Sabtu, 07 Mei 2011

BEBERAPA ALTERNATIF UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG TRANSAKSI BURSA

oleh

Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.

Penataran kali ini adalah mengenai aspek hukum di pasar modal. Ketentuan di bidang pasar modal ini merupakan satu tatanan di bidang hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan ekonomi. Pasar modal ini bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan Pertumbuhan dan stabilitas ekonomi nasional ke arah peningkanan kesejahteraan rakyat.

Seperti diketahui hukum merupakan kepentingan manusia baik secara mikro maupun yang bertugas untuk menciptakan keseimbangan masyarakat dan kepastian hukum. Kepentingan manusia selalu diancam oleh bahaya yang terbesar yang mengancam kepentingan manusia datangnya justru dari manusia itu sendiri. Keseimbangan tatanan di dalam masyarakat akan tercipta apabila kepentingan manusia terpenuhi dan terlindungi. Pencurian, pembunuhan, sengketa akan menganggu keseimbangan tatanan di dalam masyarakat yang selalu diusahakan untuk dilenyapkan agar keseimbangan tatanan di dalam masyarakat pulih kembali. Ditangkapnya dan diadilinya pencuri, diselesaikannya sengketa akan memulihkan keseimbangan tatanan did lam masyarakat, masyarakat akan merasa lega. Sekalipun sudah ada perlindungan kepentingan dalam bentuk kaedah hukum (hukum, undang-undang), namun manusia masih memerlukan kepastian bahwa kepentingan akan terpenuhi dan hak dan kewajiban dapat silaksanakan dengan tentram. Hukum yang bersifat formal mengutamakan kepastian hukum. Oleh karena itu, untuk melindungi kepentingan manusia, perilaku manusia itu harus diatur dan perlu diatur pula tentang hak dan kewajiban secaramerata dan ada kepastian bahwa hak dan kewajiban itu dapat dilaksanakan disertai dengan sanksi yang memadai terhadap pelanggarnya.

Sering dikatakan bahwa hukum itu ketinggalan dari peristiwa. Yang dimaksud ialah bahwa hukumnya(undang-undang) tidak lagi dapat dijangkau peristiwa yang semula diatur, karena peristiwanya kemudian berkembang dengan pesat. Hal ini wajar dan tidak mengherankan, karena hukum dalam hal ini undang-undang, yang dimaksudkan untuk mengatur peristiwa tertentu itu, sifatnya statis, tidak berubah, tidak berkembang, kecuali diadakan amandemen oleh pembentuk undang-undang atau dicabut oleh undang-undang. Bahkan hukum (undang-undang) itu pada hakekatnya tidak mempunyai kekuatan atau kekuasaan seandainya tidak ada peristiwa, diatur, terjadi. Baru kalau peristiwa yang menjadi jangkauannya( diatur) terjadi, hukum ( undang-undang) itu menjadi hidup, aktif dan diterapkan oleh hakim terhadap suatu peristiwa. Hukum yang dituangkan dalam undang-undang itu dikembangkan oleh hakim dengan putusan. Hukumnya (undang-undangnya) bersifat statis sementara peristiwanya yang diatur berkembang pesat. Memang dapat diusahakan agar supaya hukumnya lebih dapat mengikuti peristiwanya, yaitu dengan merumuskan undang-undang secara umum dan tidak terlalu kasuistis. Kecenderungannya sekarang ialah bahwa dalam pembentukan undang-undang mengarah kepada”die flucht in die generalklausel”, yang artinya bahwa dalam merumusakan undang-undang lebih mengutamakan rumusan-rumusan yang umum. Hal ini lebih memberi kebebasan kepada hakim dalam member keadilan. Untuk itu pembentuk undang-undang harus melihat jauh kedepan guna mengantisipasi terjadinya peristiwa-peristiwa yang mungkin akan terjadi dikemudian hari. Di damping itu harus dikuasai pengetahuan tentang ekonomi dan teknologi. Jadi dengan merumuskan undang-undang secara umum dan dengan melihat jauh kedepan hukum akan dapat lebih lama mengikuti perkembangna masyarakat dan dapat lebih lama menjangkau peristiwa atau masyarakat yang berkembang. Akan tetapi apada suatu saat(cepat atau lambat) hukum atau undang-undang yang dirumuskan secara umum( tidak kasuistis) itu akhirnya akan ketinggalan juga karena keseluruhan kegiatan kehidupan manusia itu sedemikian banyak, baik jenis maupun jumlahnya sehingga tidak mungkin ditampung dalam satu undang-undang yang itu-itu juga. Hal ini dapat dilihat dari pekembangan pasar modal yang dituangkan dalam pelbagai peraturan berturut-turut, dari antara lain UU 15 tahun 1992, keputusan presiden no. 2 th 1976, keputusan presiden no 53 th 1990 sampai pada UU 8 tahun 1995 tentang pasar modal.

Kepentingan ekonomi diambah dengan globalisasi ekonomi berkembang sangat pesat. Kecuali bahwa seperti yang dikemukakan di atas, hukum sebagai sanana ketinggalan dari kepentingan ekonomi maka terdapat "kesenjangan”(gap) antara pandangan ekonomi dengan pandangan hukum. pandangan ekonomi menitik beratkan kepada spekulasi dan keprcayaan sebagaimana terjadi antara para pengusalra sedangkan pandangan hukum menitik beratkan pada formalitas, security (kepastian hukum, pembuktian) dan itikad baik. Peraturan yang terlalu ketat akan membatasi ruang gerak sebaliknya kalau terlalu longgar akan mengurangi kepastian hukum.

Bursa adalah tempat penawaran atau pertemuan para pedagang (penjual dan pembeli), yang didirikan untuk kegiatan perdagangan uang dan efek (lihat Kep.Pres. no.52 tahun 1976 tentang Pasar Modal jo. UU no.15 tahun 1951 tentang Penetapan UU Darurat tentang Bursa, yang kemudian dijadikan UU no.15 Tahun 1952). Undang-undang no.8 tahun 1995 tentang Pasar Modal sendiri membedakan antara Bursa Efek dan Pasar Modal: Bursa efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan abu sarana untuk mernpertemukan penawaran jual dan beli efek pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek di antara mereka & sedangkan pasar modal adalah kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.

Yang dimaksud dengan transaksi bursa di sini ialah pertemuan penawaran jual beli efek antara bursa efek dengan pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek, atau kontrak yang dibuat oleh anggota bursa efek sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh bursa efek mengenai jual beli efek. Pembicaraan tentang transaksi bursa ini difokuskan pada perjajian jual beli. sengketa dalam suatu perjanjian pada umurnnya berkaitan dengan dirugikannya salah satu pihak oleh lawannya. sebelum membicarakan tentang perjarjian jual beli di pasar modal kiranya perlu dikemulskan terlebih dahulu tentang teori- teori dasar hukum perjanjian.

Tidak banyak yang mengetahui bahwa teori dasar mengenai perjanjian itu merupakan reaksi terhadap putusan pengadilan mengenai jual beli saham. Dalam tahun 1856 terjadi perkara di pengadilan di Keulen antara komisioner Weiler dengan firma Oppenheim. Komisioner weiler menerima tilgram dari firma Oppenheim yang memerintahkan Weiler untuk menjual sejumlah saham. Kemudian ternyala bahwa tilgramnya cacat dan bahwa oppenheim menghendaki membeli saham serta bahwa petugas pengirim tilgram khilaf (salah menangkap). Weiler yang bertindak sebagai komisioner harus menyerahkan saham-saham yang telah dijualnya dan untuk itu harus dibelinya kembali, sementara kursnya naik. Dengan demikian Weiler menderita kerugian dan oleh karena itu menggugat oppenheim untuk membayar ganti rugi. Pengadilan mengabulkan gugatan weiler. sekalipun purusan itu sendiri dirasakan memuaskan dari segi kepatutan dan rasa keadilan, tetapi menimbulkan reaksi dari para ahli hukum (Rutten, 1954: 82).

Kasus di pengadilan di Keulen tersebut menimbulkan pertanyaan sebagai berikut. Bagaimanakah penyelesaiannya kalau antara kehendak dan pernyataannya atau keterangannya itu tidak sesuai terjadi konflik? Apakah perjanjian terjadi? Kalau terjadi apa dasarnya? Kalau tidak apa akibatuya? Pertanyaan-pertanyaan mengenai dasar mengikatnya para pihak dalam perjanjian tersebut menimbulkan tiga teori yang tidak asing lagi, yang mencoba memberi jawabannya yaitu teori kehendak teori pernyataan atau Keterangan dan teori kepercayaan. Sekedar sebaga refreshing, menurut teori kehendak pada dasarnya kalau terjadi pertentangan antara kehendak dan pernyataannya, maka kehendaklah yang menentukan. Kehendaklah ymg menyebabkan terjadinya perjanjian. Menurut teori pernyataan, maka pernyataanlah yang menyebabkan terjadinya perjanjian, sedang menurut teori kepercayaan, tidak setiap penyataan menyebabkan terjadinya perjanjian. Kalau terjadi konflik antara kehendak dengan pernyataan, hanya pernyataan yang menimbulkan kepercayaan bahwa pernyataan itu sesuai dengan yang dikehendakilah yang diterima atau yang menyebabkan terjadinya perjanjian.

Karena yang dibicarakan ini adalah mengenai perjanjian, makna tidak kurang pentingnya untuk dibicarakan mengenai asas - asas hukum perjanjian.

Seperti yang telah diketahui maka sistem hukum perjajian. menurut KUHPerdata itu mengandung konfadiksi di dalamnya: di satu sisi menganut asas konsensual, yaitu bahwa perjanjian jual beli terjadi dengan terjadinya kata sepakat, sekalipun pemilikannya belum beralih (pas.1458 KUHPerd),sehingga akan terasa tidak layak atau tidak adil kalau pembeli yang belum menerima barangnya harus memikul risiko kalau barangnya musna, Di sisi lain pasal 1460 KUHPerd, yang merupakan pengaruh dari hukum Perancis menentukan bahwa pembeli harus memikul risiko apabila barangnya musna" Tidak mengherankan kalau Mahkamah Agung dengan SEMA no.3/1963 menginstruksikan kepada para hakim untuk tidak menggunakan passl 1460 KUHPerd.

Berhubung dengan itu mengingat bahwa pasar modal menggunakan sistem elektronik, maka yang merupakan masalah ialah mengenai momentum beralihnya hak milik. Kapankah hak milik itu beralih: pada saat terjadinya transaksi, pada saat penyerahan saham/uang atau saat nama pembeli tercantum dalam Daftar Pemegang Saham. Menurut persepsi dan praktek di bursa hak milik beralih pada saat transaksi.

Sepanjang pengetahuan saya sengketa transaksi bursa belum ada yang sampai ke pengadilan, sedangkan sengketa yang ada telah diselesaikan secafra intern.

DAFTAR ACUAN

Ceril Noerhadi, D.-, 1995, beberapa aspek hukum tentang setelmen saham secara elektronik, lokakarya tinjauan hukum atas efek di bursa dan penyelesaian.

KDEI, 1994, aspek hukum pasar modal : transaksi dan penyelesaian transaksi tanpa sertifikat, Diskusi Panel 1994

Nindyo Pramong 19S7, Sertifikasi saham PT Go Public dan hukum pasar modal di lndonesia, disertasi, PT Citra Adirya Bakti,Bandung

Senin, 02 Mei 2011

PENYEMPURNAAN STRUKTURAL ORGANISASI MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI PUNCAK KEEMPAT LINGKUNGAN PERADILAN

oleh

Prof Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.

In the long run there is no guarantee Justice

except the personality of the judge. The law can

be no better than the judge who admininsters it .

Benjamin Cardoza

Tema Seminar Sehari ini adalah "Pemberdayaan dan Tanggung Jawab Mahkamah Agung RI melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri". Memberdaya berarti memberi daya atau kemampuan untuk melakukan sesuatu atau bertindak. Ini berarti bahwa Mahkamah Agung seolah-olah tidak mampu untuk melakukan sesuatu atau bertindak sesuai dengan tugasnya sebagaimana mestinya. Memang boleh dikatakan bahwa Mahkamah Agung selama ini sebagai pengadilan tertinggi tidak dapat memenuhi harapan rakyat. Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merupakan tempat pelarian terakhir bagi pencari keadilan Mahkamah Agung tidak efektif, karena selalu mengalami intervensi dan direktiva yang sangat dominan dari pihak eksekutif, sehingga dapat dikatakan tidak ada supremasi hukum. Putusan yang tidak tuntas, kualitas putusan pengadilan yang tidak bermutu karena antara lain pertimbaagannya sangat simpel atau bahkan tidak ada, integritas sementara hakim yang rendah dan mental yang lemah, belum lagi tunggakan perkara yang makin bertambah. Itu semuanya merupakan tanggung jawab Mahkamah Agung. Oleh karena itu maka Mahkamah Agung perlu diberdayakan, perlu ditingkatkan kemampuannya melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menciptakan supremasi hukum.

Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang baik dan menciptakan supremasi hukum diperlukan asas-asas umum dalam menyelenggarakan peradilan yang baik.

Asas kebebasan hakim merupakan asas utama dan universal. Asas ini secara formal telah terpenuhi oleh pasal 1 UU no.14 tahun 1970 yang menyatakan bahwa "kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka". Asas merupakan cita- cita manusia, dalam kenyataan memang tidak sepenuhnya demikian. Di samping itu dalam pasal 4 ayat 3 UU no.14 tahun 1970 ada larangan campur tangan pihak ekstra yudisiil dalam urusan peradilan. Sekalipun ketentuan ini menpertegas asas kebebasan hakim, sayangnya tidak ada sanksinya, sehingga selama ini kita rasakan campur tangan pihak ekstra yudisiil yang tidak terkendalikan, Dengan demikian maka meskipun ada asas kebebasan hakim, namun tidak ada jaminan bagi hakirn dalam melaksanakan tugasnya yang (harus) objektil tidak memihak dan adil itu dengan tenang, bukan hanya kalau ada campur tangan dari pihak etsekutif, tetapi juga apabila ada ancaman dari pihak pencari keadilan atau masyarakat. Dalam hal ini hakim perlu mendapat jaminan dan perlindungan hukum.

Asas berikut adalah asas larangan menolak merneriksa dau mengadili perkara

(pas.14 ayat 1 UU no.14 th 1970). Tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak memeriksa dan mengadili perkara. Dalam pasal 27 ayat 1 UU no 14 tahun 1970 hakim diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak rnemeriksa dan mengadili perkara. Disini hakim dituntut menguasai pengetahuan dan ketrampilan menemukan hukum. Kemanakah larinya para justiciabele dalam mencari keadilan kalau tidak kepada hakim atau pengadilan sebagai benteng terakhir dalam mencari keadilan? Marilah kita luruskan kemhli mekhanisme mencari keadilan ini.

Asas hakim aktif, dalam arti aktif memimpin sidang dan membantu para justiciabele mencari dan meluruskan hukumnya serta mencari kebenaran (materiil maupun fonnil) penting dalam penyelenggaraan peradilan yang baik. Walaupun pada dasarnya kesadaran hukum itu ada pada setiap manusia namun tidak setiap orang tahu (peraturan) hukumnya. Oleh karena itu hakim wajib membantu para pencari keadilan dalam mencari hukun dan kebenaran.

Asas kesamaan sangat didambakan oleh para justiciabele. Setiap orang minta diperlakukan sama dimuka hukum dengan tidak membeda-bedakan. Ini merupakan postulaat keadilan.

Dalam memeriksa perkara hakim harus bersikap objektif tidak memihak kepada salah satu pihak. Asas objektif ini rupa-rupanya tidak terlaksana sepenuhnya di dalam praktek.

Berkaitan dengan asas di atas maka hakim harus menyertakan alasan-alasan atau motivasi dalam putusan-putusannya. Dalam praktek tidak sedikit putusan Pengadilan Tinggi yang hanya menguatkan atau membatalkan putusan Pengadilan Negeri tanpa diberi alasan-alasan atau motivasi.

Tidak kurang pentingnya ialah asas penyelesaian perkara yang tuntas. Tidak sedikit putusan yang meskipun sudah mempunyai kekuatan yang pasti tidak dapat dieksekusi (bukan karena faktor ekstern) atau menimbulkan perkara baru.

Yang terakhir adalah pengawasan peradilan Jalannya peradilan harus diawasi, baik dari yuridis-prosesuil maupun dari segi integritas hakim. Meskipun sudah ada Hawas namun masih banyak kita jumpai penyimpangan-penyimpangan. Asas-asas tersebut merupakan “safeguard of the judiciary".

Judul makalah ini adalah "Penyempurnaan struldural organisasi Mahkamah Agung sebagai puncak keempat lingkungan peradilan”. Organisasi dan fungsi itu erat hubungannya. Kalau kita bicara tentang organisasi Mahkamah Agung maka perlu diketahui juga fungsinya. Bagaimanakah cara kita menyempurnakan struktur organisasi Mahkamah Agung agar Mahkamah Agung dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan peradilan atau kekuasaan kehakiman sungguh-sungguh merupakan tempat atau benteng terakhir bagi para justiciabele dalam mencari keadilan sertn menciptakan supremasi hukum? Supremasi hukum berarti hukurnlah yang berkuasa tetapi jangan sampai manusia diperbudak oleh hukum karena formalisme, walaupun ada pemeo yang mengatakan “lex dura sed tamen scripta" (undang-undang adalah keras, tetapi itu sudah ditulis demikian)".

Apakah fungsi Mahkamah Agung? Dengan dialihkannya badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam psal 10 ayat (1) UU no.14 tahun 1970 secara organisatoris, administratif dan finansial di bawah kekuasaan Mahkamah Agung maka makin beratlah tugas Mahkamah Agung (pas. 11 UU no.35 th 1999). Dalam hal ini perlu mendapat perhatian bahwa pengalihan itu dilaksanakan secara bertahap, paling lama 5 tahun sejak UU no.35 tahun 1999 itu mulai berlaku, sedangkan tata cara pengalihannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden yang sampai sekarang satupun belum ada. Mahkamah, sehingga masih memerlukan beberapa waktu sebelum Mahkamah Agung dapat berdaya.

Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman mempunyai beberapa fungsi.

Fungsi yustisiil

Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan tertinggi melakukan kekuasaan kehakiman untuk menyelengarakan peradilan (pas.1 dan2 ayat 1 Uuno.14 th 1970, pas.6 UU no.14 th 1985). Supremasi hukum yang kita dambakan tidak akan lepas dari bentuk negara kita sebagai negara kesatuan. Dengan demikian Mahkamah Agung harus mengusahakan adanya kesatuan peradilan di seluruh negara Republik Indonesia ini. Ini berarti bahwa Matrkamah Agung sebagai badan pengadilan tertinggi mempunyai fungsi memimpin dalam menyelenggarakan peradilan. Walaupun hakim itu pada dasarnya bebas, namun Mahkamah Agung dapat memberi pengarahan dalam menetapkan hukumnya melalui putusan-putusan kasasinya yang dapat menjadi acuan atau kiblat bagi hakim di tingkat peradilan yang lebih rendah untuk diikuti sebagai yurisprudensi tetap. Hakim pada dasarnya tidak terikat pada putusan hakim lain sekalipun putusan itu merupakan yurisprudensi tetap. Akan tetapi putusan Mahkamah Agung yang merupakan yurisprudensi tetap itu mempunyai "persuasive force", sehingga meyakinkan hakim untuk diikuti. Kalau tidak boleh dikatakan tidak ada maka masih sedikit sekali putusan - putusan Mahkamah Agung yang merupakan yurisprudensi tetap. Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan tertinggi yang mempunyai fungsi yustisiil dan memimpin ini harus mampu mengarahkan badan-badan pengadilan yang lebih rendah. Oleh karena itu Ketua Mahkamah Agung harus profesional dan oleh karena jabatan Ketua Mahkamah Agung bukan merupakan jabatan politik sebaiknya dijabat oleh hakim karier. Dalam fungsinya memimpin, Mahkamah Agung berwenang pula minta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan (pas.38 UU no.14 Th 1985).

Fungsi mengatur

Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (pas.79 UU no.14 th 1985). Fungsi ini sangat efektif untuk memperlancar jalannya peradilan

Fungsi administratif

Dengan dialihkan sebagian tugas Departemen Kehakiman ke Mahkamah Agung maka Mahkamah Agung bercambah berat tugas administratifnya.

Fungsi menguji

Mahkamah Agung mempunayi wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (pas.31 UU no.14 th 1985 jo. Pas. 26 UU no. 14 th 1970). Mengingat keadaan dewasa ini maka tidak hanya peraturan di bawah undang-undang saja yang dapat diuji oleh Mahkamah Agung tetapi juga Undang - undang.

Fungsi penasehat

Mahkamah Agung memberi nasihat hukum kepada Presiden dalam hal grasi dan di samping itu dapat memberikan pertimbangan-petimbangan dalam bidang hukum baik diminta atau tidak kepada lembaga-lembaga Tinggi Negara (pas.35, 37 IJU no.14 th 1985).

Fungsi pengawasan

Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dan atas penasihat hukum dan notaris.

Fungsi-fungsi tersebut di atas perlu ditingkatkan apabila kita hendak memberdayakan Mahkamah Agung. Dalam menyempurnakan struktur organisasipun harus memperhatikan fungsi-fungsi tersebut di atas. Akan tetapi pada akhirnya untuk memberdayakan Mahkamah Agung dan seluruh jajaran peradilan tidak hanya menyempurnakan struktur organisasinya saja, namun meningkatkan surnber daya manusianya.

Dari apa yang dikemukakan di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa yang lebih utama harus diperhatikan adalah peningkatan sumber daya manusianya dengan lebih selektif dan ketat dalam recrutment hakim dan penyelenggaraan penataran yang intensif bagi para calon hakim serta refreshing periodik dan studi lanjut para hakim. Dalam menyempurnakan struktur organisasi perlu diperhatikan fungsi-fungsi dari Mahkamah Agung.

Yogyakarta, 20 maret 2000

Minggu, 01 Mei 2011

PRINSIP-PRINSIP PENELITIAN HUKUM

Oleh

Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.

Sasaran studi hukum

Apakah yang pada hakekatnya dipelajari di Fakultas Hukum? pada hakekatnya yang kita pelajari di Fakultas flukum adalah tentang kaedah, yang meliputi asas hukum, kaedah hukum dalam arti sempit dan praturan hukum konkrit. Disamping itu ajarkan tentang sistem hukum dan penemuan hukum. Dua hal yang terakhir ini tidak merupakan Paket tersendiri.

Dengan bekal pengetahuan dari Fakultas Hukum seperti tersebut di atas apa yang diharapkan dari sarjana hukum atau apa yang harus dikuasai oleh sarjana hukum? Menguasai " The power of solving legal problem”.

Dua cara untuk memperoleh pengetahuan: dengan memperoleh agreement reality dan rnemperoleh exprimental reality.

Sasaran Penelitian hukum

Yang menjadi sasaran penelitian hukum terutama adalah norm atau kaedah hukum. Kaedah hukum ini terdiri dari kaedah tertulis yang meliputi praturan perundang-undargan dan putusan pengadilan dan peraturan yang tidak tertulis. Jadi yang dicari bukannya fakta seperti yang terjadi dalam penelitian lapangan, tetapi norm atau kaedah. Penelitian hukum dapat dilakukan semata-mata hanya dengan penelitian kepustakaan saja seperti misalnya penelitan tentang iktikat baik. Dewasa ini penelitian hukum tidak hanya dilakukan dengan penelitian kepustakaan saja, tetapi dilengkapi dengan penelitian lapangan. Dalam penelitian lapangan penelitian hukum ini sasarannya adalah perilaku manusia, yaitu perjanjian (diisini yang diteliti bukan kaedahnya tetapi perilakunya), kebiasaan (disinipun yang diteliti bukan kaedahnya tetapi perilakunya), kesadaran hukum dan law enforcement.

Tahap dalam penelitian hukum:

a.Tahap persiapan (membaca literatur, pedoman wawancara, membuat propsal)

b.Tahap penelitian (jenis penelitian)

c. Tahap penulisan

Judul: memuat dua variabel

masalah: persolalan yang memerlukan jawaban. Jawabannya hanya dapat ditemukan melalui penelitian. Masalah yang jawabannya dapat ditemukan tanpa mengadakan penelitian bukanlah jawaban secara metodologis (contoh),

Masalah sebaiknp berupa suatu, statement, tetapi tidak menutup kemungkinan dalam bentuk kalimat tanya.

Tinjauan pustaka merupakan bekal penelitian, Tidak hanya penelitian hukum saja yang harus memuat tinjauan pustaka, tetapi setiap penelitian. kalau kita terjun ke lapangan untuk mengadakan penelitian kita harus mempunyai bekal pengetahuan minimal tentang apa yang akan kita teliti itu dari literatur. Ini berarti bahwa kita sudah mempunyai pengetahuan awal dari literatur. Ibaratnya seorang petani yang akan terjun ke sawah untuk menggarap sawahnya tidak mempunyai bekal alat (pacul dsb) maka tidak akan memperoleh hasil yang baik atau memuaskan

Tinjauan pustaka bukanlah merupakan texbook oleh karena itu uraiannya tidak boleh terlalu elementer seperti textbook atau buku pelajaran. Seberapa dapat isinya dikaitkan langsung dengan judul, masalah atau pembahasan nanti. Sistematika dalam penguraiannya perlu diperhatikan (apa dulu yang harus diuraikan).

Cara penelitian(metodologi)

Analisis adalah manipulasi data: analisis tidak sekedar menguraikan atau melaporkan secara deskriptif tentang apa yang telah diteliti, data dihubungkan satu sama lain dicari perbedaan atau kesamaannya, dah dicros-check satu sama lain dan ditanyakan mengapa begitu, mengapa tidak lain , bagaimana terjadinya dsb.) Anallsis dapat berupa analisis kuantitatif, komparatif atau kualitatif.

Kesimpulan bukanlah sekedar mengulang atau meringkas apa yang telah dibahas atau dianalisis, tetapi menyarikan. Menyarikan bukan berarti meringkas akan tetapi mengambil sarinya atau intinya dari apa yang telah dibahas atau dianalisis.

Problematik penulisan hukum

Mengingat bahwa fungsi hukum adalah pelindung manusia dan tugas hukum adalah mengusahakan adanya keseimbangan tatanan dalam masyarakat dengan menjamin kepastian hukum, maka yang menjadi prolematik penulisan hukum adalah : terlindungi tidaknya kepentingan subyek hukum dan apakah kepastian hukum terjamin.