya hakim pada putusan yang ada
mengenai perkara sejenis itu karena putusan itu meyakinkan hakim yang
bersangkutan (the persuasive force of precedent).