Jumat, 18 Oktober 2013

NOTARIS DALAM HUKUM PERDATA NASIONAL



Oleh
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo,S.H.

            Symposium ini diadakan dalam rangkan menyongsong era hukum dalam repelita IV dengan tema “Fungsi Notaris Dalam Pembangunan”.
            Kepada penulis makalah ini dibebani tugas untuk menyajikan makalah berjudul “Notaris Dalam Hukum Perdata Nasional”.
            Lembaga notariat seperti kita ketahui semua telah ada sejak zaman hindia belanda dan sampai sekarang lembaga tersebut tetap ada dan diperlukan adanya.
            Apakah fungsi notaries dalam pembangunan, khususnya yang berhubungan dengan hukum perdata nasional?
            Tugas notaris seperti yang tercantum dalam pasal 1 Reglement op het Notarisambt (S 1860 no.3) adalah sebagai pejabat umum yang semata-mata diberi wewenang untuk membuat akta otentik tentang semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan umum atau yang diminta oleh yang berkepentingan.
            Orang datang kepada notaris untuk dibuatkan akta. Pada umumnya membuat akta dianggap meruapakan perbuatan yang mudah. Kegiatan notaris dianggap merupakan kegiatan routine, sehingga tidak ada bedanya dengan tukang. Pada umumnya tugas notaris ini diremehkan orang, dianggap ringan dan mudah karena “hanya membuat akta otentik saja”. Hal itu dapatlah dikatakan merupakan pendapat umum, bahkan di antara para notaris ada yang berpendapat demikian.
            Dalam kenyataannya tidaklah (seharusnya) demikian. Pekerjaan notaris tidak dapat disamakan dengan tukang yang menjalankan tugas routine. Pekerjaan seorang notaris tidaklah semudah dan sesederhana seperti yang dipikirkan orang.
            Memang pasal 1 tersebut menentukan bahwa tugas notaris adalah membuat akta otentik. Tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut tentang cara-caranya. Mungkin karena itulah orang beranggap bahwa membuat akta itu merupakan kegiatan routine, sehingga dianggap mudah.
             Akta adalah surat resmi yang sengaja dibuat sejak semula untuk pembuktian dikemudian hari, yaitu apabila terjadi sengketa dan kemudian sampai menjadi perkara di pengadilan diajukan barang bukti dari adanya suatu perbuatan hukum atau perjanjian.
             Jadi akta otentik mempunyai funsi sebagi alat bukti terutama di pengadilan, yaitu bukti adanya suatu perbuatan hukum atau perjanjian. Perjanjian sendiri sudah sah apabila telah memenuhi persyaratan mengenai sahnya perjanjian. Tetapi untuk sahnya surat sebagai alat bukti di persyaratannya (lihat putusan MA 13 Maret 1971 no. 589 K/Sip/1970).
            Dengan demikian notaris harus menguasai hukum pembuktian perdata khusunya, hukum acara perdata umumnya.
            Isi akta otentik adalh perbuatan hukum atau perjanjian, sehingga membuat akta otentik pada hakekatnya adalah merumuskan perbuatan hukum atau perjanjian. Ini merupakan kegiatan dalam bidang hukum perdata.
Apakah yang dimaksud dengan hukum perdata nasional? Mengenai pergertian “hukum nasional” sendiri belum ada persesuaian pendapat. Ada yang mengatakan bahwa hukum nasional adalah hukum yang dihasil oleh pembentuk undang-undang nasional, jadi merupakan produk nasional. Sudah tentu yang dimaksudkan disini adalah hukum dalam arti keseluruhan peraturan perundang-undangan. Dewasa ini masih banyak peraturan perundang-undangan yang berasal dari zaman penjajahan, sehingga menurut pendapat ini belumlah dapat dikatakan bahwa sudah mempunyai (sistem) hukum nasional.
Hukum tidak hany berupa kaedah hukum atau perundang-undangan saja. Peraturan perundang-undangan harus dilaksanakan. Dalam melaksanakan undang-undang sering diadakan penemuan hukum, dan hasil penemuan hukum ini adalah hukum juga. Sejak 1945 dalam melaksanakan hukum hakim harus berkeblat dan tidak boleh bertentangan dengan UUD dan Pancasila. Peraturan perundang-undangan baik yang berasal dari zaman hindia belanda maupun yang merupakan legislative nasional dilaksanakan sesuai dengan UUD dan Pancasila. Dengan demikian pelaksanaan dan penemuan hukumnyadijiwai oleh Pancasila. Dengan demikian pula maka hasil penemuan hukum yang merupakan hukum juga berjiwa dan bersifat nasional. Jadi sejak 1945 kita telah mempunyai hukum nasional.
Demikian pula dengan hukum perdata yang berlaku sekarang adalah hukum perdata nasional, meskipun sifatnya dewasa ini masih pluralistis : hukum perdata adat, hukum perdata islam dan hukum perdata tertulis (BW). Meskipun hukum perdata tertulis (BW) itu berasal dari zaman penjajahan, namun pelaksanaannya oleh hakim-hakim bangsa Indonesia sejak 1945 disesuaikan dengan UUD dan Pancasila. Hukum hakim (judge-made-law) yang merupakan hukum juga sejak 1945 sudah berjiwa nasional. Dengan demikian maka hukum perdata tertulis (BW) itu termasuk hukum perdata nasional.
Pada suatu saat pluralisme dalam hukum perdata itu akan hapus karena proses akultulrasi. Pertanyaan yang mungkin timbul ialah apakah materi hukum perdata adat dan hukum perdata islam dapat dibuat akta oleh notaris?
Lalu lintas hukum makin pesat. Hukum berkembang, kepastian hukum sangat didambakan dalam penegakan hukum di samping keadilan dan kemanfaatan (doelmatigheid). Yang ideal ialah bahwa dalam penegakan hukum itu tidak terlalu menitik beratkan kepada salah satu. Terutama di pengadilan diperlukan pembuktian mengenai perbuatan-perbuatan hukum atau perjanjian. Dengan makin banyak orang yang melek huruf maka acara perdata di pengadilan makin banyak berlangsung secara tertulis. Surat atau akta otentik akan lebih menyederhanakan dan memudahkan beracara di pengadilan. Maka tidak ada keberatanya untuk dibuatkan aktanya mengenai materi hukum perdata adat dan islam.
Apakah Tugas Notaris dalam Hukum Perdata ?
Telah diketahui bahwa tugas notaris adalah membuat akta, sedangkan membuat akta pada hakekatnya adalah merumuskan perbuatan hukum atau perjanjian. Karena tugas notaris membuat akta otentik tentang perbuatan hukum atau perjanjian, ia harus menguasai hukum perdata. Tidak berlebih kalau dikatakan bahwa hukum perdata termasuk bidang hukum yang yuridis sukar. Kalau hukum pidana itu pada hakekatnya dapatlah dikatakan subsumptie, maka hukum perdata itu pada hakekatnya adalah penemuan hukum.
Perlu diingat bahwa kaedah hukum atau undang-undang seperti BW itu pada hakekatnya merupakan pedoman belaka tentang perilaku manusia : siapa hutang harus melunasi hutangnya, siapa membeli harus membayar harga barang. Sebagai pedoman undang-undang itu sifatnya pasif, beku, “mati”, merupakan das sollen. Pedoman itu dapatlah dikatakan tidak mempunyai arti kalau tidak terjadi suatu peristiwa. Pedoman itu tidak hidup atau aktif kalau tidak terjadi peristiwa konkrit. “ siapa membeli harus membayar” itu bunyi peraturan sebagai pedoman, tetapi kalau tidak ada seseorang yang membeli sesuatu, maka dapat dikatakan ketentuan itu tidak hidup. Undang-undang itu memerlukan terjadinya peristiwa konkrit. Peristiwa konkrit itu akan mengaktivir undang-undnag : das sein akan mengaktivir das sollen. Peristiwa konkrit yang masih “mentah” masih mengandung unsure-unsur yang tidak relevant bagi hukum, oleh karena itu masih harus disaring, diteliti dan diarahkan agar undang-undang yang bersangkutan dapat diterapkan terhadap peristiwa konkrit tersebut. Disini dilakukan penemuan hukum.
Seorang client datang pada notaris tidak lain untuk membuat aktnya mengenai perjanjian. Si client pada umumnya tidak tahu atau tidak memperdulikan hukum atau peraturan. Si client hanya mengemukakan kepada notaris peristiwanya yang masih “mentah”, baik yang relevant untuk hukum maupun yang tidak. Ia mempercayakan kepada notaris untuk dibuatkan aktanya dan hanya berkepentingan akan akibat hukumnya : ia berkepentingan bahwa ia mendapat akta otentik tentang perbuatan hukum atau perjanjian yang dikemukakan kepada notaris, ia berkepentingan agar kelak tidak dirugikan oleh akta otentik yang dibuat oleh notaris. Apa yang dikemukakan oleh client kepada notaris adalah peristiwa (das sein). Notaris harus memahami peristiwanya dan jeli untuk dapat menemukan hukumnya : hubungan hukum apa yang terdapat dalam peristiwa tersebut, sehingga ia kemudian dapat menerapkan undang-undang atau pasalnya terhadap peristiwa tersebut.
Menemukan  hukum tidak selamanya mudah karena undang-undang itu tidak lengkap. Tidak ada undang-undang yang lengkap-selengkap-lengkapnya. Untuk menemukan hukum notaris harus menguasai metode penemuan hukum dan sumber penemuan hukum serta sistem hukum. Tidak jarang terjadi ada sarjana hukum yang berpetualang di bidang hukum :  mencoba menciptakan konstruksi-konstruksi hukum baru atau menemukan hukum dengan menyimpang dari sitem hukum.
Jadi tidaklah cukup bagi notaris hanya menguasai kaedah-kaedah hukum atau peraturan perundang-undangan saja. Ia harus pula mahir dalam penemuan hukum. Ia harus kreatif dan terampil menemukan hukumnya dari peristiwa yang dihadapkan kepadanya. Tidak ada dua peristiwa yang sama. Peristiwa yang diajukan pada umumnya selalu masih “mentah” dan menjadi tugas notarislah untuk menjaringnya dan kemudian merumuskan menjadi peristiwa hukum. Penemuan hukum ini merupakn pekerjaan yang tidak mudah. Di samping hakim, notaris adalah penemuan hukum atau pencipta hukum. Akta yang dibuatnya berisi hukum yang ditemukan atau diciptakannya dari atau berdasakan peristiwa yang diajukan oleh client padanya. Apa yang dihasilkan dari penemuan hukum oleh notaris adalah penemuan hukum oleh hakim. Sedangkan apa yang dihasilkan oleh ilmuwan sarjana hukum bukanlah hukum, tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum, melainkan ilmu.
Disamping harus menguasai kaedah hukum atau peraturan perundang-undang yang bersangkutan dan penemuan hukum notaris harus mendalami juga sistem hukum. Jangan sampai dalam membuat akta atau melakukan penemuan hukum notaris menyimpang dari sistem hukum. Harus diingat bahwa sistem hukum itu mengenal unsure-unsur, pembagian, mempunyai sifat keajegan (konsistensi) lengkap dan mempunyai konsep-konsep fundamental.
Jadi tidaklah tepat kalau dikatkan bahwa tugas notaris itu mudah dan merupakan routine. Tugas notaris dalam hukum perdata nasional adalah membuat akta dengan merumuskan peristiwa hukum dari peristiwa konkrit yang masih “mentah” dengan jalan penemuan hukum. Penemuan hukum bukanlah merupakan kegiatan routine, karena tidak ada peristiwa yang sama dan untuk penemuan hukum diperlukan kreativitas. Tugas itu harus disertai dengan pengetahuan tehnis, yaitu penguasa tentang peraturan-peraturan, sistem dan penemuan hukum.
Pengetahuan tehnis tersebut diatas harus pula disertai dengan sikap mental yang tinggi.

Yogyakarta, 17 Mei 1984