Jumat, 24 Oktober 2008

SEKITAR HAKIM AGUNG MAHKAMAH AGUNG RI







oleh
Sudikno Mertokusumo

Dalam RUU MA, yang kabarnya merupakan suatu insiatif dari Mahkamah Agung, ada rencana untuk
memperpanjang batas usia pensiun bagi hakim agung pada Mahkamah Agung dari 67 menjadi 70 tahun. Meskipun "hanya" diperpanjang 3 kali 365 hari, namun sempat menimbulkan pro dan kontra.



Untuk menanggapi hal tersebut perlu kiranya diketahui bahwa tugas atau pekerjaan hakim pada umumnya tidaklah ringan. Di samping itu telah dikenal luas bahwa hakim yang tugasnya memeriksa dan memutus perkara pada umumnya harus arif dan bijaksana. Dengan demikian maka tanggung jawab hakim adalah berat dan besar, baik kepada pihak-pihak yang bersangkutan (para justiciabele atau pencari keadilan), masyarakat, pemerintah maupun negara.
Sejak dari mempelajari peristiwa (konflik) konkretnya, tanya jawab di persidangan untuk memperoleh gambaran tentang peristiwa konkretnya, kemudian mencari kebenaran dengan pembuktian dan menyimpulkan kebenaran peristiwa konkretnya dan menemukan hukumnya serta akhirnya menjatuhkan putusan, merupakan rentetan kegiatan yang menguras otak dan hati nuraninya.
Dalam mencari kebenaran peristiwa konkretnya dengan pembuktian, karena para pihak (dalam perkara perdata) pada umumnya masing-masing mencari benarnya sendiri-sendiri (maklum manusia pada umumnya tidak mau disalahkan), sedangkan kedua belah pihak harus diperlakukan sama (audie et alteram partem) dan hakim tidak boleh memihak, hal ini bukanlah suatu pekerjaan yang mudah.
Dalam mengartikan atau menafsirkan peraturan-peraturan hukum atau undang-undang tidak ada pedoman atau acuan, baik dalam undang-undang maupun dalam bentuk PerMa dalam menggunakan metode-metode penemuan hukum, sehingga penafsiran undang-undang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim. Oleh karena itu penafsiran dikatakan sebagai “seni” oleh von Savigny.
Suatu putusan harus sesuai dengan hukum, karena hakim harus mengadili menurut hukum (pas.5 UU no.4 th 2004). Kecuali itu hukum fungsinya adalah untuk melindungi kepentingan manusia. Di samping harus mengandung kepastian hukum suatu putusan harus pula mengandung keadilan, putusan harus objektif dan tidak memihak. Unsur ketiga yang harus ada dalam suatu putusan ialah kemanfaatan. Suatu putusan harus bermanfaat baik bagi pihak-pihak yang bersangkutan maupun bagi masyarakat (Gustav Radbruch). Suatu putusan yang ideal ialah apabila putusan itu mengandung ketiga unsur tadi yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum secara proporsional. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak mungkin dicapai hadirnya ketiga unsur itu secara proporsional. Paling tidak ketiga unsur harus ada dalam suatu putusan dan hakim harus menciptakan keseimbangan antara ketiga unsur-unsur itu. Ini bukan merupakan kegiatan kecerdasan intelektual, rasional atau logika, akan tetapi merupakan kegiatan kecerdasan emosional atau kegiatan hati nurani. Kalau terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum, maka keadilannya yang harus didahulukan. Hal ini tampak pula pada titel eksekutorial yang berbunyi “Demi Keadilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa”.
Jadi hakim termasuk hakim agung dalam menjalankan tugasnya, memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan didorong oleh kecerdasan intelektual maupun kecerdaan emosionalnya (hati nurani), suatu pekerjaan yang tidak ringan dan menuntut tanggung jawab yang besar dan berat. Betapa tidak hakim itu menentukan nasib banyak orang.



Mengapa batas usia pensiun hakim agung harus diperpanjang? Apa rasio atau alasannya? Apa yang sesungguhnya hendak dicari?
Setiap usaha, dalam hal ini memperpanjang batas usia pensiun bagi hakim agung, pada dasarnya harus bertujuannya untuk memperoleh hasil yang lebih baik dan lebih menguntungkan.dari yang ada sekarang (sebelum perpanjangan batas usia pensiun), terutama dalam hal ini dilihat dari sudut justiciabele (pencari keadlian) atau masyarakat dan baru kemudian dari sudut hakim agung itu sendiri.
Mari kita lihat apakah perpanjangan batas usia pensiun bagi hakim agung itu memang menguntungkan terutama bagi para justiciabele dan masyarakat dengan kaca mata yang jernih.
Menurut CIA The World Factbook 2008 (
http://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/print/id.html) harapan hidup orang Indonesia adalah 67 tahun. Yang berarti bahwa batas usia orang Indonesia itu rata-rata 67 tahun. Akan tetapi perlu disadari bahwa hidup manusia itu mengenal masa puncak atau produktif dan masa surut. Pada umumnya beberapa tahun sebelum meninggal manusia mengalami penurunan atau kemunduran kesehatan, baik secara phisik maupun secara psikhis: penglihatan berkurang, pendengaran berkurang, ingatan berkurang (pikun), seniel (jompo), bahkan sering didahului dengan sakit-sakitan.
Kalau sudah mencapai usia 67 tahun (batas harapan hidup) dimana pada umumnya/rata-rata kesehatan atau kemampuan manusia sudah mulai menurun (decadentie), kemudian batas usia masih pensiun diperpanjang sampai 70, apakah ada jaminan bahwa kinerja dan kesehatan hakim agung, yang tanggung jawabnya berat dan besar, masih cukup baik dan mampu bekerja lebih baik dan tidak berkurang, seperti yang diharapkan dengan perpanjangan batas usia pensiun tersebut? Bukan hanya orang tua saja yang dapat jatuh, orang mudapun dapat jatuh. Setiap orang dapat jatuh karena kram, baik muda maupun tua. Tetapi orang tua yang usianya sudah lanjut akan lebih mudah jatuh karena kram dari pada yang muda. Pengecualian satu dua, selalu ada, Tuhan Maha Kuasa. Apakah kepentingan para justicabele akan terlindungi? Apakah tunggakan perkara akan dapat diatasi? Life is fading fast away.... Janganlah hidup hakim agung ini pada akhir hayatnya masih dibebani tugas yang tidak ringan dengan diperpanjangnya batas usia untuk pensiun. Biarkanlah ia dalam usia senjanya menikmati sisa-sisa hidupnya dengan merenungkan hasil karyanya selama ini dengan tenang.




Manusia pada umumnya ingin berkuasa. Kalau sudah berkuasa ingin tetap berkuasa. Kalau perlu seluruh anggota keluarganya dilibatkan. Betapa tidak, ada seorang presiden yang sudah 30 tahun berkuasa dan kalau tidak didemonstrasi tidak akan menyerahkan kekuasaannya kepada penggantinya. Bahkan kalau mungkin kekuasaan itu diwariskan kepada ahli warisnya. Mengapa ada mantan presiden yang mencalonkan lagi untuk jadi presiden? Untuk memperbaiki kesalahan diwaktu yang lampau?
Apakah perpanjangan batas waktu pensiun bagi hakim agung (kalau itu inisiatif dari MA) bukan berarti ingin berkuasa lebih lama lagi, ataukah karena dibayang-bayangi oleh post power syndrome atau gerontophobi?



Hakim agung adalah hakim. Hakim merupakan suatu profesi, sedangkan profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi oleh pendidikan keahlian, ketrampilan dan kejuruan tertentu serta pengalaman. Oleh karena itu hakim agung harus sarjana hukum dan pernah mengikuti pelatihan sebagai hakim dan mempnyai pengalaman sebagai hakim pengadilan negeri dan hakim pengadilan tinggi. Hakim agung harus mempunyai pengalaman memeriksa dan memutus perkara ditingkat pengadilan negeri maupun di tingkat pengadilan tinggi. Dengan demikian mempunyai pengalaman dikabulkan atau ditolaknya putusan-putusannya ditingkat pertama, banding maupun di tingkat kasasi atau ditingkat peninjauan kembali dan berpengalaman juga di-eksaminasinya putusan-putusannya. Pengalaman-pengalaman itu dibutuhkan sebagai suatu profesi.
Hakim agung boleh mumpuni dalam hal ilmu, ia boleh berpengalaman sebagai dosen dan bergelar guru besar dengan sederetan gelar di belakang namanya, akan tetapi kalau tidak mempunyai pengalaman baik intelektual maupun emosional (kegiatan hati nurani) dalam memeriksa dan memutus perkara, kiranya putusannya belum cukup dewasa, arif dan bijaksana. Pengalaman membuat orang lebih arif dan bijaksana. Oleh karena itu hakim agung harus diangkat atau dipilih dari hakim karier.


Barangkali pendapat di atas hanya merupakan "annoyance" saja dan tidaklah menarik atau populer serta "nyleneh", terutama dengan adanya Undang-undang tentang Komisi Yudisial (UU no.22 th 2004). Akan tetapi setidak-tidaknya dapat dijadikan bahan renungan atau sumbangan pemikiran.

Yogyakarta 24 Oktober 2008

--oooOooo---