Jumat, 10 Februari 2012

UPAYA MENINGKATKAN SUPREMASI HUKUM

Oleh

Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.

Akhir-akhir ini banyak dibicarakan tentang supremasi hukum, setelah gerakan reformasi ini berjalan kurang lebih setahun lamanya. Didalam demo-demo atau didalam surat kabar banyak dilontarkan tuntutan tentang tidak adanya penegakan hukum, bahwa hukum kita terpuruk, oleh karena itu hukum harus ditegakan dan supremasi hukum harus dijalankan. Makin merajalelanya korupsi, banyaknya pelanggaran-pelanggaran hukum yang tidak ditindaklanjuti, makin banyaknya perkara yang tidak serius penanganannya atau tidak tuntas penyelesaiannya, banyaknya kerusuhan-kerusuhan yang menimbulkan keresahan menyebabkan orang mulai mempertanyakan tentang penegakan hukum atau supremasi hukum.
Pada awal gerakan reformasi yang lebih diutamakan atau diperjuangkan adalah reformasi politik dan reformasi ekonomi. Reformasi politik dan reformasi ekonomi lebih diutamakan, karena keadaan politik dan ekonomi di negara kita memang sudah sangat memprihatinkan, sedangkan tentang reformasi hukum, kalau tidak boleh dikatakan sama sekali tidak tersentuh, maka nyaris tidak terdengar (jangankan tentang supremasi hukum), walaupun pada waktu itu telah banyak terjadi pembunuhan, perkosaan, penculikan, dan pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya. Tidak berarti bahwa reformasi politik dan ekonomi tidak penting, akan tetapi reformasi hukum tidak kurang pentingnya, sehingga seharusnya diperjuangkan bersama sejak awal gerakan reformasi.
Sungguh merupakan suatu ironi, diwaktu rakyat membutuhkan ketenangan, ketenteraman dan ketertiban di dalam masyarakat, penegakan hukum dan supremasi hukum tidak atau belum masuk dalam “program” awal gerakan reformasi. Hukum dan ahli hukumnya pada umumnya dianarkikan, karena hukum “hanyalah” dikenal atau dianggap sebagai sarana belaka. Sudah sejak Presiden Sukarno, dengan ungkapannya yang terkenal bahwa “met juristen kun je geen revolusi maken”, maka para ahli hukum dianggap tidak dapat diajak kerja sama. Sekalipun hukum itu “hanya” sarana, namun merupakan sarana untuk mengatur atau menciptakan ketertiban tatanan dalam masyarakat.
Seperti yang telah diketahui umum, maka fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia atau masyarakat, karena di mana-mana bahaya selalu mengancamnya sejak dulu sampai sekarang, baik secara makro maupun secara mikro. Manusia sangat berkepentingan bahwa kepentingan-kepentingannya terlindungi terhadap bahaya-bahaya yang mengancamnya. Kepentingan manusia atau masyarakat itu akan terlindungi apabila tatanan di dalam masyarakat itu tertib, tenteram dan aman. Setidak-tidaknya manusia akan merasa aman dan terlindungi apabila masyarakatnya tertib. Ketertiban masyarakat atau rasa aman warganya berarti kepentingannya terlindungi terhadap bahaya yang menagncamnya. Semua manusia ingin kepentingannya terlindungi. Kiranya tidak ada manusia yang tidak mau dilindungi kepentingannya, bahkan ada yang untuk melindungi kepentingannya, untuk menuntut atau melaksanakan haknya, sampai hati melakukan kekerasan atau justru melanggar hak orang lain: menyekap debitur yang tidak mau melunasi hutangnya.
Dalam melindungi kepentingan manusia atau amsyarakat, hukum menciptakan pedoman-pedoman, kaedah-kaedah atau peraturan-peraturan hukum yang harus dipatuhi atau ditaati dan harus dapat pula dipaksakan pelaksanaannya. Kalau ada peraturan hukum dilanggar dan peraturan atau sanksinya tidak dapat dipaksakan terhadap pelakunya maka tidak ada artinya peraturan itu. Jadi hukum dalam hal ini memerlukan kekuasaan untuk dapat memaksakan pelaksanaan peraturan hukum itu. Bahkan hukum itu sendiri adalah kekuasaan. Hukum tanpa kekuasaan tidak realitis, sedangkan kekuasaan yang tidak didasarkan hukum adalah kebengisan atau kelaliman (baca juga Mochtar Kusumaatmadja: 5). Dengan demikian hukum itu mempunyai kekuatan mengikat, mengikat untuk ditaati, karena berfungsi melindungi kepentingan manusia dan bertujuan menciptakan ketertiban tatanan di dalam masyarakat. Sebaliknya perlu mendapat perhatian bahwa hukum tidak tahan terhadap kekerasan, kekuasaan (kekuatan) ada di atas hukum (contra vim non valet jus). Kekuasaan itu sendiri cenderung korup. Kita lihat hal itu semuanya selama ini.
Ada sementara kelompok yang (sudah tentu) ingin kepentingan terlindungi, akan tetapi tidak mau terikat pada hukum, tidak mau diatur oleh hukum; memang pada dasarnya manusia ingin bebas tidak terikat, akan tetapi karena kemudian terpuruk, kepentingannya tidak terlindungi, lalu menyalahkan para ahli hukum karena tidak mau mengatur. Memang kelihatannya merupakan suatu dilema, disatu pihak hukum mengatur untuk melindungi kepentingan manusia, menghendaki stabilitas dan kepastian hukum, tetapi dipihak lain manusia ingin bebas, ingin berspekulasi mengambil jalan pintas, tidak terikat pada rambu-rambu (hukum). Sesungguhnya kesadaran hukum, kesadaran akan ada hukum itu dan bahwa hukum harus dipatuhi dan tidak dilanggar, pada dasarnya ada pada setiap orang dan tidak hanya ada pada ahli hukum saja. Pada diri setiap orang ada penilaian baik dan buruk.
Supremasi hukum dikenal juga dengan “the rule of law” yang diartikan sebagai “the governance not by man but by law”, pemerintahan oleh hukum, bukan oleh manusia; bukan hukumnya yang memerintah, karena hukum itu hanyalah kaedah atau pedoman dan sekaligus sarana atau alat, tetapi harus ada manusianya yang menjalankan adan melaksanakannya secara konsisten berdasarkan hukum, dan tidak sekehendak atau sewenang-wenang.
Hukum itu diciptakan atau direkayasa oleh manusia, terutama hukum tertulis. Setelah hukum itu tercipta maka manusia terikat pada hukum, harus tunduk pada hukum. Hal ini tidak lain adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri. Hukum harus mempunyai kekuasaan tertinggi demi kepentingan manusia itu sendiri, tetapi sebaliknya manusia tidak boleh diperbudak oleh hukum. “Governance not by man but by law” berarti bahwa tindakan-tindakan resmi (pemerintah) pada tingkat teratas sekalipun harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum.
Sehubungan dengan rule of law supremasi hukum, Indonesia sudah lama disoroti oleh dunia internasional. Dalam bulan Nopember 1962 Commission of Jurists mengirim Thiagalingan, seorang ahli hukum, sebagai peninjau ke Indonesia yang membuat kesimpulan, bahwa “the Rule of law was absent in Indonesia terpimpim bahwa” its true meaning as also its true name is AUTOCRACY. Kemudian dilaporkan oleh Edward St john, bahwa hakim di Indonesia tidak mempunyai kebebasan dan berat bagi hakim untuk melawan tekanan dari pemerintah (Bulletin no. 27).
Dalam Simposium yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia dalam tahun 1966 telah dikonstatasi pula bahwa dalam waktu yang lampau banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan dari asas-asa dan norma-norma yang berlaku dalam suatu negara hukum (rule of law). Penyimpangan-penyimpangan yang sangat menyolok adalah misalnya:
1. dalam bidang ketatanegaraan:
a. pejabat yang harus bertanggung jawab kepada pejabat yang lain pengangkatannya tergantung dari pejabat tadi (Penpres no. 2 th 1959 tentang MPRS).
b. Mahkamah Agung yang melakukan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, ketuanya diangkat sebagai menteri negara ynag menyebabkan pengintegrasian Mahakmah Agung dalam tubuh Pemerintah, disusul pula oleh Undang-undang Pokok Peradilan (UU no. 19 th 1964) yang dalam penjelasan pasal 19 diametral mengatakan bahwa “Peradilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan pembuat undang-undang.
c. Penpres-penpres yang pembentukannya atau isinya melanggar asas dan norma-norma hukum.
2. dalam bidang hukum pidana:
a. pemidanan perbuatan-perbuatan tanpa dasar hukum
b. melanggar asa tidak boleh berlaku surutnya peraturan-peraturan pidana
c. melanggar asas ne bis in idem
d. peraturan-peraturan pidana yang diterapkan pada pebuatan-perbuatan yang menurut maksudnya tidak tercakup dalam peraturan itu (Penpres tentang tindak pidana subversi)
3. pelanggaran hak asasi:
a. Penpres no. 3 tahun 1962 tentang Kewenangan melakukan penawanan/ pengusiran, yang mirip dengan exor-bitante rechten dari Gubernur Jenderal Hidnia Belanda.
b. Penpres no. 4 tahun 1963 tentang Pembreidelan Pers yang dinyatakan inkonstitusional pada waktu dicabut dan perintah-perintah untuk tidak mengadakan pemberitahuan dan komentar terhadap peristiwa-peristiwa dalam rangka kebangkitan Generasi 66.
c. Penpres tentang larangan mogok

Apakah keadaan Indonesia yang kita cintai sekarang ini sudah separah itu? Dalam era reformasi dimana jarak tidak merupakan masalah seperti sekarang ini tidak perlu kita melihat dengan mata kepala atau mengalami sendiri untuk percaya dan menyadarinya atau mengakui keadaan Indonesia yang sangat memprihatinkan dewasa ini. Belum hilang dari ingatan kita kasus Marsinah, Kedung Ombo, Obee, surat sakti dan sebagainya.
Melihat keadaan negara Indonesia dewasa ini yang makin parah, maka sudha saatnya kita mulai merenungkan tentang penegakan hukum atau supremasi hukum, sebelum keadaannya lebih buruk lagi, walaupun keadaan sekarang dapat dikatakan sudah parah. Boleh dikatakan bahwa pada setiap kesempatan kata supremasi hukum itu muncul. Apa yang dimaksudkan dengan supremasi hukum itu? Ari kata-katanya kiranya mudah dapat difahami, supremasi berarti kekuasaan tertinggi, jadi supremasi hukum berarti kekuasaan tertinggi ada pada hukum: hukum mempunyai kekuasaan tertinggi. Akan tetapi makna atau pengertian kata itu memerlukan perenungan lebih lanjut.
Act of Athens tertanggal 18 Juni 1955, sebagai kristalisasi gagasan dalam Kongres Internasional yang pertama yang diadakan oleh International Commission of Jurists di Athena melukiskan the rule of law sebagai “springing from the rifhts of the individual, developed through history in the age-old struggle of mankind for freedom; which rights include freedom of speech, press, worship, assembly and association and the right to free elections to the end that laws are enacted by the duly elected reprensentatives of the people and afford equal protection to all.” Disini rule of law dihubungkan dengan kebebasan individu: kebebasan untuk berbicara, kebebasan pers, kebebasan menganut agamanya masing-masing, kebebasan berserikat dan sebagainya (Intern’l Commidssion of Jurists 1965).
Dalam Kongresnya pada tahun 1959 International Commission of Jurists menyadari bahwa “the Rule of law ia a dynamic concept for the expansion and fulfilment of which jurists are primarily and which should be employed not only to safeguard and advance the civil and political rights of the individual in a free society, but also to establish social, economic, educational and cultural conditions under which his legitimate aspirations and dignity may be realized”. (Declaration of Delhi, Intern’l Commission of Jurists 1962). Jadi rule of law merupakan konsep yang menajdi tanggung jawab ahli hukum untuk dilaksanakan dan yang harus dikerjakan tidak hanya untuk melindungi dan mengembangkan hak-hak perdata dan politik perorangan dalam masyarakat bebas, tetapi juga untuk menyelenggarakan dan membina kondisi sosila, ekonomi, pendidikan dan kultural yang dapat mewujudkan aspirasi rakyat.
Mengenai “rule of law” Selznick berpendapat: “By the rule of law we mean to denote a setting in which official action even at the highest levels of authority, is governed by a body of accepted general rules. The essential element in legality, or the rule of law, is the restraint of power by rational principles of civic order. Where this ideal exists, and is effectively embodied in social institutions no power ia immune for criticism, not complete free to follow its own beat, however well intentioned it may be”. (dalam Sudikno Mertokusumo: 1999:21). Seperti yang juga telah dikemukakan di atas dengan rule of law dimaksudkan bahwa hukumlah yang berkuasa. Pengekangan kekuasaan oleh hukum merupakan unsur esensial dan tiada kekuasaan yang kebal terhadap kecaman.
Pengertian Anglo Saks rule of law ini di Eropa Kontinental disebut dengan negara hukum (Kant, Stahl). Menurut Dicey rule of law mengandung tiga unsur, yaitu: 1. hak asasi manusia dijamin lewat undang-undang, 2. persamaan kedudukan dimuka hukum (equality before the law), 3. supremasi aturan-aturan hukum dan tidak ada kesewenang-wenangan tanpa aturan yang jelas. Menurut Kant dan Stahl negara hukum mengandung empat unsur, yaitu: 1. adanya pengakuan hak asasi manusia, 2. adanya pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut, 3. pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van betuur) dan 4. adanya Peradilan tata Usaha Negara (Masyhur Effendi: 1997:32).
Dalam Simposium Universitas Indonesia pada tahun 1966, seperti yang telah disebutkan di atas, untuk membahas “Indonesia Negara Hukum” disimpulkan bahwa ciri-ciri negara hukum adalah seperti berikut:
1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, kultural dan pendidikan.
2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaa/kekuatan lain apapun.
3. Legalitas, dalam arti hukum dalam semua bentuknya.
Dapatlah disimpulkan dari apa yang telah dikemukakan di atas; bahwa supremasi hukum ialah bahwa hukumlah yang berkuasa dalam arti bahwa pemerintahan dijalankan berdasarkan hukum secara konsisten tanpa pandang bulu dan bahwa tidak ada seorangpun kebal terhadap hukum.
Unsur-unsur esensial dari supremasi hukum adalah sebagai berikut.
Kebebasan peradilan. Hakim bebas untuk mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya dan bebas pula dari campur tangan dari pihak ekstra yudisiil, ia harus objektif tidak memihak. Pengadilan merupakan tempat pelarian terakhir (laatste toevlucht) bagi setiap justiciabele atau pencari keadilan, sehingga tidka perlu lari ke DPR untuk minta keadilan.
Hak asasi manusia dijamin oleh undang-undang.
Setiap orang diperlakukan sama dimuka hukum.
Setiap orang dilindungi terhadap tindakan pemerintah yang sewenang-wenang.
Sekalipun dikatakan bahwa sekarang tidak ada supremasi hukum di Indonesia, namun harus diakui, sekalipun mungkin belum memuaskan, bahwa sudah ada usaha dari Pemerintah untuk menciptakan supremasi hukum.
Salah satu usaha Pemerintah untuk meningkatkan supremasi hukum adalah diundangkannya UU no.28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Diundangkannya Undang-Undang tersebut membuktikan bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme telah merajalela. Didalam pertimbangannya dikemukakan bahwa “praktek korupsi, kolusi dan nepotisme tidak hanya dilakukan antar Penyelenggara Negara, melainkan juga antara Penyelenggara negara dan pihak lain. Didalam penjelasannya dikemukakan bahwa “dalam waktu lebih 30 tahun, penyelengga Negara tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal, karena adanya pemusatan kekuasaan wewenang dan tanggung jawab pada Presiden/ Mendataris MPR”.
Kemudian pada tanggal 31 Agustus 1999 diundangkan UU no.35 tahun 1999 tentang Perubahan UU no. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuatan Kehakiman. Dirasakan bahwa dibawah UU no. 14 tahun 1970 kekuasaan kehakiman tidak bebas, karena ada di bawah dua atap, yaitu Departemen kehakiman dan Mahkamah Agung, karena dalam pasal 11 ditentukan bahwa “badan-badan yang melakukan peradilan organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan, sedangkan Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Diharapkan bahwa dengan diletakkannya badan-badan peradilan tersebut di bawah Makamah Agung kekuasaan kehakiman menjadi bebas, tetapi dilupakan bahwa larangan campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman tidak ada sanksinya (pas. 4 ayat (3)). Jadi masih diragukan apakah dengan diletakkanya badan peradilan itu di bawah Mahkamah Agung terjamin kebebasannya.
Pada tanggal 8 Oktober 1999 dikeluarkan Perpu no. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan hak Asasi Manusia yang mengatur tentang pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Kemudian dibentuklah Komisi Ombudsman Nasional yang merupakan lembaga independen yang fungsinya pada dasarnya melindungi warga masyarakat terhadap tindakan Pemerintah khususnya lembaga administratif yang sewenang – wenang atau tidak layak. Tujuannya adalah untuk memberi kesempatan pada masyarakat secara individual mengajukan pengaduan terhadap praktek-praktek lembaga administratif pemerintah.
Perlu mendapat perhatian bahwa supremasi hukum itu melibatkan banyak pihak atau unsur. Supremasi hukum tidak hanya melibatkan peradilan saja yang terdiri dari hakim, jaksa, polisi, pengacara tetapi juga para pihak. Bahkan melibatkan seluruh kehidupan manusia. Mengingat bahwa kita sudah terpuruk selama 32 tahun maka tidak begitu mudah untuk menciptakan atau meningkatkan supremasi hukum.
Di bidang perundang-undangan dirasakan tidak adanya koordinasi dalam pembuatannya. Sampai sekarang belum ada undang-undang yang mengatur tentang tata urutan peraturan perundang-undangan secara tegas dan rinci serta tentang muatan masing-masing peraturan perundang-undangan. Presiden berwenang membuat keppres yang isinya sama dengan muatan undang-undang, sehingga kekuasaannya menjadi tidak terbatas. Sebagai landasan pembuatan peraturan perundang-undangan perlu ada landasan hukumnya yang jelas dan ketat dari undang-undang, peraturan pemerintah sampat pada putusan menter. Pembentukan undang – undang melibatkan DPR , maka anggota DPR harus berwawasan nasional dan tidak mementingkan partainya.
Meningkatkan atau menciptakan supremasi hukum tidak berupa sekedar membuat peraturan-peraturan saja.
Telah diketengahkan dimuka bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan. Kalau dikatakan bahwa hukum memerlukan kekuasaan berarti bahwa harus ada kekuasaan manusiannya yang ada dibelakangnya tahu yang melaksanakanya. Sekalipun dikatakan bahwa supremasi hukum adalah “ governance not by man but by law” namun masih tergantung pada kekuasaan atau manusianya bagaimana menjalankan hukum.
Kalau manusianya atau kekuasaan atau penguasa yang menjalankan hukum itu beritikad baik, berintegritas tinggi, berwawasan nasional, maka tepatlah istilahnya supremasi hukum dalam arti pemerintahan oleh hukum. Tetapi kalau tidak maka supremasi hukum berarti kekuasaan tinggi pada penguasa tidak pada hukum, sehingga penguasa dapat berbuat sekehendaknya atau bertindak sewenang-wenang, otoriter.
Oleh karena itu meskipun (peraturan) hukumnya baik dalam arti melindungi kepentingan warga, namun kepastian hukumnya tidak terjamin, karena pelaksanaannya sewenang-wenang.
Mengingat apa yang telah dikemukakan di atas dalam meningkatkan atau menciptakan supremasi hukum, yang terpenting adalah meningkatkan integritas Sumber Daya Manusianya. Sehubungan dengan itu perlu dicurahkan perhatian sepenuhnya kepada pendidikan, terutama pendidikan moral dan rekrutmen tenaga kerja yang perlu lebih diperketat persyaratannya. Hal itu tidak mudah dan akan makan waktu lama. Dari kata-kata Selznick “…..where this ideal exist….í” dapat disimpulkan bahwa rule of law atau supremasi hukum merupakan ideal atau cita-cita yang harus dicapai atau diupayakan.
Walaupun banyak kendala untuk menciptakan supremasi hukum kita harus tetap berusaha merealisasi supremasi hukum, menegakkan hukum dan keadilan, apapun yang akan terjadi: fiat justitia et pereat mundus!