Senin, 24 Maret 2008

SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

oleh
Sudikno Mertokusumo


Tidak ada negara yang tidak menginginkan adanya ketertiban tatanan di dalam masyarakat. Setiap negara mendambakan adanya ketenteraman dan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat, yang sekarang lebih populer disebut "stabilitas nasional'. Kepentingan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, karena selalu terancam oleh bahaya-bahaya disekelilingnya, memerlukan perlindungan dan harus dilindungi. Kepentingan manusia akan terlindungi apabila masyarakatnya tertib dan masyarakatnya akan tertib apabila terdapat keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Setiap saat keseimbangan tatanan dalam masyarakat dapat terganggu oleh bahaya-bahaya disekelilingnya.
Masyarakat berkepentingan bahwa keseimbangan yang terganggu itu dipulihkan kembali. Salah satu unsur untuk menciptakan atau memulihkan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat adalah penegakan hukum atau peradilan yang bebas/mandiri, adil dan konsisten dalam melaksanakan atau menerapkan peraturan hukum yang ada dan dalam menghadapi pelanggaran hukum, oleh suatu badan yang mandiri, yaitu pengadilan. Bebas/mandiri dalam mengadili dan bebas/mandiri dari campur tangan pihak ekstra yudisiil. Kebebasan pengadilan, hakim atau peradilan merupakan asas universal yang terdapat di mana-mana. Kebebasan peradilan merupakan dambaan setiap bangsa atau negara. Di mana- mana pada dasarnya dikenal asas kebebasan peradilan, hanya isi atau nilai kebebasannya yang berbeda. Isi atau nilai kebebasan peradilan di negara-negara Eropa Tirnur dengan Amerika berbeda, isi dan nilai kebebasan peradilan di Belanda dengan di Indonesia tidak sama, walaupun, semuanya mengenal asas kebebasan peradilan; tidak ada negara yang rela dikatakan bahwa negaranya tidak mengenal kebebasan peradilan atau tidak ada kebebasan peradilan di negaranya. Tidak ada bedanya dengan pengertian hak asasi manusia, yang sekarang sedang banyak disoroti; hak asasi bersifat universal, sernua negara "mengklaim"menghormati hak-hak asasi manusia, tetapi nilai dan pelaksanaannya berbeda satu sama lain (Masyhur Effendi 1994). Adil, tidak hanya bagi pencari keadilan saja tetapi juga bagi masyarakat, tidak memihak, objektif, tidak a priori serta konsisten, ajeg dalarn memutuskan, dalarn arti perkara yang sarna (serupa, sejenis) harus diputus sarna (serupa, sejenis) pula. Tidak ada dua perkara yang sama. Setiap perkara harus ditangani secara individual ("to each his own'), secara kasuistis dengan mengingat bahwa motivasi, situasi, kondisi dan waktu terjadinya tidak sama. Akan tetapi kalau ada dua perkara yang sejenis atau serupa maka harus diputus sejenis atau serupa pula. Ini merupakan "postulaat keadilan": perkara yang serupa diputus sama )Nieuwenhuis dalam Themis, 1976/6. Kalau perkara yang serupa diputus berbeda maka akan dipertanyakan: dimanakah kepastian hukumnya, apa yang lalu dapat dijadikan pegangan bagi para pencari keadilan, dimana keadilannya?
Negara dan bangsa Indonesia pun menghendaki adanya tatanan masyarakat yang tertib, tenteram, damai dan seimbang, sehingga setiap konflik, sengketa atau pelanggaran diharapkan untuk dipecahkan atau diselesaikan: hukum harus ditegakkan, setiap pelanggaran hukum harus secara konsisten ditindak, dikenai sanksi. Kalau setiap pelanggaran hukum ditindak secara konsisten maka akan timbul rasa aman dan damai, karena ada jaminan kepastian hukum. Untuk itu diperlukan peradilan, yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat
mengikat dan bertujuan mencegah " eigenrichting" (Sudikno Mertokusumo 1973).
Sekalipun peradilan Indonesia dewasa ini dasar hukumnya terdapat dalam UU no.14 tahun 1970 jo. pasal 24 dan 25 UUD namun pada hakekatnya merupakan warisan dari zaman Hindia Belanda. Bagaimanakah sistem peradilan di Indonesia ini?
Pasal 24 ayat 1 UUD berbunyi: "Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-­undang", sedangkan ayat 2 berbunyi: "susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang ". Pasal 25 UUD berbunyi: "Syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang". Dua pasal UUD itu masih memerlukan peraturan organik untuk melaksanakannya. Peraturan organik itu tertuang dalam Undang-undang no.14 tahun 1970. Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi, demikianlah bunyi pasal 10 ayat 2. Kemudian di dalam pasal 11 ayat 1 Undang-­undang no.14 tahun 1970 ditentukan bahwa
organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan, sedangkan ayat duanya berbunyi bahwa Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Kalau disimak maka UU no.14 tahun 1970 itu, kalau tidak boleh dikatakan bertentangan, tidak sinkhron dengan pasal 24 UUD. Pasal24 UUD menghendaki bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Undang-undang no.14 tahun 1997 pasal11 ayat 1 menentukan bahwa badan-badan yang melakukan peradilan tersebut dalam pasal 10 ayat 1 organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan, sedangkan ayat 2 menentukan bahwa Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Terasa adanya dualisme: disatu pihak UUD menghendaki kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan badan-badan pengadilan lain, di pihak lain Undang-undang no.14 tahun 1970 menentukan bahwa pihak eksekutif diberi wewenang juga untuk mengurusi kekuasaan kehakiman. Bukankah ini merupakan dualisme dalam peradilan. Dualisme ini sudah seringkali diungkap dalam seminar-seminar dengan mengetengahkan bahwa tidak selayaknyalah bahwa hakim itu "bernaung di bawah dua atap" atau "mempunyai dua kepala atau dua atasan", yaitu Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman. Pandangan ini ditegaskan lagi belum lama ini di dalam Memorandum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dalam Mukernasnya pada tanggal 23 Oktober 1996 di Ujung Pandang yang menyatakan agar Undang-undang no.14 tahun 1970 dicabut (Varia Peradilan tahun XII no. 136 Januari 1996). Adanya dualisme peradilan itu seringkali dijadikan alasan mengapa hakim atau peradilan itu sekarang tidak bebas, yaitu karena hakim mempunyai dua atasan. Dualisme itu pula yang dijadikan alasan mengapa peradilan kita sekarang ini tidak lagi memenuhi harapan, tidak lagi berfungsi sebagai tempat pelarian terakhir atau benteng terakhir bagi pencari keadilan. Tidak mengherankan kalau timbul istilah-istilah "peradilan kelabu", "mafia peradilan" dan sebagainya. Apakah benar bahwa menurunnya citra peradilan atau parahnya keadaan peradilan kita dewasa ini disebabkan oleh dualisme sistem peradilan kita yang sudah berumur setengah abad lebih (pada hakekatnya sistem peradilan kita dewasa ini merupakan warisan dari zaman Hindla Belanda)? Apakah benar bahwa sistem peradilan kita selama inilah (adanya "hakim di bawah dua atap") yang menyebabkan keadaan peradilan kita menjadi parah: berlarut-larutnya penyelesaian melalui pengadilan, banyaknya putusan-­putusan yang tidak profesional, pelanggaran peraturan-peraturan antara lain hukum acara dengan dalih "penyimpangan prosedur", adanya surat sakti, belum lagi adanya kolusi suap dan sebagainya? Harus diakui bahwa keadaan peradilan kita dewasa ini tidaklah memenuhi harapan: tidak merupakan benteng terakhir bagi para pencari keadilan, banyak pencari keadilan dikecewakan oleh perlakuan maupun putusan pengadilan. Pertanyaan yang timbul ialah apakah salama ini (setengah abad lebih!) keadaan peradilan kita itu seperti sekarang? Sebelum kurang lebih tahun 70an keadaan peradilan kita masih baik, tidak banyak terdengar berita-berita tentang peradilan yang negatif, putusan-putusan tidak sedikit yang profesional dan bermutu, kalaupun ada suap atau kolusi tidaklah sebanyak sekarang ini, pad a hal sistem peradilannya sama dengan sekarang (bandingkan pasal 7 ayat 3 UU no. 19 th 1964 dengan pasal 11 UU no. 14 th 1970) dalam arti dualistis. Sepanjang pengetahuan saya selama ini belum pernah diadakan studi evaluasi yang intensif dan serius tentang sistem peradilan kita dewasa ini. Kembali kepada pertanyaaan tersebut di atas: apakah benar sistem peradilan kita dewasa ini menyebabkan tidak adanya kebebasan peradilan (hakim) dan menjadi parahnya peradilan kita dewasa ini? Apakah betul bahwa sebabnya adalah sistemnya, apakah bukan sumber daya manusianya? Kiranya kita semuanya sependapat bahwa keadaan sumber daya manusia memberi kontribusi juga pada menurunnya citra peradilan. Sebelum kita hendak mengubah sistem peradilan kita dewasa ini sebaiknya ditingkatkan lebih dulu integritas sumber daya manusianya, karena dari sejarah ternyata bahwa dari dulu sampai sekarang sistem peradilannya sama, dan baru pada kurang lebih tahun 1970an wajah peradilan kita mulai pudar: inilah yang harus diprioritaskan sebelum kita hendak mengubah sistem peradilan kita dewasa ini. Integritas sumber daya manusia terutama di bidang peradilan harus dapat dihandalkan. Peradilan kita harus bebas, bersih dan profesional. Berikut ini saya kutipkan beberapa pendapat tentang betapa pentingnya integritas sumber daya manusia di bidang peradilan. "In the long run there is no guarantee of justice except the personality of the judge. It has been said that the trial judge is the key man in our system of adjudication: the law can be no better than the judge who administers it'/5, Nations fall when judges are injust, because there is nothing which the multitude think worth defending (Cardozo dalam Wendell C. Tambauugh, 1972). Walaupun ungkapan-ungkapan itu berasal dari penulis asing, namun tidak ada salahnya diterapkan pula di negeri kita untuk menciptakan peradilan yang bersih. Kalau kita hendak mengubah sistem peradilan kita harus terlebih dahulu mengevaluasi sistem peradilan kita dewasa ini: untung-ruginya, terlindungi tidaknya terutama kepentingan para pencari keadilan, ada tidaknya kepastian hukum, ada tidaknya kebebasan hakim dan sebagainya. Jangan hendaknya kita mengubah sistem karena hanya ingin sesuatu yang baru tanpa mempertimbangkan manfaat serta risikonya. Apa yang akan diubah itu seluruh sistem peradilan ataukah hanya beberapa undang-undang atau bagian dari undang-undang saja? Mengubah undang-undang, dalam hal ini sistem peradilan, banyak konsekuensinya. Mengubah sistem peradilan memerlukan penelitian, studi banding, pertemuan-pertemuan ilmiah yang tidak boleh dibatasi waktunya dengan menentukan target, seperti yang sekarang lazim dilakukan dalam membuat undang-undang. Belum nanti dalam pembuatan rancangan undang­undangnya. Andai kata kita berhasil mengubah sistem peradilan kita, kalau kebijaksanaan politik masih seperti sekarang apakah peradilan kita akan lebih baik dari sekarang? Kita harus segera mengambil sikap: memulihkan segera citra peradilan dengan meningkatkan integritas sumber daya manusianya walaupun kita mungkin masih harus menunggu lama kalau ingin memperoleh hasil yang memuaskan, atau mengubah sistem peradilan yang akan makan waktu lebih lama lagi karena harus mengadakan penelitian, studi banding, pembentukan undang-undang dan sosialisasinya, yang hasilnya masih merupakan tanda tanya. Telah dapat dipastikan bahwa "untuk sementara" Pemerintah tidak akan mencabut Undang-undang no.14 tahun 1970, dengan perkataan lain akan mempertahankan sistem peradilan yang sekarang berlaku. Maka oleh karena itu mengingat bahwa peradilan kita dewasa ini sudah cukup parah, yang perlu segera dibenahi dan dikembalikan citra baiknya, untuk mengembalikan citra peradilan kita perlu terlebih dulu ditingkatkan integritas sumber daya manusianya baru kemudian dipikirkan untuk mengubah sistemnya kalau memang perlu, atau bersama-sama dengan peningkatan integritas sumber daya manusianya sekaligus dapat dimulai dengan studi evaluasi peradilan kita dewasa ini.
Jadi secara yuridis formal Undang-undang no.14 tahun 1970 sebagai peraturan organik pasal 24 UUD adalah inkonstitusional dalam arti bertentangan atau setidak-tidaknya tidak sinkhron dengan pasal 24 UUD, akan tetapi sudah berlaku dan berjalan sekian lamanya, sehingga mempunyai kekuatan hukum (die normatieve Kraft des Faktischen).
Di dalam sistem peradilan kita dewasa ini dikenal pula asas kebebasan hakim atau kebebasan peradilan (pasal 1 UU no.14 th 1970), dalam arti seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa hakim bebas dalam atau bebas untuk mengadili. Bebas dalam arti menurut hati nuraninya tanpa dipengaruhi oleh siapapun: ia bebas dalam memeriksa, membuktikan dan memutus perkara berdasarkan hati nuraninya. Di samping itu ia bebas pula dari campur tangan pihak ekstra yudisiil. Di dalam pasal 4 ayat 3 Undang-undang no.14 tahun 1970 ditentukan bahwa segala campur tangan datam urusan peradilan oleh pihak-­pihak lain di luar kekuasaan kehakiman
dilarang, kecuati dalam hal-hal yang tersebut dalam UUD. Di dalam kenyataannya ketentuan ini tidak jarang dilanggar, antara lain dengan mengambil jalan pintas dengan menggunakan surat sakti, tilpun sakti dan sebagainya. Sayangnya ketentuan mengenai larangan campur tangan ini tidak disertai dengan sanksi. Inilah salah satu diantaranya yang menyebabkan peradilan kita menjadi "kelabu". Ditambahkannya sanksi pada ketentuan tersebut kiranya akan memulihkan citra peradilan, asal dilaksanakan dengan konsisten.
Semua peradilan di seluruh wilayah Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang, sedangkan yang menduduki tempat yang tertinggi dalam sistem peradilan kita adalah Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Mahkamah Agung mempunyai beberapa fungsi atau tugas.
Pertama, Mahkamah Agung mempunyai fungsi peradilan (yustisiil).
Mahkamah Agung sebagai badan kehakiman, yang melakukan kekuasaan kehakiman, menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan tugas pokok menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara (pasal 28, 29, 30 UU no.14 th 1985 jo. pasal 1, 2 ayat 1 UU no.14 th 1970). Dalam fungsi yustisiil ini Mahkamah Agung memutus pada tingkat peradilan pertama dan terakhir, yaitu mengenai semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara badan-badan peradilan dalam lingkungan yang berbeda dan semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara badan-badan peradilan sederajat yang termasuk wewenang Pengadilan Tinggi yang berlainan. Di samping itu Mahkamah Agung memutus pada peradilan tingkat banding atas putusan-putusan wasit. Dalam tingkat terakhir Mahkamah agung memutus terhadap putusan yang diberikan oleh pengadilan-pengadilan lain selain Mahkamah Agung dalam tingkat terakhir. Kasasi bukanlah merupakan pemeriksaan
dalam tingkat ke 3, karena dalam tingkat kasasi tentang peristiwanya tidak diperiksa lagi, melainkan hanya segi hukumnya. Mahkamah Agung wenang pula untuk menyatakan dalam tingkat kasasi tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang­-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa Mahkamah Agung melakukan pengujian materiel terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Kalau tidak ada perkara diajukan ke Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung tidak dapat menyatakan tidak sah suatu peraturan perundang-undangan. Peninjauan kembali merupakan wewenang yustisiil Mahkamah Agung juga. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap apabila memenuhi syarat dapat dimintakan peninjauan kembali.
Selanjutnya Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi mempunyai funqsi kedua yaitu memimpin peradilan dalam pembinaan dan pengembangan hukum dan sekaligus
mengembangkan hukum Indonesia melalui putusan­-putusannya kearah kesatuan hukum dan peradilan. Fungsi Mahkamah Agung yang ketiga adalah menqatur. Mahkamah Agung berwenang untuk menentukan penyelesaian suatu persoalan yang belum diatur acaranya (pasal 79 UU no.14 th 1985). Apabila tidak atau belum diatur dalam undang-undang, khususnya mengenai jalannya peradilan, agar peradilan dapat berjalan lancar, Mahkamah Agung wajib menciptakan peraturannya. Peraturan macam apakah yang dapat atau boleh diciptakan oleh Mahkamah Agung? Terutama yang berhubungan dengan prosedur mengadili dan penyelesaian perkara yang belum atau tidak diatur oleh undang-undang. Mengingat akan fungsinya sebagai lembaga yudikatif maka apa yang dapat atau boleh dibuat atau diciptakan oleh Mahkamah Agung bukanlah peraturan yang bersifat umum mengikat setiap orang. Bukan hukum materiil yang harus dibuatnya, melainkan "aturan permainan" yang hanya berlaku bagi atau mengikat para "pemain" dalam "permainan peradilan" (janqan diartikan negatif!), yaitu hakim. Dalam hal ini jangan sampai Mahkamah Agung melanggar ajaran tentang pembagian kekuasaan. Dalam fungsi mengatur Mahkamah Agung harus membatasi diri untuk tidak memasuki hukum materiel. Mahkamah Agung dapat menciptakan peraturan yang bersifat normatif, informatif dan instruktif. Mahkamah Agung dapat menciptakan peraturan yang bersifat normatif yang berupa Peraturan Mahkamah Agung (Perma) seperti misalnya Perma 1/1990 tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing, yang sekaligus merupakan pedoman kerja. Kalau ada hal-hal yang perlu segera diketahui oleh para hakim dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), yang bersifat informatif dan sering juga instruktif seperti misalnya SEMA 3/1963. Dengan SEMA 3/1963 Mahkamah Agung pada hakekatnya hendak menginstruksikan para hakim menyesuaikan KUHPerdata dengan perkembangan masyarakat. Akan tetapi sementara orang
(termasuk hakim) berpendapat bahwa SEMA 3/1963 itu mempunyai kekuatan membatalkan KUHPerdata. Tujuan SEMA 3/1963 itu baik, yaitu agar para hakim menyeseuaikan KUHPerdata dengan perkembangan masyarakat. Dilihat dari segi yuridis formal SEMA 3/963 sebagi produk Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan untuk membatalkan undang-undang mengingat Mahkamah Agung hanya mempunyai wewenang di bidang yudikatif bukan legislatif.
Fungsi Mahkamah Agung keempat ialah funqsi sebaqai penasehat. Dalam pasal 25 Undang-undang no. 14 tahun 1970 ditentukan bahwa semua pengadilan dapat memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lainnya apabila diminta. Di samping itu TAP MPR noVI/MPR/1973 pasal 11 ayat 2 menentukan bahwa Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan dan nasihat-nasihat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lainnya apabila diminta, sedangkan TAP MPR
noVII/MPR/1973 pasal 11 ayat 3 menentukan bahwa Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada Presiden/Kepala Negara untuk pemberian/penolakan grasi. Sudah tepatlah kiranya kalau Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi mempunyai fungsi sebagai penasihat mengenai soal-soal hukum. Bukankah hakim dianggap maha tahu akan soal-soal hukum (ius curia novit). Kiranya tidak perlu ditegaskan bahwa persoalan hukum yang dapat dimintakan pertimbangan atau nasihat kepada Mahkamah Agung bukanlah yang semata-mata bersifat abstrak/teoretis, melainkan yang konkret dan praktis tetapi tidak mengandung perkara atau sengketa, karena
perkara atau sengketa harus melalui mekhanisme yang sudah tersedia.
Fungsi kelima Mahkamah Agung adalah pengawasan. Sudah selayaknya kalau Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi mempunyai fungsi pengawasan terhadap perbuatan pengadilan lainnya (pasal 10 ayat 4 UU no.14 th 1970). Untuk meningkatkan citra peradilan kita dalam hal ini pengawasan oleh Hawas (hakim pengawas) terhadap hakim-hakim perlu lebih ditingkatkan frekuensi serta intensivitasnya. Eksaminasi sebagai sarana untuk mengevaluasi para hakim perlu dihidupkan kembali.
Fungsi Mahkamah Agung yang keenam adalah fungsi administratif. Dasar hukum fungsi administratif Mahkamah Agung ini terdapat dalam pasal 11 ayat 2 Undang-undang no.14 tahun 1970 yang mengatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai administrasinya sendiri.
Ada 4 lingkungan peradilan negara yang kesemuanya berpuncak pada Mahkamah Agung. Empat lingkungan peradilan itu dapat dibagi menjadi dua, yang bersifat umum, yaitu lingkungan peradilan umum (peradilan dengan general jurisdiction), dan yang bersifat khusus (peradilan dengan special jurisdiction), yaitu lingkungan peradilan agama, Iingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara (pasal10 ayat 1 UU no.14 th 1970). Disebut sebagai peradilan umum karena peradilan umum ini diperuntukkan bagi semua warga masyarakat tanpa membedakan golongan atau agama; yustisiabele atau pencari keadilannya umum: setiap orang. Di dalam peradilan umum masih dikenal spesialisasi seperti pengadilan ekonomi. Peradilan khusus disediakan untuk yustisiabele atau pencari keadilan yang khusus (beragama Islam, militer) atau yang menggunakan hukum materiil khusus (hukum pidana militer, hukum Islam). Khas bagi peradilan agama terdapat pilihan hukum: orang Indonesia asli yang beragama Islam khususnya dalam pembagian warisan dapat memilih tunduk pada hukum adat yang menjadi wewenang peradilan urn urn atau hukum Islam yang menjadi wewenang peradilan agama.
Di samping 4 lingkungan peradilan negara seperti yang disebutkan dalam pasal 10 ayat 1 Undang-undang no.14 tahun 1970 sistem peradilan kita masih mengenal peradilan sui generis atau peradilan semu yang tidak diatur dalam Undang-undang no.14 tahun 1970. Dikatakan "semu" karena petugas yang diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan konflik atau pelanggaran bukanlah petugas yang khusus diangkat untuk itu seperti hakim pada pengadilan negeri, akan tetapi mempunyai tugas rangkap. Termasuk peradilan semu ialah peradilan perburuhan (UU no.22 th 1957), peradilan perumahan (PP no.55 th 1981 jo. PP no.49 th 1963), peradilan pelayaran (Skp. Mphbl. No.Kab 4/3/24 jo.
S 1949 no.103). Di samping badan-badan peradilan yang telah disebutkan masih dikenal juga arbitrase atau pewasitan. Kalau 4 peradilan negara itu berpuncak pada Mahkamah Agung, maka 3 peradilan semu yang telah dikemukakan di atas tidak berpuncak pad a Mahkamah Agung.
Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan, sehingga putusan yang dijatuhkannya belum tentu cermat, tepat dan adil. Untuk mengantisipasi hal itu dan untuk memenuhi rasa keadilan maka peradilan dibagi menjadi dua tingkat, yaitu peradilan tingkat pertama (peradilan dengan original jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat awal atau permulaan dan peradilan tingkat banding (peradilan dengan appellate jurisdiction), yaitu
peradilan dalam tingkat pemeriksaan ulang. Oleh karena itu pada asasnya putusan yang telah dijatuhkan pada peradilan tingkat pertama yang belum tentu cermat, benar serta adil dimungkinkan untuk dimintakan keadilan kepada pengadilan yang lebih tinggi dalam tingkat banding. Semua lingkungan peradilan negara mengenal dua tingkatan perdilan itu, pada asasnya pembagian ini bersifat universal. Di dalam dua tingkatan peradilan itu diperiksa baik peristiwa maupun hukumnya. Jadi peradilan umum mengenal Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, peradilan agama, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, peradilan militer, Mahkamah Militer dan Mahkamah Militer Tinggi, sedangkan peradilan tata usaha negara atau administrasi, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Di dalam sistem peradilan Indonesia, seperti yang telah diketengahkan dimuka masih dikenal pemeriksaan kasasi yang pada umumnya tidak dianggap sebagai peradilan tingkat ketiga karena di tingkat kasasi di Mahkamah Agung tidak dipenksa ulang mengenai peristiwanya, tetapi hanyalah
segi hukumnya saja. Pada asasnya putusan banding atau ulang dari peradilan tingkat banding dan semua Iingkungan peradilan negara dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.

Daftar acuan
Gunawan Setiardja, A.-, 1993, Hak-hak asasi manusia berdasarkan ideologi Pancasila, Penerbit Kanisius
Masyhur Effendi, H.A.-, 1994, Hak asasi manusia dalam hukum nasional dan intemasional, Ghalia Indonesia
Nieuwenhuis, J.H.-, Legitimatie en heuristik van het rechterlijk oordeel, Themis 1976/6
Sudikno Mertokusumo, 1973, Sejarah peradilan dan perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942, PT Gunung Agung
Wendell C.Tombaugh, 1972, My kind of judge, dalam "Special problems in the judicial function", National College of State Trial Judges, Reno, Nevada
Yogyakarta, 18 Agustus 1997

KEMANDIRIAN HAKIM DITINJAU DARI STRUKTUR LEMBAGA KEHAKIMAN

oleh
Sudikno Mertokusumo

Pengantar
Peradilan akhir-akhir ini memang menjadi sorotan tajam masyarakat, karena diharapkan merupakan "benteng terakhir" bagi para pencari keadilan, sebab fungsi peradilan dimaksudkan sebagai benteng terakhir ("laatste toevlucht") bagi setiap pencari keadilan setelah tidak berhasil menempuh atau menggunakan jalur-jalur atau upaya-upaya hukum lainnya, tetapi kenyataannya dewasa ini pengadilan tidak atau belum memenuhi harapan. Jalannya peradilan tidak cepat seperti yang diharapkan, sehingga dengan berlarut-larutnya jalannya peradilan beaya berperkara akan meningkat, sehingga asas beaya ringan tidak terpenuhi. Beracara di pengadilan tidaklah sederhana: berbelit-belit. Banyak putusan pengadilan yang tidak memuaskan, karena pertimbangan hukumnya terlalu sumir, penemuan hukumnya tidak tepat, terlalu formalistis, kurang profesional dan sebagainya. Belum lagi yang menyangkut kebebasan dan integritas hakim.
Seperti yang telah umum diketahui maka sudah sejak kurang lebih tahun 80an keadaan peradilan kita tidak seperti yang diharapkan. Di dalam praktek dewasa ini hakim boleh dikatakan tidak bebas dalam menjalankan tugasnya. Sekalipun tidak dapat dibuktikan secara langsung hal ini terasa dan ternyata dari adanya tekanan-tekanan ekstern seperti suap, pernyataan pejabat mengenai terbukti tidaknya suatu perkara yang sedang diperiksa di pengadilan, ancaman-ancaman, kolusi, dan juga tekanan-tekanan intern yang berupa campur tangan dalam penyelesaian perkara seperti adanya surat sakti, tilpun sakti dan sebagainya. Kebebasan hakim seperti yang diatur dalam pasal 4 ayat (3) UU no.14 tahun 1970 belumlah dapat kita nikmati sepenuhnya. Karena adanya campur tangan itu kiranya hakim tidak dapat bersikap objektif
Kalau dikatakan bahwa pengadilan diharapkan merupakan benteng terakhir bagi pencari keadilan bukan berarti bahwa melalui benteng terakhir setiap pencari keadilan, baik para pihak dalam perkara perdata maupun terdakwa dalam perkara pidana, selalu dimenangkan atau dibebaskan, yang memang tidak mungkin, melainkan yang dimaksudkan adalah bahwa setiap pencari keadilan mendapat perlakuan hukum yang fair, layak atau adil di pengadilan.
Yang sering dipermasalahkan dalam pertemuan-pertemuan ilmiah akhir-akhir ini ialah apakah dewasa ini ada kemandirian atau kebebasan hakim. Apakah hakim itu bebas untuk mengadili dan bebas dalam mengadili dalam arti bebas dari pengaruh apa atau siapapun? Mengingat bahwa hakim itu mempunyai dua "kepala", yaitu Mahkamah Agung dan Departeman Kehakiman (pas. 11 UU no.14 th 1970) apakah hal itu menjamin kebebasan hakim? Apakah tidak seyogyanya hakim itu hanya mempunyai satu "kepala" saja? Bagaimanakah sistem peradilan atau struktur lembaga kehakiman yang baik atau ideal untuk menjamin kebebasan hakim? ltulah pertanyaan-­pertanyaan yang diharapkan terjawab juga dalam temu ilmiah sekarang ini. IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) dalam memorandumnya dalam Mukernas tanggal 23 Oktober 1996 di Ujung Pandang mengetengahkan bahwa Kekuasaan Kehakiman belum merupakan kekuasaan negara yang utuh, tetapi dapat dikatakan terpecah menjadi dua bagian, yaitu Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung bersama dengan kekuasaan eksekutif (Departemen Kehakiman), yang mengakibatkan timbulnya berbagai macam persoalan tumpang tindihnya wewenang berupa gejala "kurangnya keserasian hubungan" yang bersifat terselubung dalam melaksanakan Kekuasaan Kehakiman yang sampai sekarang terus berlangsung dan tidak/belum adanya penyelesaian yang tuntas dan menghimbau untuk meninjau dan mengaturnya kembali kedudukan dan fungsi Kekuasaan Kehakiman.

Pembahasan
Yang dimaksudkan dengan kemandirian hakim adalah mandiri, tidak tergantung kepada apa atau siapapun dan oleh karena itu bebas dari pengaruh apa atau siapapun. Hakim atau peradilan, yang merupakan tempat orang mencari keadilan, harus mandiri, independen, dalam arti tidak tergantung atau terikat pada siapapun, sehingga tidak harus memihak kepada siapapun agar putusannya itu objektif. Kemandirian itu menuntut pula bahwa hakim dalam memeriksa dan memutus perkara harus bebas. Dengan demikian kemandirian hakim tidak dapat dipisahkan dari kebebasan hakim, tetapi merupakan satu kesatuan. Adapun yang dimaksudkan dengan kebebasan hakim adalah bebas dalam memeriksa dan memutus perkara menurut keyakinannya serta bebas pula dari pengaruh pihak ekstra yudisiil. Ia bebas menggunakan alat-alat bukti dan bebas menilainya, ia bebas pula untuk menilai terbukti tidaknya suatu peristiwa konkrit berdasarkan alat bukti yang ada, ia bebas untuk berkeyakinan mengenai jenis hukuman apa yang akan dijatuhkan dan bebas pula dari campur tangan dari pihak ekstra yudisiil.
Kemandirian dan kebebasan hakim bukan hanya merupakan cita-cita dan dambaan saja bagi setiap bangsa, tetapi merupakan prinsip atau asas dalam setiap sistem peradilan, karena asas merupakan pengejawantahan cita-­cita manusia. Setiap sistem peradilan di mana pun mengenal dan menganut asas kemandirian dan kebebasan hakim atau peradilan.
Mengenai kebebasan hakim, sejarah atau kenyataan menunjukkan bahwa sekalipun hakim itu pada asasnya bebas, tetapi kebebasannya tidak mutlak. Kebebasan hakim itu dibatasi baik secara makro maupun secara mikro. Faktor-faktor yang membatasi hakim secara makro ialah sistem politik, sistem pemerintahan, sistem ekonomi dan sebagainya. Faktor-faktor yang membatasi hakim secara mikro ialah Pancasila, UUD, undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan dan kepentingan para pihak. Jadi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD, undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan dan kepentingan para pihak.
Tentang lembaga kehakiman pengaturannya kita jumpai dalam pasal 24 dan 25 UUD. Pasal 24 ayat 1 berbunyi: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang, sedangkan ayat 2 berbunyi: Susunan dan kekuasaan badan-­badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang. Pasal 25 berbunyi:
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Jadi lembaga kehakiman atau kekuasaan kehakiman mendapat tempat yang khusus dan utuh dalam UUD, yaitu bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung. Sudah tentu dua pasal dari UUD tersebut masih memerlukan peraturan organik atau peraturan pelaksanaan. Peraturan pelaksanaan itu dituangkan dalam UU no.14 tahun 1970 (lihat pas. 11), jo. UU no.19 tahun 1964 (khususnya konsiderans bagian "mengingat" dan pasal 7 ayat (3)) yang pada dasarnya menentukan bahwa badan yang melakukan peradilan secara organisatoris, admininstratif dan finansial ada dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan, sedangkan Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Dari apa yang diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa UU no.19 tahun 1964 tidak memenuhi kehendak UUD. UUD menghendaki kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, sedangkan UU no.14 tahun 1970 menentukan bahwa badan yang melakukan peradilan (kecuali Mahkamah Agung) secara organisatoris, administratif dan finansial ada di bawah kekuasaan masing­-masing Departemen yang bersangkutan. Jadi menurut UU no.14 tahun 1970 hakim secara teknis ada di bawah Mahkamah Agung sedangkan secara organisasatoris, administratif dan finansial ada di bawah Departemen, yang memungkinkan timbulnya berbagai persoalan tumpang tindihnya wewenang berupa gejala kurangnya keserasian hubungan. Secara konstitusional agar hakim itu mandiri dan lebih terjamin kebebasannya tidak selayaknya mempunyai dua atasan. Mengenai kebebasan hakim ditentukan dalam UU no.14 tahun 1970 pasal 1, bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia, sedangkan dalam pasal 4 ayat (3) ditentukan, bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh fihak-fihak lain di Iuar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-undang Dasar. Sayangnya larangan ini tidak ada sanksinya.
Keadaan peradilan sebelum tahun 80an tidaklah seperti sekarang ini.
Keadaan peradilan kita dewasa ini sangat memprihatinkan. Kalau dulu tidak seperti sekarang ini, dimanakah letak kesalahannya? Pada sistemnya atau pada sumber daya manusianya? Apakah yang harus atau dapat kita lakukan? Kalaupun sistemnya dirasa perlu untuk diubah dengan mengganti undang­-undang yang bersangkutan, maka yang kiranya lebih mendesak atau urgent untuk dilakukan ialah meningkatkan integritas serta pengetahuan sumber daya manusianya, karena membuat atau merancangkan undang-undang akan makan waktu yang lama dan beaya besar. Membuat undang-undang baru atau mengubah sistem peradilan tidak akan ada artinya kalau sumber daya manusianya tidak ditingkatkan integritas dan pengetahuannya. Lagi pula perlu diingat, bahwa Kekuasaan Kehakiman itu tidak berdiri sendiri, sebab masih ada Kejaksaan dan Kepolisian. Tegak tidaknya hukum tidak dapat dimintakan tanggung jawab sepenuhnya kepada pengadilan (Kekuasaan Kehakiman) saja, karena rnasing-masing unsur tidak berdiri sendiri lepas satu sama lain. Atau kedua-duanya dapat ditempuh bersama-sama, rnernpersiapkan undang-undang baru (yang akan berlangsung lama, futuristik) dan segera meningkatkan integritas serta pengetahuan para hakim.
Yogyakarta, 18 Maret 1997
Temu Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum Indoneia, Yogyakarta 17 - 20 Maret

MEWUJUDKAN PERADILAN SEBAGAI BENTENG TERAKHIR BAGI PARA PENCARI KEADILAN

oleh
Sudikno Mertokusumo


Pengantar
Tujuan Seminar ini adalah untuk mendapatkan garnbaran yang jelas tentang kedudukan Kekuasaan Kehakiman dan Sistem Peradilan di Indonesia selarna ini dan memperoleh garnbaran tentang bagaimana idealnya bentuk sistem peradilan yang benar-benar independen dan bebas dari carnpur tangan pihak -pihak di luar kekuasaan kehakiman, sehingga harapan lembaga peradilan sebagai "benteng terakhir" bagi para pencari keadilan dapat terwujud.
Peradilan dalarn arti yang luas adalah penegakan hukum yang meliputi unsur-unsur yang berkaitan erat satu sarna lain, yaitu terutarna kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Ketiga unsur itulah yang pada dasarnya bertanggung jawab atas penegakan hukum. Dalarn hal ini tegak tidaknya hukum tidak dapat dimintakan tanggung jawab sepenuhnya kepada pengadilan saja, karena masing-masing unsur tidak berdiri sendiri lepas satu sarna lain.
Dalam arti yang sempit yang dimaksudkan dengan peradilan ialah pelaksanaan hukum dalarn hal konkrit adanya tuntutan hak, yang fungsinya dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun, dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah eigenrichting (lihat juga pasal 3 ayat (1) UU no.14 tahun 1970). ladi peradilan dalam arti yang sempit ini semata-mata berhubungan dengan pengadilan. Walaupun demikian terselenggaranya peradilan dalam arti sempit ini dengan baik tidak lepas pula dari pengaruh unsur-unsur kepolisian dan kejaksaan. Oleh krena itu kalau kita memang sungguh-sungguh hendak mewujudkan peradilan sebagai benteng terakhir bagi para pencari keadilan tidak hanya pengadilan saja yang disoroti.
Yang akan dicoba untuk dibahas dalam tulisan ini ialah peradilan dalam arti yang sempit terutama untuk memperoleh gambaran tentang bagaimana idealnya bentuk sistem peradilan yang benar -benar independen dan bebas dari campur tang an pihak-pihak luar kekuasaan keh akim an, sehingga harapan lembaga peradilan sebagai "laatste toevlucht" atau benteng terakhir bagi para pencari keadilan dapat terwujud. Degan membenahi pengadilan mudah-mudahan ada pengaruhnya terhadap kepolisian dan kej aksaan, setida-tidaknya ada salah satu unsur dari peradilan yang dibenahi.
Peradilan dewasa ini Seperti yang telah umum diketahui maka sudah sejak kurang lebih tahun 80an keadaan peradilan kita tidak seperti yang diharapkan. Di dalam praktek dewasa ini hakim tidak bebas dalam menjalankan tugasnya. Sekalipun tidak dapat dibuktikan secara langsung hal ini ternyata dari adanya tekanan-tekanan ekstern seperti suap, pernyataan pejabat mengenai terbukti tidaknya suatu perkara yang sedang diperiksa di pengadilan, ancaman­ancaman, kolusi, dan juga tekanan-tekanan intern yang berupa campur tang an dalam penyelesaian perkara seperti adanya surat sakti, tilpun sakti dan sebagainya. Kebebasan hakim seperti yang diatur dalam pasal 4 ayat (3) UU nO.14 tahun 1970 belumlah dapat kita nikmati sepenulmya. Karena adanya carnpur tangan itu kiranya hakim tidak dapat bersikap obyektif. Ini semuanya menyangkut integritas hakim, tetapi juga menyangkut jaminan ketenterarnan dan kearnanan bagi hakim dalarn menj alankan tugasnya.
Speedy administration of justice atau cepatnya jalannya peradilan seperti yang tercantum dalam pasal 4 ayat (2) lJU no.14 tahun 1970 temyata juga tidak terlaksana sepenulmya. Hampir setiap permohonan penundaan persidangan dari pengacara antara lain dengan alasan bahwa pengacara yang bersangkutan ada sidang di temp at lain dikabulkan oleh hakim. Dengan demikian pengacara mel1gabaikan kepentingan kliennya dan klielmya hanya menjadi "sapi perah" pengacara saja. Penundaan sidang oleh hakim untuk mengucapkan putusan sering tidak layak (terlalu lama). Boleh dikatakan bahwa setiap perkara perdata di Indonesia itu selalu dimintakan banding: bukanlah perkara perdata kalau tidak dimintakan banding. Apakah ini berarti bahwa bangsa Indonesia sudah tinggi kesadaran hukumnya (karena memanfaatkan semua saluran hukum yang ada: banding, kasasi, peninjauan kembali), atau justru kesadaran hukumnya belum tinggi karena pada pokoknya bersikap spekulatif: "E, siapa tahu dalam banding atau kasasi nanti saya akan menang", walaupun kenyataannya bersalah atau tidak mempunyai hak sarna sekali. Sebagai perbandingan dapat dikemukakan bahwa di Singapura lebih banyak putusan pengadilan yang tidak dimintakan banding dari pada yang dimintakan banding. Dengan banyaknya yang banding dan kasasi maka penyelesaian perkara akan berlarut-larut dan menimbulkan tunggakan perkara yang setiap tahunnya bertambah dan menyebabkan "asas cepat" tidak terpenuhi sebagaimana yang diharapkan. Mahkamah Agung
kewalahan dalam menghadapi tunggakan perkara, sehingga mengadakan seminar untuk membatasi permohonan kasasi. Demikian pula dengan ter( di)tunda-tundanya atau tidak dapat dilaksanakannya eksekusi putusan. Putusan seringkaIi tidak dapat dieksekusi karena faktor ekstern maupun intern. Faktor ekstern: yang tereksekusi menghalang-halangi, yang tidak Jarang dengan menggerakkan mas a, enggan atau tidak mau membantu pelaksanaan eksekusi; faktor intern, karena putusannya terlalu formal, sehingga secara yuridis mungkin benar, tetapi tidak dapat dilaksanakan, atau ada perintah dari Mahkamah Agung untuk menunda eksekusi. Bahkan ada eksekkusi yang diperintahkan ditunda oleh Mahkamah Agung, akan tetapi tidak ada penyelesaiannya lebih lanjut, sehingga perkaranya terkatung­katung. Ada suatu ungkapan yang tidak asing lagi yang berbunyi ''justice delayed is justice denied" yang menunjukkan bahwa "asas cepat" sangat didambakan, bahkan ada pendapat yang mengatakan "lebih baik cepat tetapi kalah, dari pada lambat meskipun menang'.
Di daIam pasal 23 UU no.14 tahun 1970 ditentukan bahwa segala putusan pengadilan selain harns memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan harns pula memuat pasal-pasal tertentu dan peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dij adikan dasar untuk mengadili. Yang dimaksudkan tidak lain bahwaputusan harns disertai dengan alas an-alas an atau pertimbangan-pertimbangan yang cukup dan logis, sebagai dasar amamya. Persyaratan adanya alasan atau pertimbangan sebagai dasar putusan adalah untuk memenuhi tuntutan keadilan dan obyektivitas. Di daIam praktek pertimbangan hukum mengenai dasar hukumnya atau pasal­pasal sering hanya disebutkan "berdasarkan pasal-pasal yang bersangkutan" tanpa menyebutkan pasal-pasal yang mana. Jadi putusan dij atuhkan secara langsung tanpa alasan atau dengan alas an-alas an yang sangat sumir. Tidakjarang ada putusan banding yang pertimbangannya sumir atau tidak ada sarna sekali seperti "menguatkan putusan pengadilan negeri". Tidak menutup kemungkinan bahwa kata-kata itu hanyalah untuk sekedar memenuhi pasal 23 saj a. Pasal 23 tersebut masih dikuatkan pula oleh putusan Mahkarnah Agung tanggal 22 Juli 1970 yang menetapkan, bahwa putusan yang tidak cukup dipertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd) merupakan alasan untuk kasasi dan hams dibatalkan.
Banyak yustisiabele atau pencari keadilan yang mengeluh mengenai jalannya peradilan, mengenai integritas hakim, kualitas hakim dan sebagainya. Para pencari keadilan merasa kurang mendapat perlindungan hukum.
Demikianlah secara singkat mengenai keadaan peradilan kita dewasa ini yang sangat memprihatinkan, sehingga belumlah dapat dikatakan sudah rnemenuhi harapan, oleh karena itu belumlah terwujud peradilan sebagai benteng terakhir bagi para pencari keadilan.
Harapan
Untuk mengatasi masalah tersebut apakah yang sekiranya perlu dilakukan? Apakah sekiranya peraturan-peraturan . atau sistemnya perlu diubah? Kalau dilihat dari apa yang telah diuraikan di atas maka sebabnya pada dasarnya terletak pada sumber daya manusianya. Dengan demikian kalau kita hendak memperbaiki keadaan peradilan kita, kalaupun peraturan atau sistemnya dirasakan perlu untuk diubah guna memenuhi idealisme, narnun tidak perlu tergesa-gesa mengubahnya, karena untuk mengubahnya dibutuhkan beaya, waktu yang tidak sedikit dan adaptasi untuk mensosialisasikan dan memberIakukan peraturan-peraturan dan sistem peradilan baru. Sudah sangat mendesak bahwa peradilan kita hams segera diperbaiki atau ditingkatkan. Untuk meningkatkan peradilan kita kiranya tidak perIu tergesa-gesa mengubah peraturan-peraturan atau sistem peradilan yang ada, sebab untuk sementara ini peraturan-peraturan yang ada kiranya masih cukup memadai. Dilihat dari segi praktis dan urgensinya perIu segera ditingkatkan sumber daya manusianya, baik integritas maupun pengetahuannya serta memfungsikan peraturan-peraturan yang ada.
Pada dasamya asas-asas yang ada kiranya sudah cukup memadai untuk mewujudkan peradilan sebagai benteng terakhir bagi para pencarl keadilan.
Mengenai kebebasan hakim memang ada ketentuannya dalam pasal 4 ayat (3) UU no.14 tahun 1970, yaitu yang berbunyi: segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak -pihak lain di luar Kekuasaan Kehakian dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-undang Dasar. Larangan campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak -pihak di luar Kekuasaan Kehakiman ini tidak ada sanksinya. Memang kedengarannya janggal: ada larangan tetapi tidak ada sanksinya. Untuk lebih menjamin ketenteraman dan ketenangan hakim dalam menj alankan tugasnya maka sebaiknya ada sanksinya terhadap pelanggaran larangan tersebut. Selanjutnya untuk menghadapi makin banyaknya suap atau kolusi perIu kiranya di samping ditindak tegas sesuai dengan peraturan yang berIaku juga integritas hakim dan jajarannya ditingkatkan. Pengawasan terhadap hakim dan jalannya peradilan perIu lebih diperketat baik mengenai integritas maupun pengetahuannya. Eksaminasi putusan hakim perIu dihidupkan kembali.
Dengan lebih teIj arnitmya ketenteraman dan ketenangan dalarn melaksanakan tugasnya, yang disertai dengan sanksi hakim akan bebas dan mandiri dan dengan demikian diharapkan pula bersikap obyektif, tidak memihak dalarn memeriksa dan mengadili perkara.
Terbukanya persidangan untuk umum merupakan pengawaan atau kontrol sosial terhadap jalannya peradilan, sekalipun tidak merupakan kontrol langsung terhadap jalannya persidangan yang akan lebih menjamin obyektivitas pemeriksaan yang fair sampai pada putusan yang adil kepada masyarakat. Sifat terbukanya sidang berarti bahwa sidang pada dasamya dapat dihadiri oleh setiap orang, yang akan mempunyai pengaruh terhadap hakim yang memeriksa, sekalipun tidak setiap sidang selalu dihadiri oleh pengunjung. Asas terbukanya persidangan tidak berapa mempunyai arti bagi acara yang berlangsung secara tertulis. Oleh karena itu sekalipun dewasa ini bangsa Indonesia yang buta huruf sudah makin berkurang, narnun demi praktis dan cepatnya beracara di persidangan pengadilan sebaiknya dilakukan secara lisan. Mengajukan gugatan boleh tertulis, bahkan sebaiknhya tertulis, tetapi dalarn jawab menjawab sebaiknya sebaiknya berlangsung secara lisan dip imp in oleh hakim.
Asas kesarnaan merupakan asas penting dalam peradilan. Setiap orang dianggap dan diperlakukan sarna dimuka hukum. Kedua belah pihak dalam perkara perdata hams didengar bersama di persidangan (audi et alteram partem).
Mengenai j alannya peradilan (asas cepat) perlu ditingkatkan. Hakim tidak hanya bertugas memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara saja tetapi hams pula berusaha menyelesaikan dengan cepat.
Sekalipun sudah ada peraturannya mengenai keharnsan menyertakan alasan dalam putusan, namun dalam praktek sering diabaikan. Peraturan itu harns ditegakkan.
Kesimpulan
Keadaan peradilan kita dewasa ini sangat memprihatinkan. Yang menyebabkan peradilan kita belum seperti yang diharapkan temtama adalah sumber daya manusianya. Oleh karena itu dirasa sangat mendesak untuk meningkatkan integritas dan pengetahuannya, sedangkan peraturan-peraturan dan sistem peradilannya untuk sementara pada umumnya dapat dikatakan masih memadai; untuk mengubahnya memerlukan waktu dan beaya yang tidak sedikit, belum lagi untuk mensosialisasikannya.
Dirasakan sangat mendesak dikeluarkannya peraturan untuk mengatasi tunggakan-tunggakan perkara dengan membatasi nilai gugat yang diajukan ke pengadilan dan permohonan banding serta kasasi. Diharapkan dengan adanya peraturan itu tunggakan perkara akan berkurang.
Peraturan yang berlaku perlu ditegakkan, dilaksanakan atau difungsikan.
Peradilan yang baik (ideal) harns mempunym asas-asas umum peradilan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk rechtspraak) seperti berikut.
Hakim bebas, sifat terbukanya sidang, hakim aktif, obyektivitas, acara lisan, kesamaan, peradilan cepat, putusan disertai dengan alasan dan adanya pengawasan. Asas-asas itu sudah ada dalam peradilan kita, tinggal menegakkan.

Yogyakarta, 16 November 1996
Seminar"Kekuasaan Kehakiman dan Sistem Peradilan di Indonesia", Undip, Semarang, 20 November 1996

PEMANTAPAN SISTEM PERADILAN

oleh
Sudikno Mertokusumo


Makalah pembanding ini berjudul "Pemantapan sistem peradilan".
Sudah tentu yang dimaksudkan dengan peradilan di sini adalah peradilan kita. Judul tersebut akan menimbulkan pertanyaan: Apakah sistem peradilan kita ini belum mantap, sehingga perlu dimantapkan?
Kalau kita bicara tentang "pemantapan sistem peradilan" maka itu berarti bahwa sistem peradilannya sudah mapan, tetapi perlu dimantapkan atau ditingkatkan. Di sinipun dapat timbul pertanyaan: Apakah benar bahwa sistem peradilan kita sudah mapan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka perlu diketahui problematik yang terdapat dalam sistem peradilan kita.


Sistem peradilan
Sebagaimana diketahui maka yang dinamakan sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang berkaitan erat satu sarna lain, yang tidak menghendaki adanya konflik di dalam sistem itu, dan kalau teIjadi konflik maka konflik itu tidak akan dibiarkan berlarut-larut, namun akan dipecahkan oleh dan di dalarn sistem itu sendiri. Demikian pula dengan sistem peradilan yang, erat hubungannya dengan sistem-sistem lain dalarn sistem hukum nasional, sehingga dalarn menilai atau memantapkan sistem peradilan, kita tidak boleh lepas dari sistem-sistem lain dalarn sistem hukum nasional. Mengingat bahwa sistem peradilan itu tidak berdiri sendiri dan mengingat pula keadaan umum dewasa ini, maka tidak dapat terlalu diharapkan sepenuhnya hasil yang maksimal dari usaha pemantapan sistem peradilan ini. Dalam pembentukan undang-undang misalnya, karena tidak terkoordinasi, karena tidak memperhatikan sistem lain dalam sistem hukum nasional, maka hasilnya tidak memuaskan, karena isinya ada yang bertentangan dengan undang-undang lain. Meskipun demikian keadaan peradilan kita sudah cukup mengkhawatirkan untuk hanya bertopang dagu bersikap pesimistis dan tidak berbuat apa-apa. Maka kita harus sangat arif dalam usaha kita memantapkan sistem peradilan kita dengan selalu memperhatikan sistem-sistem lain dalam sistem hukum nasional kita. Kita harus berfIkir dalam sistem dan tidak partial.


Peradilan bebas
Kebebasan hakim merupakan asas utama peradilan. Hal ini diatur dalam pasal. Undang-undang no.14 tahun 1970, yang berbunyi: "Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia". Selanjutnya pasal 2 ayat 1 Undang-undang no.14 tahun 1970 mengatakan, bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan, yang tugas pokoknya adalah untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, sedangkan pasal 4 ayat 3 mengatakan, bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar Kekuasaan Kehakiman dilarang. Jadi hakim bebas untuk dan dalam memeriksa serta mengadili (bebas untuk menilai pembuktian, bebas dalam menemukan hukumnya, bebas dalam mengambil keputusan) serta bebas dari campur tangan pihak ekstra yudisiil.
Kebebasan hakim merupakan asas universal yang terdapat di seluruh dunia, merupakan dambaan semua bangsa. Kebebasan hakim ini tidaklah mutlak. Secara makro kebebasan hakim dibatasi oleh sistem pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya. Secara mikro di Indonesia kebebasan hakim dibatasi oleh Pancasila, Undang-undang Dasar, undang­-undang, ketertiban umum, kesusilaan, kepentingan atau kehendak para pihak (dalam perkara perdata).
Dalam kenyataannya dewasa ini hakim tidaklah bebas dengan pembatasan seperti yang diketengahkan dimuka. Tidak sedikit terjadi campur tangan dari pihak luar kekuasaan kehakiman. Campur tangan dari pihak ekstra yudisiil yang berupa tekanan-tekanan, provokasi, surat sakti dan sebagainya dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, membuat hakim tidak tenang dalam menjalankan tugasnya. Jaminan ketenangan atau keamanan bagi hakim kiranya sangat diperlukan agar hakim sungguh­-sungguh dapat menjalankan tugasnya dengan bebas tanpa dipengaruhi pihak ekstra yudisiil berdasarkan hati nuraninya dan keyakinannya. Ia harus dijamin perlindungannya terhadap tekanan, ancaman atau teror. Di sini diperlukan pengaturan mengenai sanksi lebih lanjut terhadap campur tangan dari pihak ekstra yudisiil. Larangan campur tangan tidak hanya berlaku bagi pihak di luar kekuasaan kehakiman saja, tetapi ketentuan larangan campur tangan itu kiranya juga berlaku bagi hakim, yang berarti bahwa hakim wajib menolak campur tangan dari luar kekuasaan kehakiman. Jaminan berupa rumah, kendaraan atau gaji tinggi tidaklah cukup untuk menjamin ketenangan menghadapi campur tangan pihak ekstra yudisiil. Larangan campur tangan saja kiranya belumlah cukup kalau tidak disertai dengan sanksi, terutama bagi hakim. Sanksi, terutama bagi hakim, dalam hal ini secara tidak langsung akan melindungi hakim terhadap campur tangan pihak luar kekuasaan kehakiman, karena ia dapat berlindung di belakang sanksi, untuk menolak campur tangan.
Dapat juga terjadi, bahwa pribadi hakim yang bersangkutan memang sengaja mau "dicampuri" atau dipengaruhi (suap). Hal ini tidak dapat sepenuhnya dipersalahkan kepada hakim, karena peradilan merupakan sistem yang melibatkan banyak pihak: hakim, panitera, pengacara, para pihak, jaksa. Kalau tidak ada yang menawarkan (para pencari keadilan, pengacara dan sebagainya) tidak akan terjadi suap, kecuali apabila hakim yang minta, itupun masih tergantung kepada yang dimintai mau atau tidak. Baik atas permintaan hakim maupun atas tawaran pihak lain, kalau hakim akhirnya mau menerimanya (disuap), kedua perbuatan itu merupakan perbuatan tercela. Teringat saya ungkapan dari Sidney Smith yang sangat memprihatinkan mengingat keadaan sekarang, yang berbunyi: Nations fall when judges are injust, because there is nothing which the multitude think worth defending. Betapa besar dosa kita kalau hal ini nanti benar-benar terjadi. lni menyangkut integritas hakim yang memerlukan peningkatan integritas sumber daya manusia, yang dapat berupa pendidikan, penataran, eksaminasi putusan, lebih selektif dalam pengangkatan, promosi, evaluasi dan mutasi hakim serta sanksi yang lebih berat dalam hal terjadi pelanggaran oleh hakim. Untuk meningkatkan integritas, kecuali apa yang telah dikemukakan di atas, perlu kiranya meningkatkan juga kewaspadaan, aktivitas pengawasan dan pengetahuan para hawas (hakim pengawas) serta secara konsisten menindak setiap pelanggaran. Jangan terlalu gegabah menganggap suatu pelanggaran sebagai "hanya penyimpangan prosedur" saja.


Peradilan cepat
Speedy administration of justice atau peradilan cepat selalu didambakan oleh setiap pencari keadilan. Pada umumnya setiap pencari keadilan menginginkan penyelesaian perkara yang cepat dan tuntas: mereka pada umumnya menginginkan penyelesaian perkara yang cepat dan tuntas walaupun akhirnya dikalahkan dari pada pemeriksaan yang bertele-tele, tertunda-tunda, sekalipun akhirnya dimenangkan juga perkaranya. Sudahlab wajar kalau para pencari keadilan menghendaki penyelesaian perkara yang cepat, kecuali ingin lekas tahu mengenai kepastian (hukum) hak-haknya dalam suatu perkara, pemeriksaan yang bertele-tele atau tertunda-tunda berarti mengeluarkan banyak beaya dan waktu. Tidak mengherankan ada ungkapan yang berbunyi: justice delayed is justice denied. Asas peradilan cepat ini diatur dalam pasa14 ayat 2 Undang-oodang no.14 taboo 1970.
Banyak penyebab lambannya jalannya peradilan mengingat babwa sistem peradilan melibatkan banyak pihak: hakim, panitera, para pihak, pengacara, jaksa dan sebagainya. Hakim dapat menunda sidang karena pelbagai alasan, karena sakit gigi, atas permintaan para pihak, para pihak atau pengacaranya tidak datang tanpa pemberitahuan atau pengacaranya minta ditunda sidang dengan alasan ada sidang di tempat lain dan pada umumnya itu semuanya hanyalab bertujuan untuk mengulur -ulur waktu saja, untuk "menunda eksekusi".
Permohonan banding dan kasasi seringkali hanyalah untuk mengulur­-ulur waktu saja. Barangkali tidak jauh dari kenyataan kalau dikatakan bahwa (di Indonesia) perkara perdata bukanlah perkara perdata kalau tidak banding. Banding dan kasasi memang merupakan upaya hukum memperoleh putusan yang lebih tinggi. Akan tetapi kalau setiap perkara (perdata) dimintakan banding berarti bahwa kesadaran menurun karena permohoman banding hanya digunakan untuk mengulur-ulur waktu saja, atau putusannya tidak memuaskan karena tidak bermutu. Dalam masalah banding di dalam praktek seringkali tidak ditepati peraturannya, terutama mengenai tenggang waktunya: ini sudah menyangkut penyimpangan prosedur.
Dalam kedua hal tersebut di atas hakim hauss berani menegur pihak yang bersangkutan, pengacara atau jaksa dan peraturan tentang hukum acara
harus lebih ketat dijalankan. Berlarut-Iarutnya jalannya peradilan karena sering ditunda-tunda dan juga proses permohonan banding yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengurangi kepercayaan para pencari keadilan kepada pengadilan.
Kecuali apa yang telah dikemukakan di atas, untuk lebih memperlancar jalannya peradilan perlu kiranya diadakan memodernisasi administrasi peradilan seperti komputerisasi putusan dan arsip, alat fotokopi dan sebagainya.
Penyelesaian perkara (terutama yang kondemnatoir) tidak jarang yang tidak tuntas. Tidak tuntasnya penyelesaian perkara disebabkan karena putusannya terlalu formal: yuridis formal tepat, tetapi tidak dapat dilaksanakan, sehingga tidak bermanfaat terutama bagi yang berkepentingan. Putusan semacam ini jelas tidak akan memuaskan pihak yang dimenangkan karena kecuali tidak dapat melaksanakan putusannya ia misalnya harus mengajukan gugatan lagi. Di samping itu tidak jarang pula suatu putusan tidak menyelesaikan perkara dengan tuntas, akan tetapi justru menimbulkan perkara baru. Yang dapat merupakan penyebab di sini ialah kurangnya alat bukti dan atau kurangnya penguasaan hukum materiil dan hukum formil. Dalam hal ini hakim harus berani melakukan penemuan hukum bebas, penemuan hukum yang tidak hanya bersifat system oriented saja tetapi juga problem oriented.


Hukum materiil dan hukum formil
Pada umumnya di dalam praktek orang mudah terjebak dalam "sleur" atau rutinitas pekerjaan. Tidak terkecuali dengan hakim, sehingga akhimya yang dikuasai mengenai hukum materiil dan formil hanyalah itu-itu saja atau bahkan tidak menguasai, sehingga putusan-putusannya sering tidak bermutu. Dalam menemukan hukumnya ajaran mengenai penemuan hukum sering diabaikan atau tidak tahu, bahkan sering menyimpang dari sistem hukum. Sebagai contoh misalnya ada hakim yang minta agar akta notaris itu dilegalisasi. Pertimbangan dalam putusan sering terlalu langsung atau sumir. Selama ini untuk kepentingan itu telah diadakan lokakarya-Iokakarya oleh Mahkamah Agung. Akan tetapi barangkali untuk kepentingan itu di samping lokakarya-Iokakarya perlu adanya refreshing atau penyegaran dalam bentuk pendidikan.

Kesimpulan.
Sistem peradilan tidak sepenuhnya berfungsi berhubung ada peraturan­-peraturan yang tidak dijalankan sebagaimana semestinya dan ada yang memerlukan sanksi untuk lebih menjamin kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya. Kepercayaan masyarakat kepada peradilan harus dipulihkan.
Untuk memantapkan sistem peradilan hakim perlu lebih dijamin kebebasannya.
Sumber daya manusianya perlu ditingkatkan baik integritasnya maupun penguasaan pengetahuannya (hukum materiil maupun formil).
Modernisasi administrasi peradilan akan lebih memperlancar jalannya peradilan yang akan menumbuhkan kembali kepercayaan kepada peradilan.
Yogyakarta, 12 Agustus 1996

Seminar Nasional Menyongsong Pembangunan Hukum dalam era 2000. Semarang, 12. 13 Agustus 1996

Sabtu, 22 Maret 2008

PERKEMBANGAN REFORMASI KEKUASAAN KEHAKIMAN

oleh
Sudikno Mertokusumo

Dengan Seminar dengan topik "Perkembangan reformasi kekuasaan kehakiman" ini Komisi Hukum Nasional ingin melihat kembali peran dan sumbangannya di dalam upaya reformasi hukum nasional.
Bagaimanakah perkembangan reformasi kekuasaan kehakiman dewasa
ini?
Reformasi merupakan usaha untuk meningkatkan atau memperbaiki keadaan yang kita kehendaki atau harapkan, dalam hal ini kearah perbaikan kekuasaan kehakiman.
Kata perkembangan berarti peru bahan, sedangkan perubahan dapat berarti kemajuan atau perbaikan yang kita kehendaki/harapkan atau justru sebaliknya dapat berarti kemunduran, bahkan penyimpangan atau penyelewengan yang tidak kita kehendaki. Jadi yang dimaksudkan dengan perkembangan atau perkembangan reformasi tidak menutup kemungkinan bahwa dalam perkembangannya, yang semula dimaksudkan sebagai reformasi, peningkatan atau perbaikan, dalam kenyataannya justru (sadar atau tidak sadar) menyimpang dari yang kita kehendaki atau harapkan.
Yang dipertanyakan apakah perkembangan reformasi hukum selama ini selalu membawa pembaharuan, perbaikan atau peningkatan di bidang hukum dalam arti yang sesuai dengan cita-cita Negara Hukum dan rasa keadilan dalam upaya mempercepat penanggulangan krisis kepercayaan kepada hukum dan penegakan hukum serta menghadapi tantangan dinamika globalisasi terhadap sistem hukum di Indonesia, atau yang merupakan peningkatan supremasi hukum seperti yang menjadi tujuan dari Komisi Hukum Nasional ini.
Bicara tentang reformasi kekuasaan kehakiman, kita tidak lepas dari reformasi pembentukan undang-undang (Iegislatif). Reformasi kekuasaan kehakiman tidak dapat dipisahkan dari reformasi dalam pembentukan undang­undang. Hakim selaku pelaku kekuasaan kehakiman harus tunduk pad a undang-undang. Da/am memeriksa dan menjatuhkan putusannya hakim harus mengadili menurut undang-undang, tidak boleh menlanggar undang-undang. Hakim harus tunduk pada undang-undang. Pembentukan undang-undang atau undang­undang itu sendiri besar pengaruhnya terhadap perilaku hakim, karena hakim harus mengadili menurut undang-undang dan tidak boleh melanggar undang­undang. Hakim terikat pad a undang-undang.
Kalau kita memperhatikan perkembangan pembentukan undang-undang dewasa ini saya mendapat kesan bahwa pembentukan undang-undang dewasa ini didorong oleh kepentingan sesaat, karena keinginan besar untuk mengubah berkat euphoria, karena merasa tertekan selama ini dan kepentingan kelompok.
Betapa tidak. Suatu undang-undang seyogyanya bersifat futuristik, yang berarti berlaku dalam kurun waktu yang (seberapa dapat) lama. Dewasa ini tidak sedikit undang-undang yang be/um berumur satu tahun sudah direvisi atau diganti.
Banyak undang-undang dibentuk tanpa mengingat bahwa hukum itu merupakan satu sistem. Da/am mengadakan amandemen atau revisi undang­undang seringkali sistematik dilupakan. Duplikasi istilah atau terminologi menunjukkan bahwa undang-undang tidak dilihat sebagai satu sistem.
Kekuasaan kehakiman diatur dalam UU no.4 tahun 2004 yang menggantikan UU nO.14 tahun 1970. Pasal 1 UU no.4 tahun 2006 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terse/enggaranya Negara Hukum RI. Ini berarti bahwa hakim itu bebas, memang hakim 11arus bebas dari pihak ekstra yudisiil dan bebas untuk menemukan hukum dan keadilannya. Akan tetapi kebebasannya itu tidak mutlak, tidak tanpa batas, melainkan dibatasi dari segi makro dan mikro. Dari segi makro dibatasi oleh sistem pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya, sedangkan dari segi mikro kebebasan hakim dibatasi atau diawasi o/eh Pancasila, UUD, UU, kesusilaan dan ketertiban umum. Dibatasinya kebebasan hakim tidaklah tanpa alasan, karena hakim adalah manusia yang tidak luput dari kekhilafan. Untuk mengurangi kekeliruan dalam menjatuhkan putusan maka kebebasan hakim perlu dibatasi dan putusannya perlu dikoreksi. Oleh karena itu asas peradilan yang baik (principle of good judicature) antara lain ialah adanya pengawasan dalam bentuk upaya hukum.
Pasal 2 UU no.4 tahun 2006 berbunyi bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Pasal 11 UU no.4 tahun 2006 mengatakan bahwa MA merupakan pengadilan tertinggi dari keempat lingkungan peradilan, sedangkan Pasal 12 berbunyi bahwa MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Dengan demikian sesudah tahun 2006 kita tidak lagi mempunyai pengadilan yang tertinggi. Bagaimanakah kedudukan MA dan MK? Sebelum tahun 2006 kita mengenal apa yang dinamakan kesatuan (unifikasi) peradilan (eenheid van rechtspraak). Dengan tidak adanya pengadilan yang tertingi di NKRI ini maka tidak lagi ada kesatuan peradilan.
Kecuali itu oleh karena MK mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir maka tidak ada upaya hukum sama sekali. Semua lingkungan peradilan di bawah MA tersedia upaya hukum, sehingga putusan pengadilan di tingkat pertama dan kedua dilingkungan di bawah MA dimungkinkan untuk dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi. Dengan tidak adanya kemungkinan menggunakan upaya hukum dan tidak adanya pengawasan maka kekuasaan MK adalah mutlak. Sistem ini tidak memenuhi principle of good judicature.
Peraturan hukum pidana di Indonesia itu, sepengetahuan saya, berlaku umum, yang berarti berlaku bagi setiap orang, tanpa pandang bulu, yang ada di wilayah NKRI.. Di Aceh Nanggroe Darussalam seorang pencuri dihukum dengan hukuman cambuk, yang tayangannya kita lihat di tv berulangkali. Saya hanya bertanya apakah hal ini tidak bertentangan dengan sistem yang berlaku di Indonesia? Kedua sistem itu menjatuhkan hukuman badan yang tidak sarna? Pertanyaan yang menggelitik saya ialah: apakah kalau ada seorang Aceh yang mencuri, tetapi belum sempat dihukum cambuk kemudian /ari ke Jakarta, Gubernur Aceh dapat minta kepada Gubernur Jakarta untuk menyerahkan pencuri tersebut? Da/am satu Negara terdapat dua sistem hukum yang berbeda bahkan bertentangan satu sarna lain.
Sepengetahuan saya suatu putusan (akhir) hakim (putusan yudikatif) harus bersifat definitif, tuntas dan tidak menimbulkan keraguan, putusan hakim harus dianggap benar (res judicata pro veretate habetur), yang berarti tidak mudah diubah atau diperbaiki, kecuali dengan upaya hukum. Putusan hakim adalah sabda pendita ratu, pantang untuk dijilat kemba/i. Berbeda dengan putusan eksekutif yang dapat dicabut atau diperbaiki oleh yang membuatnya.
Pasa/ 19 UU no.4 tahun 2004 ayat 3 mengatakan bahwa rapat musyawarah hakim bersifat rahasia, yang berarti bahwa tidak boleh diketahui o/eh umum atau diluar yang ikut musyawarah, sedang ayat 5 mengatakan bahwa dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat da/am putusan (dissenting opinion).
Pendapat majelis hakim di dalam sidang musyawarah tidak mungkin selalu sarna, perbedaan se/alu mung kin terjadi. Diwaktu yang /ampau maka perbedaan pendapat itu dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Putusannya merupakan mufakat bulat, jadi keluar putusan itu tidak meragukan atau membingungkan.
Kalau musyawarah itu bersifat rahasia dan putusan pada waktu diucapkan/dijatuhkan dilampiri pendapat yang berbeda, yang dibicarakan dalam musyawarah yang rahasia itu, dimana sifat rahasianya mufakat tersebut. Disamping itu dilampirkannya putusan dari hakim yang berbeda dengan putusan yang mempunyai kekuatan hukum (sah?) apakah tidak membingungkan? Satu putusan (yudikatif) mengandung dua pendapat yang berbeda. Putusan yang mengandung dua "dictum" akan mengundang reaksi pihak yang dikalahkan atau pihak terhukum untuk menggunakan upaya hukum, walaupun dewasa ini tanpa adanya dissenting opinion itu boleh dikatakan yang dikalahkan atau yang dihukum selalu menggunakan upaya hukum, hanya alasannya disini adalah untuk mengulur waktu.saja.
Apakah kriterium "berbeda" dan "tidak berbeda" dapat dianalogkan dengan yang "salah" dan "benar", sebab yang "berbeda" yang harus dilampirkan pada yang "tidak berbeda" jadi dapat disimpulkan yang berlaku atau putusan yang dianggap benar atau sah adalah yang "tidak berbeda".
Perubahan UUD NKRI merupakan pelaksanaan amanat reformasi yang dilakukan oleh MPR. Menurut pengetahuan saya UUD itu harus memuat hal-hal yang pokok atau mendasar. Apakah Komii Yustisial.itu merupakan sesuatu yang mendasar yang perlu dimuat dalam UUD? Komisi Yustisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Apakah hanya karena fungsinya "berkaitan" dengan kekuasaan kehakiman maka itu merupakan alasan untuk dimuat dalam UUD. Apakah yang namanya "komisi" itu layak dimuat dalam UUD.
Meskipun pembuktiannya sukar, tetapi dapat dipastikan bahwa perilaku hakim yang berkaitan dengan moral masih mengecawakan.
Untuk meningkatkan reformasi hukum pada umumnya dan kekuasaan kehakiman pada khususnya guna meningkatkan supremsi hukum tidaklah cukup dengan memperbaiki hukumnya dengan mengubah atau merevisinya, tetapi yang lebih penting adalah meningkatkan SDMnya dari unsur legislatif, eksekutif dan yudikatif.dari segi intelektual dan moral.
Yogyakarta, 7 September 2006

Makalah dalam Seminar "Perkembangan Reformasi Kekuasaan Kehakiman", diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional R.I.

METODE ILMU HUKUM

oleh Sudikno Mertokusumo

Untuk mengakhiri studinya para mahasiswa hukum Strata 2 diwajibkan menulis tesis. Penulisan tesis ini harus dilandasi dengan suatu penelitian hukum yang harus didukung oleh metode penelitian hukum. Sudah banyak buku-buku tentang metode penelitian hukum, bahkan telah ada kuliah tersendiri tentang metode penelitian hukum. Akan tetapi tentang metode ilmu hukum kiranya tidak banyak ditulis atau kurang banyak mendapat perhatian atau memang dianggap sudah diketahui. Metode penelitian hukum berbeda dengan metode ilmu hukum. Apa metode ilmu hukum itu?

Tujuan setiap ilmu pada dasarnya adalah mencari atau merumuskan sistem dan memecahkan masalah. Setiap ilmu itu mengumpulkan bahan-bahan atau material, menyusunnya secara sitematis menurut sistem tertentu, menjelaskannya secara (sistematis) logis dan memecahkan permasalahan. Adapun yang dimaksudkan dengan sistem adalah suatu kesatuan yang terstruktur (a structured whole) yang terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian yang selalu mengadakan interaksi satu sama lain. Interaksi memungkinkan terjadinya konflik dan sistem hukum tidak akan membiarkan konflik itu terjadi berlarut-larut dengan menyediakan asas hukum untuk mengatsi konflik tersebut. Hukum merupakan sistem yang abstrak atau normatif.
Jadi untuk memperoleh suatu ilmu diperlukan suatu cara atau metode. Kata metode berasal dari kata Yunani metodos yang terdiri dari kata meta, yang berarti munuju, melalui, mengikuti dan hodos yang berarti penelitian, uraian ilmiah. Metode ilmiah adalah sistem aturan atau cara yang menentukan jalan untuk mencapai pengertian baru pada bidang ilmu pengetahuan tertentu (Bakker, 1984: 10). Jadi metode ilmiah (scientific method) adalah suatu sistem atau cara untuk menghimpun, menyusunnya secara sistematis bahan-bahan atau material tersebut dan menjelaskannya serta memecahkan permasalahan-permasalahan untuk memperoleh suatu pengetahuan.
Syarat ilmiah suatu tulisan ilmiah sekurang-kurangnnya adalah bahwa penyusunan materinya harus sistematis, penjelasannya harus logis dan menggunakan penalaran yang induktif atau deduktif.
Sekalipun tujuan ilmu itu pada dasarnya sama, tetapi materialnya atau bahan-bahannya tidak sama, sehingga metodenya pun tidak sama. Ilmu hukum berbeda dengan ilmu-ilmu lain. Ilmu hukum materialnya adalah bahan-bahan hukum. Inilah antara lain yang membedakan dengan ilmu-ilmu lain.

Untuk mengetahui metode ilmu hukum perlu kiranya diketahui apa ilmu hukum itu serta ciri-cirinya.
Terlebih dahulu akan dikemukakan beberapa definisi tentang ilmu hukum dari beberapa penulis. Menurut Meijers ilmu hukum atau dogmatik hukum adalah pengolahan atau penggarapan peraturan-peraturan atau asas hukum secara ilmiah semata-mata dengan bantuan logika (1903: 15) dan menurut Fockema Andreae (1983) ilmu hukum adalah cabang ilmu hukum yang bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara peraturan hukum yang satu dengan yang lain, mengaturnya dalam satu sistem dan mengumpulkan darinya aturan baru serta pemecahan persoalan tertentu, sedangkan menurut Gijssels ilmu hukum adalah cabang ilmu hukum positif yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama dalam waktu tertentu dari sudut pandang normatif yang bersifat yuridis maupun non yuridis (1982: 75). Dari apa yang dikemukakan oleh tiga ahli di atas dapat kiranya disimpulkan bahwa ilmu hukum pada dasarnya adalah menghimpun dan mensistematisasi bahan-bahan hukum dan memecahkan masalah-masalah.
Apakah ilmu hukum itu ilmu? Di dalam literatur ilmu hukum sering dianggap bukan ilmu, bahkan dianggap sebagai seni tentang yang baik dan patut, ars boni et aequi. Ilmu hukum dianggap bukan ilmu dalam arti bukan merupakan ilmu tentang das Sein (Seinwissenschaft) oleh karena tidak bebas nilai, tidak menggunakan metode positif ilmiah dan bersifat normatif. Akan tetapi ilmu hukum atau dogmatik hukum adalah ilmu, yaitu ilmu tentang das Sollen: Sollenwissenschaft.

Sifat metode ilmu hukum menurut standaardnya mempunyai dua fungsi. Metode ilmu hukum itu dianggap sebagai metode yang ditujukan kepada realisasi tujuan yang praktis maupun yang teoretis dan sebagai metode yang tidak hanya digunakan di dalam ilmu hukum, tetapi juga di dalam praktek hukum (v.der Velde, 1988:16).

Ilmu hukum sekurang-kurangnya menunjukkan ciri atau sifat sebagai berikut.
a. Ilmu hukum bersifat dogmatis.
Ilmu hukum lebih dikenal dengan dogmatik hukum atau ilmu hukum dogmatik. Mengapa ilmu hukum disebut sebagai dogmatik hukum ialah oleh karena ilmu hukum mempelajari hukum positif, sedang hukum positif dianggap sebagai dogma, dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh dibuktikan lebih lanjut, tidak boleh diganggu-gugat. Bukan berarti bahwa hukum positif itu sama sekali tidak boleh diubah, akan tetapi kalau mau mengubah memerlukan prosedur dan makan biaya.
Kecuali itu kata “dogmatis” digunakan untuk menunjukkan metode tertentu, yaitu metode sintetis. Para ahli hukum perdata Perancis membedakan dua cara untuk mmenjelaskan materu yuridis, yaitu metode sintesis atau dogmatis dan metode analisis atau exegetis.
Metode sintesis adalah metode menggabungkan, yaitu suatu penalaran yang menggabungkan dua premisse sehingga menjadi suatu kesimpulan yang berbentuk suatu silogisme. Barangsiapa mencuri dihukum. Suto mencuri, maka Suto dihukum. Sebaliknya suatu analisis itu merupakan penalaran yang memisahkan.
Suto dihukum oleh karena ada ketentuan bahwa siapa mencuri dihukum.
Ada yang bependapat bahwa ilmu hukum atau dogmatik hukum itu tidak mengenal metode analisis dalam pengertian analisis kritis, tetapi penjelasan atau penafsiran oleh karena pertanyaan-pertanyaan di dalam ilmu hukum hanya dapat dijawab oleh atau didalam hukum positif saja.
b. Ilmu hukum bersifat normatif
Ilmu hukum disebut sebagai ilmu hukum normatif oleh karena objeknya terdiri dari norma atau kaedah
c. Ilmu hukum bersifat hermeneutis
Ilmu hukum bersifat menafsirkan. Dalam hal ini dikenal beberapa metode penemuan hukum. Tidak jarang bahwa metode interpretasi, argumentasi dan konstruksi hukum dianggap sebagai metode ilmu hukum. Metode penemuan hukum tersebut lebih merupakan metode yang digunakan dalam praktek hukum.
d. Ilmu hukum berorientasi yurisprudensial
Ilmu hukum merupakan ilmu hukum peradilan {rechtspraak wetenschap). Dengan demikian ilmu hukum itu berorientasi kepada yurisprudensi.


Menurut Paul Scholten (G.J.Scholten, 1949: 298) hukum dapat dilihat dari 3 segi yang kesemuanya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tetapi harus dipisahkan satu sama lain.
Pertama metode yang melihat hukum sebagai perilaku dan pertimbangan manusia yang mencoba menjelaskan secara historis-sosiologis kenyataan berhubungan dengan fenomena-fenomena lain. Ini merupakan metode sejarah hukum dan sosiologi hukum. Metode ini menanyakan tentang terjadinya pranata dan gambaran-gambaran hukum, menjelaskan terjadinya secara causaal-genetis.
Yang kedua adalah metode yuridis yang sesungguhnya yang melihat peraturan yang berlaku sebagai suatu kesatuan yang berarti yang dijelaskan dari dirinya sendiri. Metode ini tidak menanyakan bagaimana terjadinya hukum, tetapi “apakah hukum itu?” dan sekaligus menjawab pertanyaan “apa yang sah?”. Apakah dalam konkretonya dalam hubungan tertentu harus terjadi menurut hukum? Bukan causaal-genetis, tetapi logis-sistematis.
Akhirnya adalah metode yang menilai hukum yang tidak menanyakan apa hukum itu, tetapi “apa hukum itu seharusnya” dan ukurannya diterapkan pada hukum yang berlaku. Ini merupakan metode filsafat hukum. Ia menanyakan tentang “hukumnya hukum” atau “keadilan”.



DAFTAR ACUAN

Bakker, Anton-, 1984, Metode metode filsafat, Ghalia Indonesia
Salam, Burhanuddin, H.- 1988, Logika Formal, Bina aksara, Jakarta
Suriasumantri, Jujun S.-, 1984, Filsafat Ilmu sebuah pengantar, Penerbit Sinar Harapan
Scholten, Paul -, 1945, De stuctuur der rechtswetenschappen, NV Noordhollandsche Uitgevers Matschappij, Amsterdam
Scholten, Paul-, Recht en gerechtigheid dalam G. J. Scholten ed., Verzamelde Geschriften van wijlen Paul Scholten
Scholten, G. J.-, ed., 1949, Verzamelde Geschriften van wijlen Prof. Mr. Paul Scholten, NV Uitgevers-Maatschappij, W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle
Velden, W.G. van der-, 1988, disertasi, De ontwikkeling van de wetgevingswetenschap, Koninklijke Vermande B.V., Lellystad

Yogyakarta, 16 Desember 2006

Diskusi di Fakultas Hukum UGM

Kamis, 20 Maret 2008

MENINGKATKAN KESADARAN HUKUM MASYARAKAT




oleh
Sudikno Mertokusumo

Kalau kita bicara tentang peningkatan kesadaran hukum masyarakat, maka akan timbul pertanyaan: “Apakah kesadaran hukum masyarakat sudah sedemikian merosotnya, sehingga perlu ditingkatkan dan bagaimana cara meningkatkannya? Apa yang dapat kita konstatasi mengenai kesadaran hukum ini di dalam masyarakat?” Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu kiranya diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kesadaran hukum.
Kesadaran hukum dengan hukum itu mempunyai kaitan yang erat sekali. Kesadaran hukum merupakan faktor dalam penemuan hukum (Lemaire, 1952; 46). Bahkan Krabbe mengatakan bahwa sumber segala hukum adalah kesadaran hukum (v. Apeldoorn, 1954: 9). Menurut pendapatnya maka yang disebut hukum hanyalah yang memenuhi kesadaran hukum kebanyakan orang, maka undang-undang yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum kebanyakan orang akan kehilangan kekuatan mengikat. Hal ini masih memerlukan kritik. Perlu kiranya diketahui bahwa Krabbe dan juga Kranenburg termasuk mereka yang mengembangkan teori tentang kesadaran hukum.
Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukan (Scholten, 1954: 166) .
Kesadaran tentang apa hukum itu berarti kesadaran bahwa hukum itu merupakan perlindungan kepentingan manusia. Bukankah hukum itu merupakan kaedah yang fungsinya adalah untuk melindungi kepentingan manusia? Karena jumlah manusia itu banyak, maka kepentingannyapun banyak dan beraneka ragam pula serta bersifat dinamis. Oleh karena itu tidak mustahil akan terjadinya pertentangan antara kepentingan manusia. Kalau semua kepentingan manusia itu dapat dipenuhi tanpa terjadinya sengketa atau pertentangan, kalau segala sesuatu itu terjadi secara teratur tidak akan dipersoalkan apa hukum itu, apa hukumnya, siapa yang berhak atau siapa yang bersalah. Kalau terjadi seseorang dirugikan oleh orang lain, katakanlah dua orang pengendara sepeda motor saling bertabrakan, maka dapatlah dipastikan bahwa, kalau kedua pengendara itu masih dapat berdiri setelah jatuh bertabrakan, akan saling menuduh dengan mengatakan “Kamulah yang salah, kamulah yang melanggar peraturan lalu lintas” atau “Saya terpaksa melanggar peraturan lalu lintas karena kamu yang melanggar peraturan lalu lintas lebih dulu”. Kalau tidak terjadi tabrakan, kalau tidak terjadi pertentangan kepentingan, sekalipun semua pengendara kendaraan mengendarai kendaraannya simpang siur tidak teratur, selama tidak terjadi tabrakan, selama kepentingan manusia tidak terganggu, tidak akan ada orang yang mempersoalkan tentang hukum. Kepentingan-kepentingan manusia itu selalu diancam oleh segala macam bahaya: pencurian terhadap harta kekayaannya, pencemaran terhadap nama baiknya, pembunuhan dan sebagainya. Maka oleh karena itulah manusia memerlukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya. Salah satu perlindungan kepentingan itu adalah hukum. Dikatakan salah satu oleh karena disamping hukum masih ada perlindungan kepentingan lain: kaedah kepercayaan, kaedah kesusilaan dan kaedah kesopanan.
Dari uraian tersebut di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa timbulnya hukum itu pada hakekatnya ialah karena terjadinya bentrok atau konfik antara kepentingan manusia atau “conflict of human interest” (Post dalam Soerjono Soekanto, 1975: 35)
Dalam melindungi kepentingannya masing-masing, maka manusia di dalam masyarakat harus mengingat, memperhitungkan, menjaga dan menghormati kepentingan manusia lain, jangan sampai terjadi pertentangan atau konflik yang merugikan orang lain. Tidak boleh kiranya dalam melindungi kepentingannya sendiri, dalam melaksanakan haknya, berbuat semaunya, sehingga merugikan kepentingan manusia lain (eigenrichtig).
Jadi kesadaran hukum berarti kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita masing-masing terhadap orang lain. Kesadaran hukum mengandung sikap tepo sliro atau toleransi. Kalau saya tidak mau diperlakukan demikian oleh orang lain, maka saya tidak boleh memperlakukan orang lain demikian pula, sekalipun saya sepenuhnya melaksanakan hak saya. Kalau saya tidak suka tetangga saya berbuat gaduh di malam hari dengan membunyikan radionya keras-keras, maka saya tidak boleh berbuat demikian juga. Tepo sliro berarti bahwa seseorang harus mengingat, memperhatikan, memperitungkan dan menghormati kepentingan orang lain dan terutama tidak merugikan orang lain. Penyalah gunaan hak atau abus de droit seperti misalnya mengendarai sepeda motor milik sendiri yang diperlengkapi dengan knalpot yang dibuat sedemikian sehingga mengeluarkan bunyi yang keras sehingga memekakan telinga jelas bertentangan dengan sikap tepo sliro.
Kesadaran akan kewajiban hukum tidak semata-mata berhubungan dengan kewajiban hukum terhadap ketentuan undang-undang saja, tidak berarti kewajiban untuk taat kepada undang-undang saja, tetapi juga kepada hukum yang tidak tertulis. Bahkan kesadaran akan kewajiban hukum ini sering timbul dari kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang nyata. Kalau suatu peristtiwa terjadi secara terulang dengan teratur atau ajeg, maka lama-lama akan timbul pandangan atau anggapan bahwa memang demikianlah seharusnya atau seyogyanya dan hal ini akan menimbulkan pandangan atau kesadaran bahwa demikianlah hukumnya atau bahwa hal itu merupakan kewajiban hukum. Suatu peristiwa yang terjadi berturut-turut secara ajeg dan oleh karena itu lalu biasa dilakuan dan disebut kebiasaan, lama-ama akan mempunyai kekuatan mengikat (die normatieve Kraft des Faktischen).
Memang keadaan akan kewajiban hukum itu merupakan salah satu faktor untuk timbulnya hukum kebiasaan. Faktor lain untuk timbulya hukum kebiasaan ialah terjadinya sesuatu yang ajeg. Akan tetapi kesadaran akan kewajiban hukum tidak perlu menunggu sampai terjadinya suatu peristiwa secara berulang. Suatu peristiwa cukup terjadi sekali saja untuk dapat memperoleh kekuatan mengikat asal peristiwa yang hanya terjadi sekali saja itu cukup menyebabkan timbulnya kesadaran bahwa peristiwa atau perbuatan itu seyogyaya terjadi atau dilakukan.
Pada hakekatnya kesadaran hukum masyarakat tidak lain merupakan pandangan-pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang apa hukum itu. Pandangan-pandangan yang hidup di dalam masyarakat bukanlah semata-mata hanya merupakan produk pertimbangan-pertimbangan menurut akal saja, akan tetapi berkembang di bawah pengaruh beberapa faktor seperti agama, ekonomi poliitik dan sebagainya Sebagai pandangan hidup didalam masyarakat maka tidak bersifat perorangan atau subjektif, akan tetapi merupakan resultante dari kesadaran hukum yang bersifat subjektif.
Di muka telah diketengahkan bahwa ratio adanya hukum itu adalah “conflict of human interest”. Hukum baru dipersoalkan apabila justru hukum tidak terjadi, apabila hukum tidak ada.(onrecht) atau kebatilan. Kalau segala sesuatu berlangsung dengan tertib (bukankah tujuan hukum itu ketertiban?), maka tidak akan ada orang mempersoalkan tentang hukum. Baru kalau terjadi pelanggaran, sengketa, bentrokan atau “conflict of human interest”, maka dipersoalkan apa hukumnya, siapa yang berhak, siapa yang benar dan sebagainya.
Dengan demikian pula kiranya dengan kesadaran hukum. Kesadaran hukum pada hakekatnya bukanlah kesadaran akan hukum, tetapi terutama adalah kesadaran akan adanya atau terjadinya “tidak hukum” atau “onrecht”. Memang kenyataannya ialah bahwa tentang kesadaran hukum itu baru dipersoalkan atau ramai dibicarakan dan dihebohkan di dalam surat kabar kalau justru kesadaran hukum itu merosot atau tidak ada, kalau terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum: pemalsuan ijazah, pembunuhan, korupsi, pungli, penodongan dan sebagainya.

Kesadaran hukum masyarakat dewasa ini
Judul karangan ini adalah meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Telah dikemukakan pula apa kesadaran hukum itu. Apakah kesadaran hukum masyarakat dewasa ini perlu ditingkatkan? Apakah sudah sedemikian merosotnya? Apakah yang dapat kita konstatasi didalam masyarakat dewasa ini yang berhubungan dengan kesadaran hukum?
Sesuai dengan apa yang telah dikemukan di atas, bahwa kesadaran hukum pada hakekatnya adalah kesadaran akan adanya atau terjadinya “tidak hukum” atau “onrecht”, maka marilah kita lihat apakah di dalam masyarakat sekarang ini banyak terjadi hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang dinilai sebagai “tidak hukum” atau “onrecht”.
Akhir-akhir ini banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum. Kalau kita mengikuti berita-berita dalam surat kabar-surat kabar, maka boleh dikatakan tidak ada satu hari lewat di mana tidak dimuat berita tentang terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum, baik yang berupa pelanggaran-pelanggaran, kejahatan-kejahatan, maupun yang berupa perbuatan melawan hukum, ingkar janji atau penyalah gunaan hak. Berita-beria tenang penipuan, penjambretan penodongan pembunuhan, tabrak lari dan sebagainya setiap hari dapat kita baca di dalam surat kabar-surat kabar. Yang menyedihkan ialah bahwa tidak sedikit dari orang-orang yang tahu hukum melakukannya, baik ia petugas penegak hukum atau bukan.
Memang kriminalitas dewasa ini meningkat. Hal ini diakui juga oleh pihak kepolisian. Yang mencemaskan ialah bahwa meningkatnya kriminalitas bukan hanya dalam kuantitas atau volume saja, tetapi juga dalam kualitas atau intensitas. Kejahatan-kejahatan lebih terorganisir, lebih sadis serta di luar peri kemanusiaan: perampokan-perampokan yang dilakukan secara kejam terrhadap korban-korbannya tanpa membedakan apakah mereka anak-anak atau perempuan, pembunuhan-pembunuhan dengan memotong-motong tubuh korban. Rasanya tidak mau percaya kalau mengingat bahwa bangsa \Indonesia itu terkenal sebagai bangsa yang halus dan perasa serta cukup besar tepo selironya.
Tentang korupsi yang kata orang sudah ”membudaya” di Indonesia dan suap tidak terbilang banyaknya. Yang terakhir ini rupa-rupanya sudah ”membudaya” juga, sehingga orang mengikuti saja apa yang dilakukan oleh orang lain asal tercapai tujuannya. Setiap orang selalu ingin tujuannya tercapai Melihat orang lain melakukan penyuapan untuk mencapai tujuannya, takut kalau-kalau keinginannya tidak tercapai maka ia tepaksa melakukan penyuapan juga. Karena sudah terbiasa menerima suap maka si pejabat selalu akan mengharapkan. Dalam hal ini tidak jarang terjadi konflik antara tujuan yang harus dicapainya dengan hati nurani. Bentuk lain dari suap yang lebih kasar sifatnya adalah pungli atau pungutan liar yang banyak kita baca di dalam surat kabar dan dikecam sebagai perbuatan yang tercela.
Kita konstatasi juga bahwa jumlah kecelakaan lalu lintas meningkat. Boleh dikatakan setiap hari terjadi kecelakaan lalu lintas. Sesungguhnya meningkatnya jumlah kecelakaan lalu lintas tidak perlu terjadi seperti keadaan sekarang ini. Memang benar jumlah kendaraan bermotor meningkat, tetapi apabila para pemakai jalan raya terutama para pengendara kendaraan bermotor mentaati peraturan lalu lintas dan para petugas ketat mengawasinya serta sikapnya tegas dan konsekuen menghadapi pelanggaran-pelanggaran lalu lintas, kecelakaan lalu lintas tidak perlu terjadi seperti sekarang ini. Mengabaikan rambu-rambu lalu lintas terjadi setiap hari. Kendaraan umum dan terutama kendaraan bermotor beroda 2 sering membuat kesal dan gelisah pemakai jalan lainnya: kecuali dengan suara knalpot yang mempekakan telinga juga dengan cara mengendarai kendaraannya sehingga membahayakan lalu lintas. Pendek kata kesopanan lalu lintas diabaikan. Bukan hanya itu saja, tangggung jawab para pengendara kendaraan bermotor dapat dikatakan pada umumnya menurun: betapa banyaknya peristiwa tabrak lari. Ini berarti sikap yang tidak toleran dan melanggar kewajiban hukum, kewajiban untuk bersikap dan bertindak berhati-hati di dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain. Untuk sekedar memberi perbandingan dengan keadaan di zaman pendudukan Jepang: sekalipun pada waktu itu belum banyak kendaraan sepeda motor seperti sekarang, orang naik sepeda di malam hari pada umumnya menggunakan upet yang dinyalakan sebagai pengganti lampu penerangan karena lampu sepeda seperti yang banyak dijual sekarang tidak terdapat, sedangkan miyak tanahanpun sukar didapat juga. Fungsi upet ini adalah sebagai tanda bahwa ada orang mengendarai sepeda dan agar jangan sampai terjadi tabrakan. Ini menunjukkan adanya kesadaran akan kewajiban hukum, adanya toleransi dan sikap berhati-hati terhadap orang lain di dalam masyarakat. Sekarang banyak pengendara sepeda yang tidak memakai penerangan jalan di malam hari, jangankan pengendara sepeda, kendaraan bermotorpun tidak sedikit yang berjalan tanpa lampu di malam hari. Sangat disesalkan bahwa terhadap hal-hal tersebut tidak ada tindakan-tindakan yang tegas dari yang berwajib.
Di samping pelanggaran-pelanggaran peraturan hukum terjadi banyak penyalahgunaan hak atau wewenang. Menggunakan haknya secara berlebihan sehingga merugikan orang lain berarti menyalahgunaan hak. Komersialisasi jabatan misalnya pada hakekatnya merupakan penyalahgunaan hak. Penyalahgunaan hak banyak dilakukan oleh golongan tertentu atau pejabat-pejabat yang merasa boleh berbuat dan dimungkinkan dapat berbuat semaunya sendiri karena kedudukan atau jabatannya.
Dari segi pelaksanaan hukum (law enforcement) dapat dkatakan tidak ada ketegasan sikap dalam menghadapi pelanggaran-pelanggaran hukum. Banyak pelanggaran-pelanggaran hukum yang tidak diusut. Tidak sedikit pengaduan-pengaduan dan laporan-laporan dari masyarakat tentang terjadinya pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan kepada yang berwajib tidak ditanggapi atau dilayani. Banyak pegawai pengusut yang tidak wenang mendeponir perkara membiarkan perkara tidak diusut, sedangkan perkara perdata yang bukan wewenangnya diurusinya.
Peristiwa-peristiwa tersebut di atas hampir setiap hari kita baca di dalam surat kabar. Boleh dikatakan tidak ada berita di dalam surat kabar mengenai suatu daerah yang keadaannya serba teratur tidak ada pelanggaran, tidak ada kejahatan dan tidak pula ada sengketa. Tidak ada surat kabar yang memberitakan tentang suatu daerah yag oleh kidalang lazimnya digambarkan sebagai ”Panjang punjung pasir wukir loh jinawi gemah ripah karta tur raharja”.Kalau adapun maka selalu dihubungkan atau dibandingkan dengan tempat lain atau kedaan sebelumnya yang lebih buruk. Jadi bukan semata-mata hendak memberitahukan yang ”hukum”, tetapi yang menjadi ukuran adalah yang ”tidak hukum” (”onrecht”).
Ditinjau dari segi journalistik memang sensasilah yang dicari dalam pemberitaan, karena sensasi menarik perhatian para pembaca dan berita tentang pelanggaran dan peradilan selalu menarik perhatian.
Ditinjau dari segi hukum, maka makin banyaknya pemberitaan tentang pelanggaran hukum, kejahatan atau kebatilan berarti kesadaran akan makin banyak terjadinya ”onrecht”. Dengan makin banyaknya pelanggaran hukum makin berkurangnya toleransi dan sikap berhati-hati di dalam masyarakat, penyalahgunaan hak dan sebagainya dapatlah dikatakan bahwa kesadaran hukum masyarakat dewasa ini menurun, yang mau tidak mau mengakibatkan merosotnya kewibawaan pemerintah juga. Menurunnya kesadaran hukum dalam hal ini berarti belum cukup tinggi. Kesadaran hukum yang rendah cenderung pada pelanggaran hukum, sedangkan makin tinggi kesadaran hukum seseorang makin tinggi ketaatan hukumnya.
Untuk dapat mengambil langkah-langkah guna mengatasi menurunnya kesadaran hukum masyarakat, perlu kiranya diketahui apakah kiranya yang dapat menjadi sebab-sebabnya.
Menurunnya kesadaran hukum masyarakat itu merupakan gejala perubahan di dalam masyarakat: perubahan sosial. Salah satu sebab perubahan sosial menurut Arnold M Rose (dalam Soerjono Soekanto, 1975: 35) adalah kontak atau konflik antar kebudayaan. Besarnya arus pariwisatawan yang mengalir ke Indonesia tidak sedikit pengaruhnya dalam merangsang perubahan-perubahan sosial. Pengaruh film terutama film luar negeri serta televisi, majalah atau bacaan-bacaan lainnya dengan adegan-adegan atau ceritera- ceritera yang sadistis tidak berperikemanusiaan atau asusila mempunyai peran penting dalam membantu menurunkan kesadaran hukum masyarakat.
Kurang tegas dan konsekuensinya para petugas penegak hukum terutama polisi, jaksa dan hakim dalam menghadapi pelanggaran-pelanggaran hukum pada umumnya merupakan peluang terjadinya pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan-kejahatan. Tidak adanya atau kurangnya pengawasan pada petugas penegak hukum merupakan perangsang menurunnya kesadaran hukum masyarakat.
Adanya golongan, pejabat-pejabat dan pemimpin-pemimpin tertentu yang seakan-akan kebal terhadap hukum karena mereka berbuat dan ”dapat” berbuat semaunya, menimbulkan kesadaran kepada kita bahwa tidak demikianlah seyogyanya.
Sistem pendidikan kita kiranya kurang menaruh perhatiannya dalam menanamkan pengertian tentang kesadaran hukum.
Mengingat bahwa hukum adalah perlindungan kepentingan manusia, maka menurunnya kesadaran hukum masyarakat disebabkan karena orang tidak melihat atau menyadari lagi bahwa hukum melindungi kepentingannya. Soerjono Soekanto menambahkan bahwa menurunnya kesadaran hukum masyarakat disebabkan juga karena para pejabat kurang menyadari akan kewajibannya untuk memelihara hukum dan kurangnya pengertian akan tujuannya serta fungsinya dalam pembangunan.

Cara-cara meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
Tindakan atau cara apakah yang sekirarnya efektif untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat? Tindakan drastis dengan misalnya memperberat ancaman hukum atau dengan lebih mengetatkan penataan ketaatan warga negara terhadap undang-undang saja, yang hanya bersifat insidentil dan kejutan, kiranya bukanlah merupakan tindakan yang tepat untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Mungkin untuk beberapa waktu lamanya akan tampak atau terasa adanya penertiban tetapi kesadaran hukum masyarakat tidak dapat dipaksakan dan tidak mungkin diciptakan dengan tindakan yang drastis yang bersifat insidentil saja.
Kita harus menyadari bahwa setelah mengetahui kesadaran hukum masyarakat dewasa ini, yang menjadi tujuan kita pada hakekatnya bukanlah semata-mata sekedar meningkatkan kesadaran hukum masyarakat saja, tetapi membina kesadaran hukum masyarakat.
Seperti yang telah diketengahkan di muka maka kesadaran hukum erat hubungannya dengan hukum, sedang hukum adalah produk kebudayaan. Kebudayaan merupakan suatu ”blueprint of behaviour” yang memberikan pedoman-pedoman tentang apa yang harus dilakukan boleh dilakukan dan apa yang dilarang. Dengan demikian maka kebudayaan mencakup suatu sistem tujuan-tujuan dan nilai-nilai. Hukum merupakan pencerminan nilai-nilai yang terdapat di dalam masyarakat. Menanamkan kesadaran hukum berarti menanamkan nilai-nilai kebudayaan. Dan nilai-nilai kebudayaan dapat dicapai dengan pendidikan. Oleh karena itu setelah mengetahui kemungkinan sebab-sebab merosotnya kesadaran hukum masyarakat usaha peningkatan dan pembinaan yang utama, efektif dan efisien ialah dengan pendidikan.
Pendidikan tidaklah merupakan suatu tindakan yang ”einmalig” atau insidentil sifatnya, tetapi merupakan suatu kegiatan yang kontinyu dan intensif dan terutama dalam hal pendidikan kesadaran hukum ini akan memakan waktu yang lama. Kiranya tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa dengan pendidikan yang intensif hasil peningkatan dan pembinaan kesadaran hukum baru dapat kita lihat hasilnya yang memuaskan sekurang-kurangnya 18 atau 19 tahun lagi. Ini bukan suatu hal yang harus kita hadapi dengan pesimisme, tetapi harus kita sambut dengan tekad yang bulat untuk mensukseskannya. Dengan pendidikan sasarannya akan lebih kena secara intensif daripada cara lain yang bersifat drastis.
Pendidikan yang dimaksud di sini bukan semata-mata pendidikan formal disekolah-sekolah dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi, tetapi juga pendidikan non formal di luar sekolah kepada masyarakat luas.
Yang harus ditanamkan baik dalam pendidikan formal maupun non formal ialah pada pokoknya tentang bagaimana menjadi masyarakat Indonesia yang baik, tentang apa hak serta kewajiban seorang warga negara Indonesia. Setiap warga negara harus tahu tentang undang-undang yang berlaku di negara kita. Tidak tahu undang-undang tidak merupakan alasan pemaaf : ignorantia legis excusat neminem. Asas ini yang lebih dikenal dengan kata-kata bahasa Belanda dengan ”iedereen wordt geacht de wet te kennen” berlaku di Indonesia harus ditanamkan dalam pendidikan tentang kesadaran hukum. Ini tidak hanya berarti mengenal undang-undang saja, tetapi mentaatinya, melaksanakannya, menegakkannya, dan mempertahankannya. Lebih lanjut ini berarti menanamkan pengertian bahwa di dalam pergaulan hidup kita tidak boleh melanggar hukum serta kewajiban hukum, tidak boleh berbuat merugikan orang lain dan harus bertindak berhati-hati di dalam masyarakat terhadap orang lain. Suatu pengertian yang pada hakekatnya sangat sederhana, tidak ”bombastis”, mudah dipahami dan diterima setiap orang. Sesuatu yang mudah dipahami dan diterima pada umumnya mudah pula untuk menyadarkan dan mengamalkannya.
Di Taman Kanak-kanak sudah tentu tidak mungkin ditanamkan pengertian-pengertian abstrak tentang hukum atau disuruh menghafalkan undang-undang. Yang harus ditanamkan kepada murid Taman Kanak-kanak ialah bagaimana berbuat baik terhadap teman sekelas atau orang lain, bagaimana mentaati peraturan-peraturan yang dibuat oleh sekolah. Maka perlu kiranya di sekolah dipasang tanda-tanda larangan (verbodstekens) atau tanda-tanda perkenan (gebodstekens) berupa poster atau tanda-tanda bergambar lainnya yang menarik dan ibu guru harus mengadakan pengawasan serta menindak pelanggarnya dengan memberi ”hukuman”. Suatu taman mini lalu lintas pada tiap-tiap sekolah Taman Kanak-kanak akan membantu memupuk kesadaran hukum pada anak-anak. Yang penting dalam pendidikan di Taman Kanak-kanak ialah menanamkan pada anak-anak pengertian bahwa setiap orang harus berbuat baik dan bahwa larangan-larangan tidak boleh dilanggar dan si pelanggar pasti menerima akibatnya.
Di SD, SLTP dan SLTA hal tersebut di atas perlu ditanamkan lebih intensif lagi: hak dan kewajiban warga negara Indonesia, susunan negara kita, Pancasila dan Undang-undang Dasar, pasal-pasal yang penting dari KUHP, bagaimana cara memperoleh perlindungan hukum. Perlu diadakan peraturan-peraturan sekolah. Setiap pelanggar harus ditindak. Untuk itu dan juga untuk menanamkan ”sense of justice” pada murid-murid perlu dibentuk suatu ”dewan murid” dengan pengawasan guru yang akan mengadili pelanggar-pelanggar terhadap peraturan sekolah. Di samping buku pelajaran yang berhubungan dengan kesadaran hukum perlu diterbitkan juga buku-buku bacaan yang berisi cerita-cerita yang heroik.
Secara periodik perlu diadakan kampanye dalam bentuk pekan (pekan kesadaran hukum, pekan lalu lintas dan sebagainya) yang diisi dengan perlombaan-perlombaan (lomba mengarang, lomba membuat motto yang ada hubungannya dengan kesadaran hukum), pemilihan warga negara teladan terutama dihubungkan dengan ketaatan mematuhi peraturan-peraturan, pameran dan sebagainya.
Di Perguruan-perguruan Tinggi harus diberi pelajaran Pengantar Ilmu Hukum, yang disesuaikan dengan kebutuhan: PIH yang diberikan di Fakultas Teknik misalnya harus berbeda dengan yang diberikan di Fakultas Ekonomi atau Fakultas Hukum. Dalam memberi Pengantar Ilmu Hukum di semua Perguruan Tinggi hendaknya diketengahkan ”probleem situas”i yang konkrit dengan mengetengahkan ”res cottidianae” (= peristiwa sehari-hari), yaitu persoalan-persoalan yang terjadi setiap hari yang dimuat di dalam surat kabar terutama yang berhubungan dengan kesadaran hukum. Pada Fakultas-fakultas hukum hendaknya dibentuk seksi atau jurusan peradilan yang khusus mendidik para calon hakim, jaksa dan pengacara. Kecuali itu Fakultas Hukum ditugaskan pula untuk memberi penataran kepada para petugas penegak hukum. Perguruan Tinggi khususnya Fakultas Hukum mempunyi peranan penting dalam hal meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Menarik sekali pendapat Achmad Sanusi yang mengatakan bahwa Perguran Tinggi menghasilkan orang-orang yang diasumsikan mempunyai kesadaran hukum yang tinggi.
Pendidikan non formal ditujukan kepada masyarakat luas meliputi segala lapisan di dalam masyarakat. Pendidikan non formal ini dilakukan dengan peyuluhan atau penerangan, kampanye serta pameran.
Penyuluhan atau penerangan dapat dilakukan melalui segala bentuk mass media: televsii, radio, majalah, surat kabar dan sebagainya. Bahan bacaan, terutama ceritera bergambar atau strip yang bersifat heroik akan sangat membantu dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Buku pengangan (vademecum, handboek) yang berisi tentang hak dan kewajiban warga negara Indonesia, susunan negara kita, Pancasila dan \Undang-undang Dasar, pasa-pasal yang penting dalam KUHP, bagaimana caranya memperoleh perlindungan hukum perlu diterbitkan. Dalam buku ini harus ditanamkan rasa ”demuwe” dan ”sense of belonging”, yaitu agar merasa dan menyadari sebagai bangsa yang merdeka dan mempunyai negara yang merdeka pula. Buku vademecum untuk umum ini hendaknya ditulis secara populer dan sebaiknya dalam bentuk tanya jawab, seperti misalnya buku ”the USA answers questions, a guide to understanding” diterbitkan oleh Kenneth E. Beer atau ”Our Ameican Government the answers to one thousand and one questions” ditulis oleh Wright Patman seorang anggota Kongres.
Di tempat yang banyak dikunjugi oleh orang, seperti pasar, alun-alun, restoran, stasiun, terminal, stasiun udara, bioskop dan juga di perempatan-perempatan atau sepanjang jalan raya atau pada kendaraan-kendaraan umum dipasang atau ditempelkan poster-poster atau spandoek dengan motto yang berhubungan dengan kesadaran hukum.
Penyuluhan atau penerangan dapat dilakukan juga dengan ceramah yang diadakan di kecamatan-kecamatan atau di tempat tempat lain kepada golongan-golongan tertentu, misalnya para pemegang SIM, para pedagang, para narapidana dan sebagainya. Ceramah-ceramah ini harus diadakan secara sistematis dan periodik.
Di Amerika Serikat, suatu negara yang sudah maju, dikenal adanya ”Law Day” untuk membina kesadaran hukum masyarakat. Maka kiranya tidak berlebihan kalau kita mengadakan kampanye peningkatan kesadaran hukum masyarakat secara ajeg yang diisi dengan kegiatan-kegiatan yang disusun dan direncanakan secara ”planmatig” (terrencana), seperti ceramah-ceramah, pelbagai macam perlombaan, pemilihan warga negara teladan, pameran dan sebagainya. Suatu pameran mempunyai fungsi yang informatif edukatif. Maka tidak dapat disangkal peranannya yang positif dalam meningkatkan dan membina kesadaran hukum masyarakat. Tersedianya buku vademecum seperti yang telah diketengahkan di muka, brohure serta leaflets di samping diperlihatkan film, slide dan sebagainya yang merupakan visualisasi kesadaran hukum akan mempunyai daya tarik yang besar.

Pelaksanaan hukum
Adanya hukum itu adalah untuk ditaati, dilaksanakan atau ditegakkan. Pelaksanaan hukum atau law enforcement oleh petugas penegak hukum yang tegas, konsekuen, penuh dedikasi dan tanggung jawab akan membantu meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Tidak atau kurang adanya sikap yang tegas dan konsekuen dari para petugas penegak hukum, kurangnya dedikasi dan tanggung jawab akan minmbulkan sikap acuh ta’ acuh dari masyarakat dan memberi peluang serta perangsang untuk terjadinya ”onrecht”.
Setiap petugas penegak hukum harus bersikap tegas dan konsekuen terhadap setiap pelanggaran hukum yang terjadi. Tegas dan konsekuen dalam arti tidak ragu-ragu menindak setiap pelanggaran kapan saja dan di mana saja. Pengabdian dalam tugas dan rasa tanggung jawab merupakan persyaratan yang penting bagi setiap petugas penegak hukum.
Pelaksanaan hukum yang tegas dan konsekuen serta penuh dedikasi dan tanggung jawab akan menimbulkan rasa aman dan tenteram di dalam masyarakat. Orang tahu kepada siapa harus mencari perlindungan hukum dan dapat mengharapkan perlindungan hukum itu tanpa adanya kemungkinan akan dipersukar, tidak dilayani atau dipungut beaya yang tidak semestinya. Kalau sampai terjadi sebaliknya maka orang tidak akan merasa aman dan tenteram. Untuk mengadukan atau melaporkan suatu pelanggaran hukum saja segan karena tidak yakin akan dilayani dengan baik atau ditindak pelanggaran hukum yang dilaporkan itu.
Oleh karena itu maka perlu ada kontrol atau pengawasan terhadap para petugas penegak hukum dalam menjalankan tugasnya melaksanakan atau menegakkan hukum. Pengawasan ini tidak cukup dilakukan oleh pimpinan setempat saja, tetapi harus dilakukan juga oleh pimpinan pusat. Banyak hal-hal yang terjadi di daerah tidak diketahui atau lepas dari sorotan pimpinan pusat. Lebih-lebih mengingat banyaknya laporan-paporan ke pusat yang tidak sesuai dengan kenyataan. Maka oleh karena itu secara ajeg pimpinan dari pusat harus turun ke bawah.
Mengingat bahwa praktek hukum itu pada hakekatnya merupakan suatu chaos, tidak teratur secara sistematis dan merupakan ”sleur” sebagaimana sifat praktek pada umumnya, maka sekali-kali para petugas penegak hukum perlu ke luar dari suasana ”sleur” dari praktek untuk mendapatkan refreshing. Di dalam praktek hukum ada kecenderungan orang untuk mengabaikan teori dan sistem, maka oleh karena itu sangat penting fungsi penataran bagi para petugas penegak hukum.
Akhirnya demi suksesnya peningkatan dan pembinaan kesadaran hukum masyarakat masih diperlukan partisipasi dan kooperasi dari para pejabat dan pemimpin-pemimpin.

Achmad Sanusi, SH., Prof. Dt A.-,1977, Kesadaran hukum masyarakat, Hukum no.5 tahun ke 4 1977
Lemaire, Dr. L.W.G.-,1952, Het recht in Indonesie, NV Uitgeverij W v \Hoeve s’Gravenhage
Post, C. Gorden-, 1963, An introduction to the law, Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs
Scholten, Mr. Paul-, 1954, Algemeen /Deel,, NV Uitgeversmaatschappij W.E.J. Tjeenk Willink
Rose, Arnold M.-, 1975, The use of law to induce social change dalam Soerjono Soekanto: Beberapa permasalahan hukum dalam kerangka pembangunan di
Indonesia, Yayasan Penerbit UI

Yogyakarta, 29 Juli 1978
Kertas kerja dalam rangka kerja sama Kampanye Penegakan Hukum antara Fakultas Hukum UGM dengan Kejaksaan Agung RI tahun 1978