Sabtu, 17 Mei 2008

PENEMUAN HUKUM

oleh
Sudikno Mertokusumo

Sarjana hukum yang bekerja di bidang profesinya selalu dihadapkan pada peristiwa atau konflik konkret untuk dipecahkan. Untuk itu maka harus dicari atau diketemukan hukumnya. Hukumnya harus dicari, diketemukan bukan diciptakan. Dikatakan harus dicari atau diketemukan bukan diciptakan, karena hukumnya memang sudah ada. Hal ini tersurat dalam Pasal 28 UU no.4 th 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi bahwa: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” Jadi hukumnya sudah ada, tinggal menggali ke permukaan. Menurut Paul Scholten di dalam perilaku manusia tedapat hukumnya.Jadi hukum itu tidak semata-mata terdapat di dalam peraturan perundang-undangan saja. “Penggalian” inilah yang pada dasarnya dimaksud dengan penemuan hukum (rechtsvinding, law making) dan bukan penciptaan hukum.

Memang tidak tertutup kemungkinan bahwa hakim dalam menemukan hukum tanpa disadari, tanpa disengaja menciptakan hukum, tetapi hakim dilarang untuk menciptakan peraturan yang mengikat secara umum (AB Pas.21). Lihat yurisprudensi tentang fiducia (HR 25-1-1929, NJ 1929, 616, Bierbrouwerijarrest).
Bagaimanakah caranya menemukan hukum dalam memecahkan konflik? Tahap-tahap apa saja yang harus dilalui?
Sebelum dijawab pertanyaan tentang caranya menemukan hokum perlu kiranya diketahui lebih dahulu mengapa harus diketemukan hukumnya.
Mengapa hukumnya harus diketemukan? Hukumnya harus diketemukan oleh karena peristiwa atau konflik konkret yang harus dipecahkan harus dikonversi lebih dahulu menjadi peristiwa hukum, peristiwa konkretnya harus diterjemahkan dalam bahasa hukum lebih dahulu. Kecuali itu hukumnya harus dicari karena peraturan hukumnya tidak jelas atau tidak lengkap. Hukumnya harus diketemukan juga oleh karena peraturan hukumnya harus disesuaikan dengan perkembangan keadaan.
Apa yang dicari dalam menemukan hukum pada dasarnya adalah “pengertian-pengertian hukum” “berlaku tidaknya” dan sah tidaknya”.
Dalam menemukan hukumnya harus dicari lebih dahulu sumber hukum Seperti diketahui sumber hukum atau sumber penemuan hukum meliputi undang-undang, kebiasaan, putusan pengadilan, traktat, doktrin dan perilaku serta kepentingan.
Sumber hukum mengenal hierarkhi, yang berarti bahwa sumber-sumber hukum itu kedudukannya tidak sama, ada yag kedudukannya lebih tinggi dari yang lain. Hierarkhi ini membuka peluang terjadinya konflik antara sumber-sumber hukum tadi. Kalau tejadi konflik maka sumber hukum yang tertinggilah yang harus dimenangkan.
Kalau kita hendak menemukan hukum untuk suatu peristiwa atau konflik konkret, maka kita cari terlebih dahulu hukumnya dalam undang-undang. Sumber hukum yang tertinggi karena dibandingkan sumber-sumber hukumnya lainnnya lebih menjamin kepastian hukum.
Kalau undang-undangnya tidak mengatur maka masih harus diupayakan menemukan hukumnya dengan penalaran atau argumentasi. Sebagai contoh: Ada seorang duda yang mau nikah lagi. Adakah hukumnya, adakah peraturannya? Peraturan yang mengatur secara khusus peristiwa duda yang mau nikah lagi tidak ada. Dalam hal ini yang harus dicari adalah peraturan yang mengatur peristiwa yang mirip dengan duda yang mau kawin lagi, tetapi jua berbeda. Peraturan ini ada, yaitu yang mengatur janda yang mau nikah lagi. Dikatakan mirip karena sama-sama mau menikah, dikatakan berbeda karena yang satu perempuan yan msih harus menunggu masa idah, dan yang lain laki-laki. Peraturan yang berlaku bagi janda itu diterapkan pada duda yang mau menikah, akan tetapi oleh karena berbeda maka diterapkannya peraturan itu kepada duda (karena duda tidak perlu menunggu masa idah) secara รก contrario (secara kebalikannya). Contoh lain: Seorang pemilik rumah yang rumahnya disewakan kepada orang lain menghibahkan rumah miliknya itu kepada anaknya. Bolehkah seorang pemilik rumah yang rumahnya sedang disewa oleh orang lain menghibahkannya kepada anaknya? Peraturan yang mengatur peristiwa tentang hibh tersebut tidak ada. Apa yang harus dicari disini dengan penalaran atau argumentasi adalah peraturan hukum yang mengatur peristiwa khusus yang mirip dengan peristiwa orang yang menghibahkan rumah miliknya tadi meskipun rumahnya sedang disewa orang lain. Peraturan ini ada (Pas.1576 KUHPer) yaitu yang dikenal dengan asas “Jual beli tidak menghentikan sewa-menyewa”. Peraturan tersebut diterapkan terhadap peristtiwa hibah secara analoog (argumentum per analogiam).
Kalau peristiwa konkretnya tidak diatur sama sekali dalam undang-undang maka perlu dipertanyakan “apakah peristiwa konkretnya itu bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan atau tidak?” Kalau tidak mengapa dilarang? Kalau tidak seyogyanya harus dilarang. Apakah poliandri itu diatur: dilarang atau dibolehkan. Peraturannya tidak ada, tetapi karena bertentangan dengan kesusilaan maka dilarang. Apakah euthanasia itu dibolehkan? Peraturannya belum ada, tetapi karena bertentangan dengan moral maka dilarang. Demikian pula dengan byi tabung, karena meskipun peraturannya belum ada tetapi tidak bertentangan dengan ketertiban umum maupun kesusilaan maka dibolehkan.

Kalau undang-undangnya tidak memberi jawaban atau solusi maka penelusurannya dilanjutkan ke bawah, ke kebiasaan, putusan pengadilan dan sebagainya.