Oleh
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo.SH
Hukum acara, khususnya hukum pembuktian dan penemuan hukum, relatif belum lama mendapat perhatian dari para sarjana hukum. Selama ini hukum acara boleh dikatakan setengahnya diabaikan atau diremehkan oleh para sarjana hukum. Hal ini terbukti dari perhatian mereka antara lain pada pernbuktian dan penemuan hukum, kurang atau skeptis, serta dari kenyataan bahwa pada umumnya mereka yang menulis tentang hukum hanya tertarik pada masalah tentang hukum materiil saja: tentang hukum perdata materiil, hukum pidana materiil dan sebagainya. Buku-buku tentang pembuktian dan penemuan hukum boleh dikatakan masih jarang dibandingkan dengan buku-buku tentang hukum perdata materiil. Pandangan tersebut diatas, bahwa para sapna hukum lebih tertarik pada hukum materiil, dianut tidak lepas dari pengaruh sistem pendidikan hukum diwaktu yang lampau, karena setiap pendidikan hukum diwaktu yang lampau, terutama di Belanda yang berpengaruh di lndonesia, dipusatkan atau mengacu dan harus msngacu pada hukum materiil dan dengan sendirinya harus menitik beratkan pada problematik hukurn materiil, pada hukum sebagai sumber masalah. kearah itulah calon sarjana hukum diwaktu yang lampau dididik. Oleh karena itu perhatian para sarjana hukum lebih banyak ditujukan pada hukum materiil.
Di samping itu tidak asing lagi ungkapan terkenal diwaktu yang lampau bahwa hakim adalah "la bouche de la to” seagai pengaruh aliran legisme, yang berarti bahwa hakim hanya sekedar corong dariundang-undang saja' Pandangan pada waktu itu tidak mengakui fungsi hakim dan tanggung jawabnya daram rnenentukan ataumenetapkan apa yang terjadi. Tugas hakim hanyalah mekhanis, seikedar menerapkan bunyi undang-undang dan tidak melakukan penemuan hukum. Dengan demikian hukum acaranya, terutama hukum pembuktian dan penemuan hukum tidak beberapa mendapat perhatian, sehingga perhatiannya dicurahkan pada hukum materiil perdata.
Kemahiran hukum, pemecahan masalah-masalah hukum(legal problem solving) penemuan hukum dan sebagainya, belum lama ini mulai diajarkan namun orientasinya sebagian besar para sarjana hukum masih diarahkan kepada hukum materiil. Tulisan-tulisan masih banyak yang berhubungan dengan hukum perdata materiil.
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan diatas maka dirasa perlu bagi para sarjana hukum untuk murai memusatkan perhatiannya juga kepada masarah-masalah hukum acara, penemuan hukum dan pembuktian. Hukum perdata materiil tidak rnungkin dilepaskan sama sekali dari hukum acara perdata. Hukum perdata materiil harus dilaksanakan dan ditegakkan. Makin maju manusia' makin berkembang kepentingannya makin banyak pula terjadi sengketa' untuk itu dibutuhkan hukum acara perdata.
Dalam titeratur hukum acara perdata modern hukum acara beracara (actienrecht),hukum perdata meliputi hukum pembuktian(bewijsrecht), hukum penyitaan (beslagrecht), penemuan hukum(rechtsvinding) dan hukum eksekusi (executiere) Bukan berarti bahwa masing-masing bagian itu merupakan cabang ilmu yang berdiri sendiri-sendiri. Tidak dimaksudkan dalam tulisan singkat ini untuk menguraikan tentang keseluruhan hukum acara perdata.
Berikut ini akan diuraikan tentang asas-asas umum hukum acara perdata terutama untuk menggugah minat para sarjana hukum untuk mendalami hukum acara khususnya hukum acara perdata. Kalau akhir-akhir ini banyak dibicarakan tentang "general principle of good government'. Di dalam hukum acara perdata dikenal pula asas-asas umum semacam itu, maka dibawah ini akan diuraikan Tentang asas-asas umum peradilan perdata yang baik(general principles of good judicature)
Terlebih dahulu akan dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan peradilan(judicature) Yang dimaksudkan dengan peradilan adalah pelaksanaan hukum dalam hal ada tuntutan hak yang konkret, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah eigenrichting. "Pelaksanaan hukum dalam hal ada tuntutan hak yang konkret" berarti bahwa tuntutan hak ini nyata-nyata ada dan diajukan ke pengadilan, suatu badan yang diadakan oleh negara, yang bebas dari pengaruh yudisiil maupun extra-yudisiil. pelaksanaan hukum itu terjadi dengan suatu putusan, yang bersifat mengikat para pihak, definif dan tuntas. Tuntutan hak yang dimaksudkan adalah tindakan untuk memperoleh perlindungan hukum tanpa bertindak menghakimi sendiri (eigenrichting).
Beracara perdata bersifat sukarela yang berarti bahwa apakah seseorang akan mengajukan tuntutan hak atau tidak itu bersifat sukarela' Terserah pada €seorang yang dirugikan oleh orang lain misalnya apakah ia akan mengajukan tuntutan hak (menggugat) atau tidak' Pada dasarnya setiap orang dapat mengajukan gugatan atau tuntutan hak apabila ia mempunyai kepentingan hukum, yang diungkapkan dengan adagium point d’interet, point d’action . Jadi sepenuhnya terserah kepada yang mempunyai kepentingan hukum untuk menggugat atau tidak. Dengan demikian hakim bersikap menunggu atau pasif sampai ada perkara diajukan atau dibagikan (oleh Ketua) kepadanya. Tidak ada penggugat (gugatan) maka tidak ada hakim (wo kein Klager ist, ist kein Richter). Jadi hakim tidak pergi ke pelosok-pelosok menawarkan diri untuk memeriksa dan mengadili perkara kalau-kalau ada perkara. Adagium lain, yang
Berhubungan dengan asas”hakimpasif”,tersebut ialah nemo judexsine actore ,yangberartitiadahakimmakatiadatuntutan,yang diartikan juga: tiada tuntutan maka tiada hakim. Jadi hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan atau gugatan, tidak bertindok secara ex officio (iudex ne procedat ex officio) tahun 1970 singkatnya berbunyi: tugas pokok badan-badan peradilanmenerima setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Terbuka sidang umum menunjukkan bahwa pemeriksaan dimuka sidang berlangsung transparan, tidak ada yang ditutup-tutupi, tidak ada yang dirahasiakan, disembunyikan dari umum Asas ini tercantum dalam pasal 17 ayat 1 UU no 14 tahun 1970 yang berbunyi: sidang pemeriksaan pengadilan adatah terbuka untuk umum, kecuali apabila Undang-undang menentukan lain. Sering diartikan asas terbukanya sidang ini sebagai social controle, kontrol masyarakat dalam jalannya sidang. Social controle tidak berarti bahwa masyarakat boleh menegur atau mengadakan koreksi terhadap hakim di persidangan. Kehadiran masyarakat (pengunjung) Di persidangan sudah berarti kontrol terhadap jalannya persidangan.
Sekalipun asasnya adalah terbukanya sidang untuk umum,akan tetapi sebagaimana asas itu memberi peluang akan pengecualian-pengecualian atau penyimpangan-penyimpangan, maka disinipun dimungkinkan adanya sidang tertutup untuk umum. lni bukan berarti bahwa pemeriksaannya berlangsung tidak transparan, akan tetapi ini justru dilakukan untuk melindungi kepentingan para pihak. Pemeriksaan pengadilan dengan pintu tertutup misalnya dalam perceraian atau apabila menyangkut anak-anak.
Karena pencari keadilan atau justiciabele mengajukan tuntutan ke pengadilan itu bertujuan untuk memperoleh perlindungan hukum,maka hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih apapun, bahkan dengan dalih hukumnya tidak ada sekalipun. Hakim wajib memeriksa dan mengadili perkara (pas. 14 ayat 1 UU 14 tahun 1970). Tujuan beracara di pengadilan adalah sampai pada suatu putusan. Hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang ada didalam masyarakat (pas.27 UU no.14 th 1970). Disini hakim berkesempatan untuk melakukan penemuan hukum, walaupun penemuan hukum itu tidak hanya dilakukan kalau hukumnya tidakada. $ebagai salah satu asas ini ialah banyaknya undang-undang sekarang ini yang memuat ketentuan bahwa peraksanaan beberapa pasar di dalamnya dikeluarkannya peraturan pemerintah (peraturan organik), sehingga banyak hakim yang tidak berani memutus perkara yang peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksanaannya belum diterbitkan. Hakim menunggu sampai dikeluarkan peraturan pemerintah yang bersangkutan, tetapi tidak kunjung datang. Disini diperlukan Penguasaan sistem hukum dan pengetahuan tentang penemuan hukum serta keberanian dari hakim untuk mengadakan trobosan-trobosan hukum. Mengadakan trobosan hukurn tidak berarti asal berani tanpa mengingat keseluruhan sistem hukum. Sistem hokum harus didahulukan. Cara berfikir mendasar pada system huku semata-mata disebut system oriented thinking.kalau sistemnya tidak member jawaban yang memuaskan barulah ada kebebasab bagi hakim untuk menyimpang dari system dengan memperhatikan permasalahan. Ini yang disebut dengan problem oriented thinking. Terobosan hokum jangan sampai mengarah pada contra legem( melanggar undang-undang).
Hokum itu sudah ada, hanya masih perlu digali kepermukaan. Bahwa menurut paul scholten hukum itu tidak hanya terdapat dalam peraturan-peraturan atau hukum tidak tertulis saja, tetapi terdapa tpada perilaku manusia.
Kalau mengingat keadaan hukum kita dewasa ini kita wajib prihatin. Betapa tidak. Kita semua tahu bahwa menurt UU no.14 tahun 1970 hakim itu ada dibawah dua atap yaitu dibawah Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman (yang berubah nama menjadi departemen kehakiman dan perundang-undangan kemudian menjadi departemen kehakiman dan Ham). Dengan
dikeluarkannya UU no.35 tahun 1999 hakim tidak lagi dibawah dua atap, tetapi dibawah satu atap, yaitu Departemen Kehakiman dan Ham. ltu baru akan berlangsung lima tahun sesudah diundangkannya UU no.35 tahun 1999. Kemudian dikeluarkan UU no.14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang antara lain menentukan bahwa hakim Pengadilan Pajak secara oganisatoris, administratif dan finansiil ada dibawah Departemen Keuangan. Apakah ini tidak bertentangan dengan UU no.35 tahun 1999 (contra legem) yang menempatkan hakim dari 4 lingkungan peradilan di bawah Mahkarnah Agung? Belum lagi didalam UU no.14 tahun 2002 itu dengan menyebut pasal 24 UUD dalam konsideransnya, menentukan bahwa Pengadilan Pajak itu ada langsung dibawah Mahkamah Agung, yang berarti bahwa sekarang ini ada 5 lingkungan peradilan, sedangkan menurut pasal 24 ayat 2 UUD (Amandemen ketiga) dibawah Mahkamah Agung hanya ada 4 lingkungan peradilan. lni sudah merusak sistem hukum lndonesia.
Dalam memeriksa perkara hakim harus bersikap tut wuri, mengikuti dari belakang.Tutwuri tidak berarti bahwa hakim pasif memimpin sidang. Hakim harus aktif memimpin sidang dengan membantu para pencari keadidlan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.(pas.5 ayat 2) Tut wuri berarti bahwa hakim terikat pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak (secundum allegata iudicare). Hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari yang dituntut (pas. 178 ayat 3 HIR, ne ultra petita). Hakim perdata tidak memberi keputusan kepada apa yang tidak dituntut (ultra petita non cognoscitur). Dari pasal 178 ayat 3 HIR dapat disimpulkan bahwa kepentingan para pihak merupakan salah satu surnber hukum disamping undang-undang, kebias aan,yurisprudensi, doktrin dan perjanjian internasional.
Berhubung dengan pasal 178 ayat 3 HIR ini sering dipertanyakan apakah hakim masih terikat pada pasal 178 ayat 3 HIR tersebut kalau ia menghadapi petitum primair dan petitum subsidiair yang pada umumnya berbunyi "mohon putusan seadil-adilnya" Disini hakim dituntut kearifannya.
Pada dasamya asas hukum dasar daram acara perdata adalah kesamaan: suum cuiqe tibuerc, yang berarti setiap orang mendapat haknya atau to each his own. Lebih populer lagi ungkapan equatity before the law. Lebih ranjut ini berarti bahwa setiap orang harus diperlakukan sama. Di dalam hukum acara perdata asas ini lebih dikenal dengan audie et alteram partem (pas.125, 126 HIR). Kedua belah pihak dipersidangan harus diperlakukan sama dalam arti didengar bersama. Misalnya kalau hanya penggugat saja yang datang, sedangkan tergugat tidak hadir, maka hakim tidak boreh mendengar penggugat tanpa hadirnya tergugat.
Dalam hal pembuktian dikenal asas bahwa barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya atau untuk menyangkal hak orang lain maka dialah yang diharuskan membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (actori incumbit probatio): pasal 163 HlR, 1865 KUHPer. Asas ini berhubungan dengan asas lain yang berbunyi: membuktikan suatu negatie itu tidak mungkin atau setidak-tidaknya sukar (negativa nen sunt probanda).Permasalahan pokok dalam hal pembuktian ialah pembagian beban pembuktian. Dalam hal ini tidak ada peraturan atau pedomannya. Hanya ada yurisprudensi Mahkamah Agung yang mengatakan bahwa pihak yang paling sedikit dirugikanlah yang harus membuktikan.
Kecuali sebagai pertanggungan jawab hakim kepada masyarakat dan para pihak serta kepada pengadilan yang lebih tinggi, juga untuk menunjukkan transparansi dan objektivitas pemeriksaan maka putusan harus disertai alasan-alasan atau pertimbangan- pertimbangan (konsiderans) mengapa hakim sampai pada putusannya itu (pas.184 ayat 1, 319 HIR). Jadi putusannya itu tidak bersifat langsung, sehingga dapat diketahui pertimbangan- pertimbangan apa yang menyebabkan hakim sampai pada putusannya itu. Kalau suatu putusan tidak disertai alasan-alasan, rnaka hal itu merupakan alasan untuk dibatalkan ditingkat kasasi (MA 22 Juli 1970). Hal lini bukan berarti bahwa hakim merupakan "la bouche de la societe".
Telah dikemukakan bahwa tujuan berperkara pada dasarnya adalah sampai pgda putusan. Tidak akan suatu proses pemeriksaan perkara itu berhenti di jalan, tidak dilanjutkan sampai pada putusan, apapun bunyi putusan itu: ditolak, dikabulkan atau tidak diterima. Kalau tidak terbuktipun putusannya akan dijatuhkan juga. Suatu putuan itu harus objektif, definitif dan tuntas. Objektif disini berarti tidak memihak kepada salah satu pihak. Bahwasanya salah satu pihak diputus menang bukan berarti memihak, tetapi memang itulah yang terbukti. .Definitif berarti bahwa putusan itu sudah pasti. lsinya tidak menimbulkan pertanyaan atau keraguan. Timbul pertanyaan dengan adanya putusan dari Pengadidlan Niaga yang memungkinkan adanya putusan yang memuat "dissenting opinion", yaitu pendapat hakim yang berbeda dengan hakim anggota yang lain yang dimuat pula dalam putusan. Perlu difahami bahwa lembaga dissenting opinion berasal dari sistem hukum Anglosaks, sehingga perlu dipertanyakan apakah sudah sesuai dengan sistem hukum kita bahwa putusan itu harus definitif. Ruftusan harus tuntas, selesai, sehingga tidak menimbulkan persoalan atau perkara baru atau tidak dapat dieksekusi.
Yogyakarta , 28 September 2002
Daftar acuan
Drion, H.-, 1966 , Bewijzen in het recht, dalam Themis Rechtsgeleerd Magazijn 5/6
Scholten, Paul-, 1934, Algemeen Deel, Tjeenk Willink, Zwolle
Stein, P.A.-, 1973, Compendium van het burgerlijk procesrecht,Kluwer, Deventer
Wiarda, G.J.-, 1988, 3 typen van rechtsvinding, Tjeenk Willink,Zwolle