Rabu, 06 Agustus 2014

PERKEMBANGAN NORMA, ETIKA SOSIAL SEBAGAI SUMBER PENEMUAN HUKUM DALAM HUBUNGAN DENGAN HUKUM KESEHATAN



Oleh :
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.

            Penemuan hukum dalam hubungannya dengan hukum kesehatan pada dasarnya tidak ada bedanya dengan penemuan hukum dalam bidang-bidang hukum lain seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata Negara dan sebagainya. Tidak ada yang khusus atau istimewa dengan penemuan hukum pada hukum kesehatan bila dibandingkan dengan penemuan hukum pada bidang-bidang lainnya.
            Di dalam hukum acara, baik pidana maupun perdata dikenal adanya dua tahap, yaitu tahap menemukan peristiwa konkrit dan tahap menemukan hukum yang meliputi menemukan peristiwa hukumnya dan menemukan hukumnya yang akan diterapkan terhadap peristiwa hukum tersebut. Dua tahap itu harus secara sadar dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain, oleh karena tahap-tahap itu merupakan rangkaian kegiatan yang berurutan bahkan terjalin satu sama lain.
            Peristiwa konkritnya harus diketemukan lebih dahulu. Untuk menemukan peristiwa konkritnya harus dilakukan pembuktian. Jadi penemuan hukum konkrit berlangsung dengan pembuktian.
            Setelah peristiwa konkritnya dibuktikan, yang berarti diketemukan atau dikonstatir peristiwa konkritnya, maka peristiwa konkrit itu harus dikualifikasi atau diterjemahkan menjadi peristiwa hukum agar hukum atau undang-undang dapat diterapkan. Peristiwa konkrit tersebut harus diberi kualifikasi hukumnya atau terjemahan dalam bahasa hukum. Undang-undang atau hukumnya tidak dapat secara langsung diterapkan pada peristiwa konkrit. Peristiwa konkrit atau das Sein harus diterjemahkan dalam bahasa hukum terlebih dahulu, sehingga menjadi peristiwa hukum agar undang-undang atau das Sollen dapat ditetapkan.
            Jadi penemuan hukum bertujuan menemukan peristiwa hukumnya dan hukumnya untuk diterapkan. Mengapa hukumnya harus diketemukan? Oleh karena hukumnya tidak lengkap atau tidak selalu jelas. Tidak ada hukum undang-undang yang lengkap selengkap-lengkapnya atau selalu jelas.
            Penemuan hukum itu mempunyai aturan permainan. Jadi menemukan hukum tidak berarti asal menemukan hukum menurut kehendak.
            Dalam ajaran penemuan hukum dikenal adanya sumber-sumber hukum. Sumber-sumber hukum itu adalah : peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian international dan doktrin.
            Sumber-sumber hukum itu mengenal hierarkhi atau kewedaan, artinya kalau kita hendak mencari suatu pengertian hukum misalnya maka haruslah dicari terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan. Kalau tidak ada barulah kita cari dalam hukum kebiasaan. Kalau dalam hukum kebiasaan tidak ada, maka dicarilah dalam yurisprudensi. Kalau dalam disitupun tidak ada kita cari lebih lanjut dalam perjanjian international dan selanjutnya. Jangan sampai terjadi: dicari dalam peraturan perundang-undangan saja belum sudah dicari dalam doktrin.
            Kecuali itu dalam menemukan hukum yang perlu juga diperhatikan ialah bahwa kalau itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undang tidak selalu berarti bahwa hal itu dibolehkan atau dilarang.
            Sumber hukum yang disebutkan diatas adalah sumber formil hukum. Hukum tidak hanya berwujud kaedah saja tetapi dapat berwujud perilaku. Dalam perilaku manusia terdapat hukum. Oleh karena itu perilaku manusia merupakan sumber formil hukum. Perilaku manusia merupakan dapat bersifat pasif, yaitu sikap (iktikad baik) dan bersifat aktif misal membuat perjanjian.
            Etika sosial menurut hemat saya adalah pedoman atau kaedah yang berisi ukuran untuk menilai tindakan manusia di dalam masyarakat.
            Dari apa yang diuraikan di atas maka kaedah (norma) dan perkembangannya serta etika sosial merupakan sumber hukum.
            Apa hubunganya perkembangan norma dan etika sosial sebagai sumber penemuan hukum dengan hukum kesehatan? Telah dikemukakan di atas bahwa pada dasarnya hubungannya sama dengan bidang-bidang hukum lainnya, tidak ada keistimewaannya, tetapi akan dicoba disini mencari hubungannya.
            Masih jelas dalam ingatan kita peristiwa dr. Setianingrum binti Siswoko dari Pati yang diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Pati tanggal 2 September 1981, karena kealpaannya menyebabkan orang lain meninggal dunia dan dijatuhi hukuman percobaan tiga bulan penjara.
            Sekalipun dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Pati tersebut (2-6-84), tetapi putusan Pengadilan Negeri Pati dan Pengadilan Tinggi Semarang yang menguatkannya sudah terlanjur menimbulkan keresahan dilingkungan para dokter. Lebih-lebih lagi karena kemudian terjadi beberapa perkara serupa yang diputus oleh Pengadilan Negeri. Bahkan akhir-akhir ini ada beberapa berita surat kabar yang menggelisahkan tentang dokter yang menyuntik anak yang menimbulkan akibat yang tidak diharapkan.
            Timbulnya keresahan dikalangan para dokter dapat dipahami, karena pada umumnya tidak banyak dokter yang memahami hukum. Jangankan memahami, tertarik atau perhatian pada hukum saja tidak. Bahwa hukum itu bertugas mengaur dan melindungi kepentingan manusia barangkali dipahami. Bahwa dokter menghendaki kepastian hukum akan perlindungan kepentingannya itu sadar betul. Akan tetapi sebaliknya  seperti orang kebanyakan pada umumnya, karena kurang pengetahuannya tentang hukum, tidak mau terlalu diikat peraturan-peraturan hukum. Jadi sebagian besar para dokter menghadapi suatu dilema: disatu sisi ingin perlindungan dan kepastian hukum, tetapi disisi lain tidak mau terlalu diikat oleh peraturan-peraturan.
            Kalau memahami hukum kiranya tidak perlu melihat sebagai suatu dilema. Perlu disadari bahwa hukum itu bertujuan mengatur tatanan masyarakat dan bertugas melindungi kepentingan manusia dan masyarakat serta menjamin kepastian hukum dan mengusahakan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Melindungi kepentingan manusia dan masyarakat berarti menuntut dan mengharapkan pengorbanan dari anggota masyarakat.
            Dalam hubungan dokter-pasien kepentingan kedua belah pihak dilindungi oleh hukum.
            Hubungan dokter-pasien dikenal inspanningsverbintenis, yang berarti bahwa prestasi dokter tidak dilihat pada hasilnya (resultaatnya), tetapi yang dilihat adalah upaya atau usahanya untuk menyembuhkan itu sungguh-sungguh tidak. Kalau sudah berupaya keras untuk menyembuhkan, tetapi akhirnya tidak berhasil, maka hal itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter. Sebaliknya ada hak pada pasien yang perlu diperhatikan oleh dokter juga, yaitu right of selfdetermination, right of healthcare dan right of information.
            Dari segi hukum dokter dan pasien masing-masing mempunyai kedudukan yang sama, kedudukan yang sama dalam memperolarh hak atas perlindungan.
            Kesimpulan
            Kaedah itu bersifat dinamis, selalu berkembang. Jadi norma yang berkembang merupakan sumber hukum. Demikian pula etika sosial, yang merupakan kaedah juga, merupakan sumber hukum.
            Dalam hubungannya dengan hukum kesehatan norma yang berkembang dan etika sosialpun merupakan sumber hukum.
Yogyakarta, 5 April 1995
*Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Hukum Kesehatan dan Malpraktek Di Indonesia pada 5 April 1995 di Fakultas Hukum Muhammadiyah Yogyakarta.